Terdengar suara pintu kamarku terbuka. Secepat itu aku mengambil tisu dan mengusap air mukaku yang tegang.
“Adek mau makan malam dulu?”
“Tidak Bu, Mitha langsung tidur saja” ujarku seraya tersenyum tipis, layaknya menyembunyikan perasaan takutku pada Ibu. Ibu membalikkan badan lantas menutup pintu kamarku.Terlihat gambar emotikon keep smile di balik pintu kamarku, gambar itu ku pasang saat hari sweet seventeen ku kemarin. Sengaja ku pilih gambar emotikon keep smile yang berwarna merah karena aku suka warna merah. Mengingat kebahagiaan dihari itu, aku sempat berpikir. Apakah aku bisa merasakan kebahagiaan merayakan ulang tahunku lagi di tahun depan. Air mata mengalir keluar dari kelopak mataku, aku lantas memilih untuk bersimpuh menghadap kiblat. Aku tak kuat membayangkan masa laluku, dan aku pun tak kuat lagi untuk merancang kegiatanku untuk hari esok dan esoknya kembali. Nyawaku bergantung besok pagi. Ku coba beristigfar tapi jantungku malah berdebar kencang. Ku coba lagi membaca sholawat nabi, lagi-lagi jantungku malah berdebar lebih kencang. Air mata pun tak hentinya untuk mengalir lagi. Aku terus duduk bersimpuh menghadap kiblat seraya melantunkan sholawat nabi agar proses operasiku besok berjalan lancar.
Menjelang esok hari, bumi masih basah oleh air embun pagi. Mataku terbuka lantas ku gerakan kakiku untuk beranjak ke kamar mandi. Kali ini aku menghadap seorang diri pada Sang Khalik, membiarkan Ibu dan Ayahku sholat berjama’ah di musholah kecil yang dibangun di dekat kamar mandi di rumahku. Tak ada yang berbeda di dalam rumah, hanya perasaanku saja yang berbeda dan membuat aku semakin takut. Rasanya aku capek untuk bersimpuh dan menangis. Aku berdiri dan berbicara pada cermin di kamarku.”Mungkin ini adalah takdirku, setelah ini akan ada pengalaman yang terindah di hidupku. Biar orang-orang di sekitarku tak ada yang mengerti kegelisaanku tapi aku yakin Tuhanku akan menemani aku jika pun aku gugur di ruang operasi nanti.” Seraya tersemyum bersama bayanganku di dalam cermin.
Tiga hari sudah tubuhku tak berdaya setelah keluar dari ruang operasi. Begitu aku tersadar, Ibu bercerita panjang lebar kepada kerabat-kerabatku yang menyempatkan diri membesukku. Perasaanku sedikit lega melihat senyum Ibu. Semenjak aku divonis tekena tumor payudara, aku tak pernah melihat senyuman indah Ibuku lagi. Aku hanya melihat ada senyuman palsu di sana, selain itu mata sembab Ibu yang entah karena apa.
Satu minggu kemudian aku sudah bisa berjalan tanpa dipapah orang lain. Aku juga sudah bisa bermain handpone dan laptop. Semua orang yang membesukku seperti ikut prihatin tentang keadaanku, siapa sangka gadis remaja sepertiku sudah menjalani operasi pengambilan tumor di payudara. Seraya berbaring di ranjang tidur di kamarku, aku mencoba untuk menghubungi teman-temanku. Teman yang sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri. Satu dua SMS sudah terkirim, tapi yang aku dapat hanya biasa-biasa saja. Aku merasa hari ini aku semakin sakit dan lebih sakit dari operasiku kemarin. Hingga nyaris terbesit di otakku, “Apakah menjenguk orang yang sakit itu dianjurkan dalam Islam? Dan mengapa orang yang sakit selalu ingin memperoleh perhatian lebih? Huft, membuatku semakin capek saja”
Saat aku melakukan operasi yaitu pada saat ramadhan ke tiga, aku berharap temanku akan menjengukku di hari idhul fitri. Karena hari itu semua perguruan baik dari paud, TK, SD, hingga perguruan tinggi telah diliburkan. Aku hanya menunggu dan duduk manis di rumah menyaksikan orang-orang yang berbahagian di hari fitri.
Hari efektif masuk sekolah pertama setelah libur idhul fitri. Tak ada yang berbeda, semuanya sama. Beberapa anak ada yang bercanda, berbagi cerita masing-masing saat melalui liburan kemarin, bergurau lalu kejar-kejaran naik turun tangga sekolah. Tak ada pertanyaan mengenai musibah yang telah aku alami, begitu pula ucapan satu maaf sekali pun tak ada dimulut mereka.
