Beragam alasan orang menjadi wirausahawan. Mulai: daripada susah cari kerja, sampai tergiur doktrin kebebasan finansial atau kebebasan waktu. Tapi apapun alasannya kita perlu bergembira karena entrereneurship atau kewirausahaan tidak lagi dipandang sebelah mata oleh generasi muda, melainkan telah menjadi salah satu pilihan yang layak diambil.
Dari semua alasan yang ada, saya sendiri paling miris kalau lihat orang yang mau berwirausaha dengan gagah berani bilang “Saya ingin bisa bebas finansial, dan memiliki kebebasan waktu“. Persis salah satu alasan saya dulu memilih usaha sendiri dari pada bekerja pada perusahaan orang lain. Tidak salah, tapi sering menjebak.
Mengapa? Karena ternyata berbisnis, apalagi di masa awal, sering kali kita malah tidak bebas secara finansial maupun waktu. Kalau toh iya, tidaklah instan. Mungkin kita bisa merasakan bebas di hari-hari pertama, tapi semakin bertambah masalah ini itu bisa jadi uang sulit datang, dan waktu serasa tak cukup untuk sekadar berlibur seperti yang pernah dimimpikan.
Jadi, wirausaha sebenarnya tidak identik dengan kebebasan yang seperti itu. Tapi bolehlah disebut independen. Merdeka. Saya lebih suka menyebutnya demikian.
Tidak ada yang menyuruh kita untuk bekerja keras, tapi kita sendiri yang mau karena kita sedang mengejar sesuatu. Tidak ada yang menyuruh kita lembur, tapi kita sendiri yang bekerja dari subuh buta sampai larut malam karena kita punya mimpi. Dan, tentu saja, menikmatinya karena itulah yang kita pilih.
Kita independen, tanpa harus terpaksa mengikuti ukuran sukses orang lain. Sehingga kita bisa lebih menikmati prosesnya, menekuni pekerjaan, berbuat maksimal, melakukan inovasi, tanpa harus kepikiran diburu-buru gengsi akibat melihat teman-teman lain sudah punya ini dan itu dari hasil kerja atau usahanya. Kita bisa bahagia, tanpa harus menjadi seperti orang lain. Tapi menjadi seperti yang telah kita inginkan sendiri. Enak, bukan?
Sehingga kalau sudah demikian, biasanya apapun yang kita hasilkan dari usaha tersebut, baik produk maupun jasa, biasanya menjadi produk atau jasa yang berkualitas tinggi.
Kita sudah tidak kekurangan contoh ketekunan berbuah sukses yang solid. Begitupun dengan penampilan sederhana, kalem, tenang, tapi ternyata omsetnya wuaah.
Sebut saja misalnya Ibu Susi Pujiastuti, yang memilih keluar dari SMA dan memulai usaha dari daerah yang jauh dari kota, Pangandaran. Mulai dari berjualan hasil bumi, dagang gordyn, hingga kini menjadi pengusaha perikanan terkemuka dunia dari Indonesia. Bahkan, dari usaha ikannya itu, secara “tak sengaja“ ia bisa punya Susi Air. Sebuah perusahaan penerbangan carter dan komersial.
Menariknya, sikap independen dan fungsionalnya membuat ia ke mana-mana masih menggunakan mobil L 300 yang lebih mirip ambulans dari pada mobil mewah keluaran terbaru. Ia masih sering naik taksi, padahal karyawannya sangat banyak – yang tentu saja ada sebagian mereka yang berfungsi sebagai sopir.
Atau misalnya Pak JK (Jusuf Kalla), yang setia dengan ponsel merek Samsung jadulnya dari pada smartphone yang canggih. Ia masih senang mencatat di memo dan pulpen yang selalu ada di sakunya. Bahkan ketika beliau menjabat sebagai Wakil Presiden sekalipun.
Atau yang lagi banyak jadi trending topic hari-hari ini, Pak Dahlan Iskan. Sikap fungsional ternyata mengakar dari dulu ketika ia masih bersusah-susah sebagai wartawan lalu bergabung dengan koran hampir almarhum, Jawa Pos di Surabaya. Pak Dis (sebutan Dahlan Iskan) aman-aman saja meskipun jadi pejabat hingga sekarang dan orang memaklumi gayanya yang "dia banget" tanpa harus mengikuti arus besar lingkungannya.
Sialnya, kita-kita ini yang belum menjadi apa-apa, sering keduluan bernafsu besar untuk memiliki barang-barang perlambang sukses menurut kita sendiri, yang padahal mungkin kita tidak perlu-perlu amat. Baru mulai usaha, merasa harus berdandan layaknya pengusaha muda sukses.
Saya pernah kedatangan seorang kawan, terengah-engah di sore hari tapi kelihatan puas karena berhasil hutang sana-sini termasuk “membobol“ kartu kreditnya untuk bisa beli mobil sore itu juga. Padahal ia masih punya motor yang seharusnya lebih lincah untuk perjalanan dalam kota.
Contoh lainnya banyak, termasuk saya sendiri, yang dulu sering panas melihat teman ganti ponsel, gadget, dan barang penunjang sukses lainnya. Alasannya, penampilan kan menentukan citra kita di hadapan orang lain? Betul sih, sepertinya.
Tapi, rasa puas punya ini itu cepat sekali berlalu. Selanjutnya, mikirin cicilannya. Hehe.. . Ini yang namanya korban pencitraan. Padahal, seharusnya seorang entrepreneur ia dapat mengendalikan diri (tenang), bisa memilih prioritas mana yang terpenting di antara yang penting, dan konsisten terhadap apa yang sedang diperjuangkannya. []