Awal mula berkenalan agama saat di bangku sekolah. Dari rumah, tidak ada bekal agama (syukur atau celaka?). Di SD ikut pelajaran Islam dan Kristen, di SMP sampai kuliah ikut Katolik. Sekarang tidak ikut mana-mana. Tidak juga ada dimana-mana, bukan seperti seorang kyai kondang yang pernah mengatakan "tidak dimana-mana, tapi ada dimana-mana" pada saat Orba, akhirnya "ada dimana" juga saat reformasi. Fleksibel, yang penting pegang prinsip. Tapi samar, yang prinsip bagi seseorang mungkin bukan untuk seorang lainnya. Sah-sah saja akhirnya si kyai "ada dimana". Berpolitik bukan hal prinsip baginya, kita maklum kalau beragama prinsipnya.
Kembali ke atheis. Jelas bagiku beragama bukan prinsip. Aku juga tak yakin apa prinsipku, tapi samar-samar aku bisa berbisik "berpikir dan berlaku baik bagi semua: manusia, lingkungan, dan segala ciptaanNya". Nah, ada juga pengakuan adanya Dia dalam prinsipku. Memang seperti kataku di awal, masih ada keraguan akan Hal ini. Tak apalah, asal tak membingungkan.
Sama seperti tak perlu aku debatkan baik buruknya pengaruh agama pada manusia. Segala sesuatu diperuntukkan bagia manusia, perlakukanlah ia dengan baik, jangan diperbudak olehnya. Aku lihat, perseteruan, kemarahan, kekerasan atas nama agama, itu akibat manusia diperbudak ajaran agama, diperbudak oleh manusia lain yang mengaku ahli agama. Ketika seseorang menjadi tuan dari dirinya sendiri, terlebih tuan atas kepala dan hatinya, mempunyai kebebasan berpikir dan berolah budi, niscaya ia tidak bisa diperbudak oleh siapapun, oleh apapun. Tetapi untuk menjadi tuan itu bukan perkara mudah. Sejak SD aku diajarin untuk menerima semua perkataan guru sebagai kebenaran, sampai aku kuliah, sampai aku kerja, selalu ada saja yang harus aku rujuk sebagai kebenaran. Menjadi tuan hanya saat seperti sekarang ini, menulis amburadul campur aduk carut marut pikiran sesat.