Ancaman terbesar ekosistem mangrove yang dihadapi saat ini adalah pembalakan liar dan alih fungsi lahan menjadi tambak, permukiman ataupun kebun sawit dan alih fungsi lainnya. Diperkirakan lebih dari 26 ribu hektar ekosistem mangrove setiap tahunnya hilang. Padahal, kehilangan ekosistem mangrove berarti juga kehilangan sumber mata pencaharian, nelayan yang semakin jauh melaut dan yang utama adalah bergesernya garis pantai (yang dapat berakibat bergesernya batas negara).
Salah satu upaya untuk mengatasi perubahan fungsi lahan dan menginternalisasi rehabilitasi mangrove bagi masyarakat pesisir adalah melalui pengenalan pola sylvofisheri (wanamina) yang memadukan penanaman mangrove dalam pengelolaan tambak. Pola ini diadopsi dari upaya yang dilakukan Perum Perhutani  pada era 80an, untuk mengatasi perambahan atas kawasan mangrove di Cikeong, Jawa Barat. Pada perkembangannya, pola ini diadopsi dan diteliti oleh banyak pihak, sehingga saat ini pola sylfofishery cukup dikenal luas dan menjadi salah satu pola yang dikembangkan banyak pihak dalam upaya rehabilitasi mangrove
Pola sylvofishery diterapkan pada area mangrove terdegradasi dengan memperhatikan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat sekitar yang memiliki ketergantungan atas tambak sebagai sumber penghidupan mereka.
1)Pola Tanam Tumpangsari (sylvofishery). Pola tanam tumpangsari atau sylfofishery adalah penanaman mangrove di area tambak (area mangrove yang telah mengalami perubahan fungsi menjadi area tambak). Pola ini dilakukan dengan menanam mangrove di tanggul dan atau pelataran tambak. Pemilihan pola tanam pada area pelataran tambak, harus memperhatikan jenis komoditas yang diusahakan di tambak, yaitu ikan (bandeng/nila/bawal/jenis lain), udang dan kepiting. Penyesuaian ini perlu dilakukan untuk menghitung ruang tumbuh komoditas utamanya terkait dengan kebutuhan sinar matahari untuk pertumbuhan komoditas tersebut.
Disamping itu, harus diperhatikan bahwa setelah berumur >3 tahun, akar nafas mangrove akan mulai terbentuk dengan diameter + 1 meter. Dengan tajuk tanaman yang juga mulai terbentuk, dimungkinkan bahwa survival rate mangrove yang ditanam pada area pertambakan + tersisa sebesar 55%.
Dikenal  empat pola penanaman yaitu empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka dan kao-kao. Pada pola penanaman empang parit, empang parit terbuka dan komplangan, mangrove ditanam di pelataran tambak, sedang untuk pola kao-kao, mangrove ditanam secara merata pada pematang tambak dan atau pada sepanjang pinggir pelataran tambak.
Untuk pola empang parit tradisional, mangrove ditanam di seluruh pelataran tambak. Pada pola ini, diharapkan pemulihan ekosistem tambak terjadi dengan cepat dengan terdekomposisinya seresah daun mangrove menjadi humus yang memicu pertumbuhan lumut dan detritus yang menjadi pakan utama ikan/udang/kepiting. Â Adapun pada pola empang parit terbuka, mangrove ditanam di pelataran tambak dalam bentuk jalur yang dimaksudkan untuk memberikan ruang gerak bagi ikan/udang/kepiting, dan untuk memudahkan petambak melakukan panenan atas komoditas yang dibudidayakan.
Khusus untuk pola kao-kao perlu dipertimbangkan kebutuhan petambak untuk melakukan pengerukan parit tambak dan juga harus diupayakan agar keberadaan akar nafas tidak merusak parit tambak.
 Catatan penting yang perlu diperhatikan dalam penanaman mangrove di area tambak (di pelataran dan di parit) adalah proses dekomposisi seresah mangrove yang cenderung lambat. Seresah yang tidak segera terdekomposisi ini berpotensi untuk melepaskan kandungan tanin nya dan akan mengganggu produktivitas tambak. Untuk itu, perlku dipertimbangkan pemilihan jenis mangrove yang seresahnya mudah terdekomposisi  (rhizophora dan avicennia) dan  apabila dimungkinkan penggunaan enzym katalisator yang dapat mempercepat proses dekomposisi seresah.
2)Associated Mangrove Aquaculture (AMA). Dilaksanakan dengan membuat sabuk hijau (green belt) pada area berhadapan laut dan sungai. Lebar sabuk hijau pada sempadan pantai berkisar antara 100 -- 200 meter, sedangkan pada sempadan sungai berkisar 10 -- 20 meter.