Rasanya seperti tak lagi menginjakkan kaki di atas tanah. Saat aku pulang dari sekolah, aku tiba-tiba teringat kejadian saat aku selalu bersama Nayla dulu. Aku berjalan sendiri seperti orang yang hidup seorang diri. Tak ada yang menemaniku, dulu temanku banyak tetapi sekarang kemana mereka. Tak ada keganjalan yang terjadi, semua seperti biasa-biasa saja diantara mereka. Apa yang salah denganku, atau jangan-jangan… huft,,, aku hanya bisa menerka dalam hati. Selama di kelas aku lebih sering membisu, karena memang keadaanku belum pulih seperti sedia kala.
Esok harinya aku memberanikan diri membuka percakapan bersama Nania, teman sebangku saat dulu aku kelas satu. Percakapan ringan sudah kudapatkan dari jawaban Nania.
“Tapi, sebenarnya teman-teman dalam kelas ini ada yang tahu nggak kalau aku melakukan operasi tempo hari?” kulihat dari mata Nania ada sesuatu yang ia sembunyikan. Begitu mendengar pertanyaanku yang ini, ia lantas terdiam untuk beberapa menit lamanya. Aku pun ikut terdiam dan menunggu jawaban langsung dari bibir tipis Nania. Ku sodorkan coklat dengan bungkus berwarna gold pada Nania, tetapi ia menggeleng. Sengaja ku berikan coklat karena aku tahu saat aku duduk sebangku dengannya, ia pernah bilang kalau salah satu makanan kesukaannya adalah coklat. Pada hal pada saat itu aku sangat dilarang keras oleh dokter untuk tidak lagi mengkonsumsi coklat, kacang, dan melinjo.
“Mitha,…” sejenak Nania berhenti dan tak melanjutkan ucapannya. Aku semakin penasaran dibuatnya, untuk menjawab satu pertanyaanku saja lama sekali untuk membuka mulut.
“Kamu masih teman terbaikku kan?”
“Kenapa kamu ngomong gitu ke aku, Mit?”
Hari itu, dua setelah masuk pelajaran efektif. Aku baru tahu semuanya dari Nania, semua sikap dan perlakuan teman di kelasku terhadapku. Aku memang tak pantas jika aku minta peradilan kepada anak-anak di kelas, sedangkan aku sendiri sedang melakukan proses penyembuhan di rumah. Tak mungkin aku menyuruh teman-temanku untuk membesuk aku yang sudah bisa berjalan dan bermain kesana kemari. “Toh semuanya juga sudah berlalu” pikirku dalam hati.
Aku sudah sembuh dan sudah kembali ke asrama bersama teman-temanku yang lainnya. Tapi tetap saja tubuhku tak bisa diajak berpikir keras dan piket gotong royong. Tak jarang jika ada teman asrama yang lainnya juga merasa iri jika melihat aku sering tiduran atau bersantai di kamar. Akhirnya aku memilih untuk bersantai di belakang asrama. Di tempat itu merupakan tempat kesukaanku ketika aku tahu ada tambak ikan di belakang asrama. Menyaksikan genangan air tambak yang mengulung-gulung seperti ombak kecil. Terkadang sesekali ada ikan yang melompat ke atas air, seakan mengintip kehadiranku di sana. Semuanya kurasakan seperti di tepi pantai, bedanya di pantai banyak ditumbuhi pohon kelapa, siwalan atau pun pohon mangrove. Sedangkan di tepi tambak banyak di Tanami pohon mangga dan pohon pisang. Bagiku perbedaan pohon itu tak menjadi masalah, semuanya diciptakan sama dan memiliki manfaat yang tak sama pula.
Suatu hari saat jam pelajaran berlangsung, Eka tak bersemangat untuk mengikuti pelajaran. Selama menginjakkan kaki di bangku kelas dua, aku memilih duduk sebangku dengan Eka. Usai jam pelajaran aku mengajak Eka ke kantin dekat tambak di belakang asramaku. Eka mulai bercerita tentang kekasihnya yang terserang tumor otak.
“Sabar saja jangan terlalu dipikirkan. Lebih baik kamu kirimkan do’a untuk Aan agar mengurangi rasa sakit yang sedang ia derita” ucapku memberikan saran.
