Saat saya punya kesempatan membaca novel itu, saya lupa tidak mencari dimana letak kalimat itu. Saya terlalu terpukau oleh alur novel itu. Tidak tahu, kenapa hari ini tiba-tiba saja saya ingat kalimat Pramudya itu.
Saya juga tidak tahu bagaimana memformulasikan kalimat “bersikap adilah sejak dalam pikiran itu”. Lebih-lebih pada era sekarang ini, pada saat pikiran itu menjadi power, saat pengetahuan itu menjadi power, pikiran itu mencerminkan ideology social politik yang dianut, Pertanyaannya kemudian, masih adakah ruang untuk bersikap adil sejak dalam pikiran? Bukankah jika tidak sejalan sudah dianggap berseberangan secara ideology, bukankah jika tidak sepaham maka sudah dikatakan sebagai bukan kawan? Bukankah juga sekarang ini pengetahuan menjadi alat untuk menundukkan pihak lain? Dan yang lebih parah lagi, pengetahuan telah menjadi alat untuk mendapatkan akses ekonomi, social maupun politik secara tidak kesatria.
Saya, tentu saja dalam posisi setuju dengan statemen Pramudya itu. Salah satu implikasi dari carut maruknya tatanan social, budaya, politik, ekonomi negeri ini memang karena kita sudah “tidak bersikap adil sejak dalam pikiran”. Tidak hanya itu, sekarang barangkali kita sudah tidak mandiri lagi dalam berpikir. Sedari awal sudah ada tersurat agenda-agenda untuk mempengaruhi, atau (mungkin) juga mengakali agar pihak lain mengamini.
“Bersikap adilah sejak dalam pikiran,” mungkin kini utopi tetapi tentu bukan suatu yang tidak mungkin.