Sebagai istri dari Teuku Umar, seorang pejuang Aceh terkemuka, Cut Nyak Dhien turut berperan dalam strategi perang gerilya melawan Belanda. Setelah Teuku Umar gugur pada tahun 1899, Cut Nyak Dhien tidak mundur; ia malah melanjutkan perjuangan dengan memimpin pasukan sendiri. Meskipun kondisinya semakin lemah karena usia dan gangguan penglihatan, semangat juangnya tetap tinggi.
Cut Nyak Dhien terus berperang hingga akhirnya tertangkap pada tahun 1901 setelah ada pengkhianatan dari orang kepercayaannya sendiri. Ia lalu diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, oleh Belanda. Selama di Sumedang, Cut Nyak Dhien tetap disegani dan dihormati oleh masyarakat sekitar, yang mengagumi kekuatan serta semangat perjuangannya. Beliau meninggal di Sumedang pada 6 November 1908 dan dimakamkan di sana.
Pada tahun 1964, pemerintah Indonesia resmi mengakui jasa-jasanya dengan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional. Hingga kini, Cut Nyak Dhien dikenang sebagai sosok yang berani, tangguh, dan inspiratif bagi banyak generasi, terutama dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan