Begini.
Tiba-tiba saja aku ingin meniru orang-orang dahulu kala, mengirimkan surat dalam botol. Lalu kularungkan ke tengah laut. Ombak mengombang-ambingkan, membawa hingga ke sebuah daratan. Sebuah tempat yang takada dalam peta.
Seseorang, kuharap dirimu, menemukannya. Kamu tersenyum membacanya. Membalas lewat pos: "Telah kubaca kata-kata, terlalu banyak kalimat yang kemarau. Datanglah! Di sini mungkin kita dapat menciptakan hujan."
Aku datang? Tentu tidak. Karena kita hidup pada hari ini, di mana zaman menyatukan laut, daratan, dan langit dalam genggaman. Bertemu dengan seseorang, secepat ia datang secepat itu pula ia menghilang. Tidak menjadi siapa-siapa. Atau, barangkali, bisa menjadi sepasang kekasih.
Dan dirimu.
Kita berhadap-hadapan dalam sebuah panggilan video. Pagi ini.
"Rambutmu kusut," kataku.
"Ya, baru bangun tidur." Kamu nyengir. Ah, kamu tetap saja terlihat manis. "Kamu, kamu masuk pagi?" katamu lagi.
"Ya."
"Ada apa, tumben sepagi ini udah nelpon. Gua hajar lu kalau nggak punya alasan yang tepat merusak tidurku."
Aku tertawa. Diam sejenak. Lalu, "Heh, ngomong-ngomong udah berapa lama kita pacaran?"
"Mm, sekitar ..., sekitar dua tahun. Aneh pertanyaanmu. Ada apa?"
"Tepatnya dua tahun satu bulan lewat tujuh hari."
"Waow, sedetil itu. Kamu ingat, ya?"
"Ya."
"Ada apa?" Kamu mengulang pertanyaan.
"Mau nikah denganku?"
Kamu tertawa.
"Aku serius."
Kamu menatapku. "Kamu nggak sedang bercanda, kan?" tanyamu seperti tak yakin.
"Nggak," jawabku mantap.
"Kalau begitu datang temui orang tuaku malam ini. Berani?"
"Berani!"
***
Lebakwana, April 2024.