“Mit, sebenarnya aku juga mau minta maaf karena aku tak menjenggukmu saat kamu habis operasi kemarin”
“Nggak pa pa, aku juga tahu kegiatan kalian di asrama saat ramadhan kemarin”
“Bukan itu Mit, sebenarnya ada alasan lain tapi…” sejenak Eka mengambil nafas panjang lantas menlanjutkan ucapannya “Aku mewakili areg-areg di kelas untuk meminta maaf ke kamu, tapi memang entah kenapa areg-areg nggak punya rencana untuk membesuk kamu. Baik saat kamu operasi mau pun saat kamu kecelakaan. Sebenarnya sebagian dari kita ada yang berkeinginan untuk membesukmu, tapi apa boleh buat lah wong kita juga tidak punya wewenang untuk memutuskan sebuah kesepakatan. Sekali lagi maaf ya…”
Aku tak menanggapi ucapan Eka dan membiarkannya terus berkata-kata. Sedikit terbesit penyesalan menyesaki ruang hatiku. Penyesalan untuk apa aku berlaku baik kepada teman-temanku, ku korbankan waktu hingga mendapat hukuman meski pada akhirnya akan kami jalani bersama. Tiba-tiba otakku membayangkan akan masa-masa bersama Nania, Eka, Riyah, Nayla dan Ilmah. Saat kabur pelajaran biologi, kabur dari asrama, menjaili teman, bercanda bersama. Dan satu kenangan yang mungkin tak bisa ku lupa hingga saat ini, yaitu meniru kisah cerita dalam Novel Perahu Kertas. Kami membuat perahu kertas yang bertuliskan imajinasi-imajinasi gila kami lalu dialirkan di tambak di belakang asramaku. Kami pun pernah berikrar bahwa persahabatan kami bukanlah persahabatan yang biasa, melainkan kami sahabat dan saudara selamanya. Atau mungkin karena kita tersibukkan dengan urusan kami masing-masing sehingga untuk membesuk salah satu teman yang sakit saja tak ada waktu.
“Mit, sekarang Aan sakit keras dan aku tak bisa berhenti berpikir tentang dia. Mungkin kamu bisa menolongku. Dulu saat kamu sakit tumor apa saja yang kamu lakukan, ceritakan padaku” air mata mulai keluar dari gadis berkaca mata di hadapanku ini. Aku pun tak jadi sakit hati karena mendengar cerita Eka.
“Aku tak tahu pasti, semua dokter yang menggarap penyakitku selalu saja mempunyai pendapat yang berbeda. Yang jelas seseorang yang mengidap penyakit parah akan memiliki tingkat emosional yang lebih tinggi ketimbang tingkat emosional orang normal. Jadi sangat wajar jika orang yang sedang sakit, mereka cenderung lebih manja. Menurutku kamu harus memberi perhatian kasih sayang yang lebih ketimbang biasanya”
“Makasih banyak Mit, aku akan mencoba apa katamu. Kita memang sudah lama tidak berkomunikasi dekat seperti ini apa lagi waktu kamu terapi penyembuhan, rasanya lama sekali. Makanya saat aku tak menjengukmu kemarin aku tak berani menyapa apa lagi menanyakan tentang proses operasimu…”
“Hhhmmm dan dari cara kamu yang sok nggak berani menyapa atau apalah itu,?! Itu yang membuatku salah paham dan kecewa padamu”
“Iya deh sorry. Itu yang aku takutkan kalau kamu bakal kecewa dan marah sama aku” senyum tipis mulai menghiasi wajah Eka yang basah karena air matanya sendiri.
“Itulah gunanya komunikasi, lah wong yang biasanya sering ketemu dan nggerocos setiap hati saja terkadang bisa menimbulkan salah paham apa lagi yang nggak pernah komunikasi. Coba saja kalau kamu tadi nggak cerita ke aku, pasti aku akan marah dan kecewa berat sama kamu. Selamanya” ujarku seraya tertawa lepas bersama Eka.
Beberapa hari telah berlalu, tak ada lagi yang mengganjal di hatiku sehingga membuatku marah pada teman-temanku. Kami kembali bersaing memperebutkan ilmu, sedangkan kehadiranku semakin membuat sahabatku mengerti tentang bahaya penyakit tumor yang datang tanpa diduga sebelumnya.
Saat jam pelajaran ke lima berlangsung tiba-tiba terdengar kalimat tarji’ dari pengeras suara di sekolah. Hampir seluruh kelas mendengar suara itu termasuk aku. Ternyata petugas sekolah pengabarkan kematian seseorang siswa kelas 11.6 yang bernama Muhammad Aan Fathoni. Seisi ruang kelas seakan terkejut mendengarnya. Aku pun ikut terkejut mendengarnya, bergegas aku menenangkan Eka yang sudah berkucuran air mata. Semua teman-teman sekelas juga ikut untuk menenangkan Eka. Siang itu juga semua anak 11.6 berangkat menuju peristirahatan terakhir Aan. Sedangkan aku dan teman-teman sekelas membantu Eka untuk meminta ijin kepada guru piket untuk mengikuti anak-anak yang lain mengantarkan Aan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Usai dari pemakaman, Eka kembali ke asrama bersama duka yang masih menyelimuti hatinya.