*
Kejutan terakhir yang terjadi adalah ketika Golkar dan PDIP membuat hentakan dengan adakan pertemuan di pasar Gembrong yang kini beken dengan sebutan Koalisi Gembrong.
Pasar Gembrong memang identik dengan suasana 'merakyat' ; rakyat jelata. Pasar pernik mainan itu tiap hari dipenuhi dengan pedagang yang menggelar dagangannya di bilik-bilik sempit.
Selasa malam lalu, pasar gembrong riuh. Bukan karena pembelinya, karena sejatinya pedagang sudah menutup tokonya sejak sore. Malam itu ada dua tokoh bertemu di situ.
Yang bertemu adalah capres dari PDIP, Joko Widodo dan capres dari Golkar yaitu Aburizal Bakrie. Sebelumnya tersiar berita bahwa ARB bertemu dengan Megawati di Bali.
Kepingan peristiwa ini akankah membawa koalisi serius antara PDIP dengan Golkar? Ataukah sekadar restu Golkar pada JK yang akan disandingkan dengan Jokowi?
Tak mudah sebenarnya untuk membuat Golkar mau berkoalisi dengan PDIP. Mengingat ada perbedaan cukup mendasar pada keduanya.
Ada cerita yang dibawa oleh pengurus Golkar, Agung Laksono jika sikap ARB yang akhirnya condong ke PDIP karena kecewa dengan sikap adik Prabowo Subianto, Hasjim Djojohadikusumo. Hasjim membawa kemungkinan koalisi Golkar-Gerindra, menjadi terlalu teknis.
"Masak mereka bertanya berapa dana yang tersedia di kami, dan pola kampanyenya seperti apa", kata Agung. Hal itulah akhirnya yang menyurutkan hasrat ARB terhadap Gerindra.
Beberapa petinggi Golkar mengatakan bahwa koalisi Gembrong masih sangat cair. Artinya, masih bisa berubah."Itu bukan koalisi dalam arti sesungguhnya. Jika benar-benar koalisi, perlu pembicaraan lebih lanjut dengan pengurus Golkar lainnya," kata Wasekjen Golkar Tantowi Yahya.
Selama ini, Golkar adalah partai senior yang berperan penting dalam peta politik di tanah air. Belum ada cerita dalam sejarah, Golkar menjadi oposisi. Dia selalu dekat dengan kekuasaan.
Akhirnya politik adalah sesuatu yang terkait dengan kepentingan. Hanya kepentingan menjadi asa politik itu sendiri.
Dengan begitu, apa yang bisa diterjemahkan dari pertemuan di pasar Gembrong? Mereka benar-benar berkoalisikah atau sekadar membolehkan JK jadi wakil Jokowi ?