Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Sebuah Cerita Sangat Biasa

13 Juli 2024   20:01 Diperbarui: 13 Juli 2024   20:05 36 14
Sebuah kota, sebut saja begitu.

Seorang perempuan di bawah lampu, gemetar. Pada keningnya banyak tanda. Warna tanah yang tandus. Kampung yang ditinggalkan. Ibu, Bapak, adik-adik, juga rumah yang selalu kemarau.

Percakapan kering, karena takada lagi air mata untuk membasahi. Mimpi-mimpi serupa bayang, sekelebat ada lalu cepat menghilang. Harus ada yang memecah rasa takut. Kalau tidak impian hanya melintas laksana kabut.                        

Pergilah ia, perempuan itu. Langkah-langkah yang berat, doa-doa yang sarat. Di depan, entahlah. "Jangan berati langkahku dengan air mata," pinta perempuan itu kepada ibu-bapaknya.

Dan kota terlalu congkak untuk sekadar mengucapkan selamat datang.

Cahaya-cahaya menyilaukan matanya. Dan ia hanya punya dua pilihan: diambil atau ia tak mendapatkan apa-apa. Pun, takada cerita untuk surut langkah. Sampai pada titik, perempuan itu tak peduli bagaimana cara membedakan, ini cahaya yang menyejukkan atau lampu tempat tawar-menawar berapa harga dirinya.

Rumah yang hampir rubuh, mimpi-mimpi yang sudah runtuh, menutupi mata hatinya. Tetangga, tetangganya lebih pandai dari orang kota. Mereka sudah pintar untuk tak melihat, bahwa dapur mereka jarang mengeluarkan asap.

Jadi, mengapa harus dipedulikan?

Perempuan itu pun berjalan, menari, sesuai irama yang dimainkan. Kini ia tahu memilih warna lipstick-nya untuk disinkronkan dengan baju yang dipakai. Berbagai polesan pada wajah. Tentu, sudah paham jarak berapa centi di atas lutut rok yang dikenakannya.

Siang bertukar malam. Malam menghela impian. Tertawa. Lupa. Rindu. Benci. Sampai batas mana cinta akan didapatkan?

Rumah di kampung kembali terang, karena ada kiriman cahaya tiap bulan. Doa ibu masih mengalir, dilengkapi curiga bapak yang tak terucapkan.

Kini kota telah menyatu pada tubuh perempuan itu. Bimbang tak perlu lagi ditimbang. Untuk apa lagi sesal. Jalan ini dilalui saja dulu. Jangan dipikirkan ke mana akan berujung.

Berbilang bulan. Beberapa kalender telah berganti dari dinding tempat tinggalnya. Perempuan itu kini merasa kulit tubuhnya tak sekencang dulu. Ingin ia berganti jalan. Namun cuaca sering berkhianat pada dirinya.

Perempuan itu tentu punya nama, ada tercatat pada Dinas Kependudukan. Tapi apa pentingnya?  Perempuan itu tahu ia hanya bagian catatan statistik. Atau menjadi objek janji dari partai politik menjelang pemilu. Atau menjadi narasumber sebagai penelitian mahasiswa, yang juga nantinya tak berguna. Karena mahasiswa itu nanti hanya mengutip sana-sini dari internet.

Demikianlah perempuan itu, masih gemetar di bawah lampu. Di sebuah kota, sebut saja begitu. Ia merasa jalan yang dilaluinya selalu malam. Ada suatu masa ingin ia bercerita tentang rindu, juga cinta yang menjadi sembilu pada tubuhnya. Hingga suatu ketika seseorang penyair tua mengabadikannya dalam puisi.

Seorang perempuan
Menjelma kupu-kupu
Ditemukan mati hari ini
Tersebab rindu yang sepi


***

Lebakwana, Juli 2024


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun