Kompasianer pasti banyak yang belum pernah mendengar Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja di Bengkalis, Riau. Ya, (SM) Balai Raja seluas 18.000 Ha itu terancam punah dengan sisa hutan kurang dari 200 Ha lagi.
SM Balai Raja disahkan melalui Kemenhut nomer 173/Kpts-II/1986 pada 6 Juni 1986 lalu. Wilayah sedemikian luas itu, kini sulit untuk dijumpai keberadaannya dikarenakan keserakahan para pembalak.
Bayangkan, dalam waktu 29 tahun saja, kawasan SM Balai Raja yang 18.000 Ha itu hanya tertinggal 200 Ha. Jika Kompasianer ada yang ingin berkunjung kesana, pemandangan yang nampak hanyalah kebun sawit dan kebun sawit saja. Tak ada lain.
Anehnya, pembalakan tersebut seolah dibiarkan oleh pemerintahan setempat. Pemkab Bengkalis dan Pemprov Riau kerap kali menutup mata terhadap keberadaan kawasan hutan alam dilindungi itu.
Sekali lagi, hanya dalam 29 tahun, sebanyak 18.000 hutan alami dalam kawasan SM ranggas dan berevolusi menjadi kebun sawit. Sisa 200 Ha yang saat ini menempel pada lahan kompleks milik CPI pun terancam.
Sebabnya, sebuah pembangunan jalan lingkar milik pemerintah kabupaten Bengkalis akan membelah kawasan hutan alami SM Balai Raja yang tersisa sedikit itu. Kawasan 200 Ha yang kerap disebut dengan nama Hutan Talang.
Mirisnya, SM Balai Raja tersebut merupakan rumah bagi Gajah Sumatera dan beberapa jenis macan pohon yang kerap nampak disana. Khusus untuk Gajah Sumater, jumlah populasinya yang sudah amat sangat terbatas itu biasa menjadikan SM Balai Raja sebagai bagian dari Jalur Jelajahnya.
Tak heran, jika konflik hewan (baca: gajah, pen) amat tinggi untuk wilayah sekitar. Sepanjang catatan media di Tribun Pekanbaru, terdapat lebih dari 50 kasus konflik antara gajah dan manusia disana.
Jika terus dibiarkan, dan pemerintah terus menutup mata terhadap pemeliharaan SM Balai Raja, kawasan tersebut akan menjadi mitos belaka. Tak menutup kemungkinan, jika anak saya Annisa dan anak-anak lainnya di Riau menyebut gajah sebagai hewan mitologi belaka, karena susah untuk melihat wujud aslinya. Salam.