Seperti kebanyakan orang yang baru keluar dari ‘sekolah’ dengan segudang idealisme, perilaku sayapun berubah drastis. Setiap melihat suatu kejadian yang tidak ‘agamis’, spontan saya "nyebut" kalimat Allah.
Ada seorang (wanita) primadona kampus, sebut saja Susi (bukan nama sebenarnya). Saat itu, ia sedang berpakaian seronok dan bercengkerama mesra dengan pacarnya, yang tentu saja bukan muhrimnya. Begitu saya melihat kejadian itu, langsung keluar dari mulut saya ”masya Allah (kata yang sering diucap saat melihat sesuatu yang buruk)...!” Lepas dari kesalahkaprahan saya menggunakan kata itu (harusnya untuk suatu kekaguman), dalam hati kecil saya, terbesit anggapan bahwa ”Dia itu MAKSIAT", sedangkan saya lebih baik dari dia”.
Suatu saat...
...Susi datang bersama kawan-kawan yang lain (yang berjilbab), untuk belajar kelompok dengan saya guna menghadapi ujian semester yang segera datang. Baru kali itu Susi datang belajar ke tempat saya. Seperti biasa, pakaian Susi tergolong seksi, membuat saya istighfar terus :), (kembali lagi) sambil mencemooh dirinya di hati saya. Pertemuan hari pertamapun selesai, mereka berjanji akan melanjutkan belajar dengan saya di rumah kos temen esok harinya. Bak Fahri (dalam Ayat-ayat Cinta), Sayapun jadi idola wanita saat itu,hehehe..... narsis euy!
Keesokan harinya, tak disangka, Susi datang ke tempat kos mendahului kawan-kawan lainnya. Setelah sejenak terdiam karena canggung, Susi berkata,”Rif, sebenarnya dari dulu aku pengin dkt&belajar bareng sama kamu, tapi...!” Karena penasaran, saya tanya,”Tapi kenapa?” Dengan wajah tertunduk malu dan suara lirih ia menjawab,”Aku malu ketemu sama kamu! Aku merasa diriku ini ’kotor’, sedangkan kamu itu ’bersih’ dan alim”.
”Astaghfirullah Al’Adziim”, saya ’nyebut’ dalam hati dengan muka saya yang memerah, air mata yang hampir menetes. Sejenak saya berfikir,”Seandainya saat itu Allah mencabut nyawa kita berdua, mungkin sayalah yang pantas masuk neraka dan dia yang pantas masuk surga!” Koq bisa begitu? Ya, karena dibalik ’baju alim’ saya, terdapat ’kotoran hati kesombongan’. Sebaliknya, Susi yang merasa dirinya ’kotor’ tidak memiliki pikiran kotor terhadap orang lain. Jadi menurut saya, Susilah yang lebih ’suci’ dari saya.
Bukankah semua agama mengakui bahwa iblis, yang hampir sepanjang hidupnya taat, tidak dapat masuk surga karena ’kesombongannya’, karena merasa dirinya lebih unggul dari makhluk Tuhan lainnya? Sementara nabi Adam, meskipun berbuat dosa, diijinkan masuk ke surga karena kerendahan hatinya? Guru saya pernah memperingatkan untuk berhati-hati terhadap suatu penyakit, yang disebut ’tertipu oleh diri sendiri’. Penyakit ini justru akan muncul saat kita bertambah ilmu dan bertambah amal. Tapi ilmu dan amal itulah yang membuat kita terjerumus. Semoga kita terhindar dari hal yang demikian!
”Buat semua temen2,Semoga kita akan menjadi Muslim&Muslimah yang selalu rendah hati,tidak merasa kita yang paling benar,paling suci.Karena tidak ada jaminan bahwa kebaikan kita,amalan kita dan ibadah kita akan diterima oleh Allah swt. So Daripada sibuk melihat aib orang lain, sibuklah melihat aib sendiri!”