Umur 17 tahun. Kelas 3 SMA. Masih tergantung sama orang tua, tergantung semuanya, terutama keuangan. Kenapa bisa begitu berbeda dari yang kubayangkan saat umur 9 tahun? Ternyata umur 17 tahun itu bukan apa-apa. Aku juga tak ikut pemilu, waktu itu bukan tahunnya pemilu. Tapi pemilu bukan lagi sesuatu yang wah. Pada jaman Orba ketahuan sudah siapa pemenangnya sebelum coblos, pada jaman Reformasi siapapun pemenangnya, nasib rakyat ya tetap saja tak berubah.
Umur 21 tahun. Mulai bekerja. Nikmat rasanya menerima uang dari keringat sendiri. Tidak berkeringat sebetulnya, kerjanya cuma duduk dalam ruang AC. Apa yang berubah? Waktu. Kadang terasa cepat, kadang lambat. Sungguh waktu sama dengan karet, bersifat elastis. Tergantung siapa yang melihat, apa yang dilihat, dari mana melihatnya.
Umur 35 tahun. Menganggur. Bertahun-tahun sudah. Waktu lebih sering berjalan lambat. Dalam penderitaan, setiap detik dihitung cermat, akibatnya merasakan lambannya penderitaan berakhir. Ketika bersuka cita, justru memacu waktu, seolah kebahagiaan akan lari jika tak dikejar. Aku ingin sekali mengerti seluk beluk waktu, agar aku bisa mempercepat waktu di saat sengsara, melambatkan waktu di saat bahagia, bahkan menghentikan waktu bila perlu. Juga ingin melompati waktu, ke depan, ke belakang. Indahnya melamunkan waktu.