Tapi imutnya Pak Ganjar tidak berlaku bagi petugas tambun berbaju abu-abu terang yang sedang disemprot dengan pertanyaan yang sulit ditangkis. “Iki opo? duit opo? buat siapa? siapa yang bertanggung jawab? buka laci!!” beberapa kata itu pasti meluncur bak peluru yang sulit dihindari bagi petugas malang tadi.
Kejadian tiga malam lalu di sebuah jembatan timbang di Batang, Jawa Tengah itu lebih menarik ditonton dari pada debat politik, bahkan lebih seru dari pada film The Raid. Sosok Ganjar seperti jagoan di film yang kita semua berada di pihaknya, menyikat penjahat, monster, alien, zombie penghisap darah.
Sebenarnya, aksi marah-marah pejabat publik di depan anak buahnya bukan hal baru lagi. Setidaknya, sejak setahun setengah ini Pak Ahok sudah memeloporinya di DKI Jakarta. Masih ingat kan, semprotan Koh Ahok untuk pegawai Pemda yang jadi notulen tapi tidak menggunakan laptop di depannya untuk mencatat jalannya rapat?
Sebagian orang, mengatakan pemimpin yang seperti itu hanya pencitraan saja, biar dapat kesan positif dari rakyat, tidak efektif mengubah kondisi yang sudah jadi tradisi, hobinya mempermalukan anak buah di depan orang lain — tidak etis, dan lain-lain.
Tapi nyatanya, bagi sebagian besar yang lain, apa yang pejabat lakukan tadi justru mendapatkan dukungan yang luas. Apa karena efek pencitraannya? Apa karena efek di-shoot kamera lalu menyebar luas lewat media? Apa karena efek sensasi saja?
Jadi kenapa sih gitu aja bikin heboh?
Meski tidak begitu penting untuk dijawab, menurut saya … kenapa aksi Pak Ganjar atau Pak Ahok mendapat tepukan tangan yang meriah adalah karena marahnya Pak Ganjar kemarin itu sebenarnya adalah marah kita juga. Marah sebagian besar penduduk sebuah provinsi (juga Kota/Kabupaten) dan sebuah negara Indonesia. Marah yang sudah lama sebenarnya kita salurkan lewat gosip di social media, surat pembaca, obrolan warung kopi, atau melayangkan keluhan lewat jalur formal ke berbagai instansi atau lembaga pelayanan publik tetapi seperti ngobrol dengan batu (masih mending dengan batu, karena batu tidak bikin kesal).
Pernah tidak kita lapor tapi malah kesal? Misalnya ada yang lapor ke komandan polisi “Pak, itu Polantas Bapak di jalan pada minta disuap” terus dapat jawaban, “Oya, silahkan dilaporkan kalau ada buktinya”. Atau sudah terang-terangan ada yang rekam diam-diam terus masuk televisi, tapi jawabannya masih sangat normatif, “Kalau memang terbukti, akan kami tindak”.
Suap di jalanan seperti itu, mana ada yang pakai kwitansi? Mana ada buktinya? Kalau ada yang sempat merekam, satu banding sejuta kejadian.
Itu polisi ya, yang sampai sekarang adalah sebuah mission impossible kalau Anda mau lapor seperti itu. Di kecamatan, di kelurahan, kantor Pemda, di jembatan timbang … kita juga sehari-hari menemui yang seperti itu. Dan sumpah serapah kita belum juga dikabulkan oleh Tuhan YME.
Lalu tiba-tiba Pak Ganjar beraksi di sebuah jembatan timbang malam-malam, memergoki dan memarahi secara “live”. Bukankah itu seperti marah kita diwakili olehnya?
Kita sudah terlalu lama merasa tidak ada yang mewakili, padahal pemilihan wakil dan pejabat sudah sangat sering. Alih-alih diwakili, kita sudah lama berada dalam posisi mewakili kesusahan mereka (pejabat tidak perlu macet, tidak perlu antri, tidak perlu repot … semua kita wakili).
Begitulah, Pak Ganjar di Jateng, Pak Ahok di DKI, atau juga Bu Risma di Surabaya, aksi marah-memarahi anak buahnya bagi kita seperti mewakili marahnya kita sejak lama melihat berbagai ketidakberesan. Padahal yang kemarin dimarahi itu (melalui pajak yang kita bayar) seharusnya mampu membereskan banyak hal untuk kemudahan masyarakat.
Saya sendiri yakin, siapapun tidak akan berani menegur orang lain kalau ia sendiri terlibat dalam persekongkolan. Itulah kenapa, misalnya, seorang Kepala Dinas kok susah amat menegur anak buahnya agar tidak main suap, karena ia sendiri menerima suap.***