Sering berkhayal andai lain keadaannya, akan jadi apa diriku sekarang. Jago komputerkah karena aku menghabiskan soreku di depan komputer? Pemusikkah? Atlet? Atau biasa-biasa saja. Atau memang susah nasib, mau bagaimanapun keadaannya, entah di istana atau tenda, akhirnya ya jadi begini juga. Berkhayal memang mengasyikkan, ia membuat apa yang tak ada (dan tak mungkin) menjadi ada. Tentram. Untuk sesaat.
Realita tidaklah mengerikan. Memang aku hanya tahu jalan dari rumah ke sekolah. Tak berani pergi jauh. Tak punya sepeda. Tak tahu juga mau ke mana. Dunia anak SMP bisa begitu sempit, bisa begitu luas. Dibentuk dari sinikah masa depan anak-anak itu? Patut dipertanyakan di mana keadilan, seorang anak terlahir di tengah kampung mengenal segala ternak dan pokok buah-buahan, seorang anak kota mengenal pahlawan super dari komik warna-warni. Akan jadi apakah masing-masing di kemudian hari.
Khayalan teman setiaku. Entah mengapa, aku suka berkhayal. Mungkin kesendirian tanpa teman bermain membuat aku tanpa sadar menciptakan sendiri keramaian, di mana aku bisa menempatkan diriku, tidak semau-maunya, tetapi menurut kaidah umum sosial, dengan karakteristik ciri khas diriku. Kalau berkhayal di tengah pesta ulang tahun teman, aku mendapati diriku duduk memojok, tersenyum dan mengangguk ke teman-teman, tapi tidak larut dalam suka cita pesta itu. Beginilah aku. Bahkan di saat dewasa. Seperti saat ini. Masih suka berkhayal dan introvert sejati.