Di jejaring sosial, di televisi, di koran-koran, di kampung, di kota, di perkantoran, di mall, di pasar tradisional, di wc umum, di gedung DPR, di butik, di salon, bahkan di tempat ibadah orang-orang lebay selalu wara-wiri memperlihatkan kelebay-an nya.
Orang-orang berkuasa yang aji mumpung dengan kekuasaannya, memperkaya diri, keluarga dan kroninya. Padahal sebenarnya kekuasaan yang ia pegang adalah amanat atas dirinya untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Bukankah itu lebay?
Orang-orang kaya yang memamerkan rumah dan kendaraan mewah hingga belasan tanpa berempati pada sesamanya, padahal masih banyak saudara sebangsanya yang berjuang mati-matian hanya untuk sekedar mencari makan. Bukankah itu lebay?
Orang-orang miskin yang selalu mencucurkan air mata saat masuk acara televisi seolah ia manusia tersengsara di dunia, padahal jutaan manusia di luar sana nasib mereka lebih buruk darinya. Bukankah itu lebay?
Orang-orang berilmu yang lebay dengan keilmuannya, menjejalkan dogma dan doktrin agama kepada para jamaahnya tanpa memberikan mereka kesempatan untuk bertanya. Bukankah itu lebay?
Orang-orang lebay yang lebay dengan kelebay-an nya, dengan naluri selebritinya ingin segala aktivitas dan suasana hatinya diketahui semua orang dan mencurahkannya melalui media-media sosial. Bukankah itu lebay?
Lalu apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi orang-orang seperti itu? Satu hal: Jangan terbawa-bawa lebay!