Aku berpikir. Aku merenung. Ada benarnya yang bernama dokter kehidupan itu. Ia bukanlah dokter yang umumnya kita kenal dengan kemampuan mengobati berbagai macam penyakit. Ia bukanlah ustadz, ulama, atau pemuka agama yang biasanya memberi penerangan dalam bidang keagamaan. Ia bukanlah guru yang memberikan kita ilmu dan pengetahuan. Ia bukanlah pejabat yang menenteramkan kita dengan perintah, aturan, dan pelaksanaannya. Ia bukanlah bos yang menawarkan pekerjaan dan untuk itu kita menerima gaji setiap bulan, mungkin seminggu sekali; berikut bonus dan tunjangannya. Ia bukanlah filsuf yang mengkaji kehidupan secara matang dan mendalam.
Ia, dokter kehidupan, adalah orang yang mampu memberi kenyang pada kanker alias kantong kering. Membuka jalan penghidupan yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Orang sering bilang kita harus bersyukur. Karena masih diberi hidup, dikasih rejeki, lebih baik dari yang lainnya. Kita memang belum punya mobil, namun ada motor. Kita memang masih ngontrak, namun tidak tidur beratapkan langit. Kita memang.....
Ada lagi yang bilang bahwa jika kita beriman akan dicukupkanNya. Namun, banyak yang hidup jauh dari iman secara kasat mata sangat berkecukupan. Meski berlimpah tahta dan harta sering dibilang sebagai cobaan yang lebih berat dibandingkan mencari rejeki yang untuk makan sehari tiga kali dengan empat sehat lima sempurna sangat susah.
Dokter kehidupan, tentu, tidak seperti cerita para pesohor yang telah mendapatkan nasib baiknya. Bahkan, pertapa yang sudah menyerahkan hidupnya pada kepasrahan. Ia adalah yang dicari setiap orang yang terpuruk kesehariannya.