Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Suatu Hari di Warung Sate

21 Januari 2019   13:59 Diperbarui: 21 Januari 2019   14:03 132 0

Warung sate itu berada tepat di pinggir jalan, sebelah utara Indomaret Gegerkalong hilir. Didalamnya terdapat satu meja berukuran sedang yang berfungsi sebagai tempat menyimpan gelas, ceret, serta galon. Lalu satu meja panjang untuk pelanggan dilengkapi 2 kursi panjang di sisi kiri kanan meja. Meja dan kursi pelanggan diletakkan di tengah warung sedangkan meja untuk menyimpan gelas diletakkan di sudut warung. Disebelah timur meja pelanggan, sang pemilik meletakkan gerobak untuk mengolah berbagai daging agar siap disantap.

Menu andalan mereka memang sate. Namun, menu lain seperti soto juga tersedia disana. Harga satu porsi sate berkisar 15 rb. Satu porsi terdiri dari 10 tusuk lengkap dengan lontong ataupun nasi. Dulu terdapat 4 orang yang mengelola warung tersebut. Seorang bapak lanjut usia bernama Supardi bertugas memotong lontong dan membumbui sate. Lalu ada mas-mas sekitar umur 25 tahun bernama Iwan bertugas memanggang sate. 2 orang lagi merupakan suami istri, yang kadang-kadang ada untuk menggantikan Supardi dalam bekerja. "Sekarang mereka (Suami-istri --red) pindah ke dago," ujar Supardi suatu hari ketika saya berkunjung kesana.

Malam itu, sekitar pukul 20.30, saya berbincang dengan Supardi. Supardi ini berperawakan besar dan berkulit sawo matang. Matanya agak sipit. Kumis dan janggutnya tidak terlalu lebat, namun sudah berwarna putih. Tutur katanya halus dan tenang.  Saat itu, Supardi memakai baju batik putih dan memakai kopiah.

 Sembari saya melahap sate yang sudah dihidangkan, Supardi mulai bercerita mengenai kehidupannya.  Ia lahir di tanah Madura sebagai anak pertama dari 3 bersaudara. Orangtuanya. sudah tiada sejak Supardi remaja. Praktis, Ia sebagai anak pertama menjadi tulang punggung adik-adiknya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Supardi beberapa kali mencoba peruntungan. Dibantu adiknya, kadang Supardi berjualan kue, pakaian, dan sayur-sayuran. Menjadi kuli pun pernah Ia lakoni. "Yang penting halal, apapun saya kerjakan," ujar Supardi sembari membenarkan posisi duduknya.

Ketika berumur 23 tahun, Setelah adik-adiknya dirasa cukup mandiri, Supardi mulai merantau ke jawa. Pengalaman bekerja di kampung halaman tak lantas membuat Supardi hidup mudah di perantauan. Beberapa kali beliau ditendang dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. "Dan akhirnya saya disini, jualan sate di bandung," kata Supardi tertawa.

Beberapa pelanggan masuk dan membuat obrolan kami terpotong. Ketika saya melihat Supardi, saya teringat ayah saya. Wajah yang terlihat letih kontras dengan tangannya yang selalu cakap bekerja. Wajah itu adalah wajah seorang pria yang telah merasakan pahit-getirnya kehidupan. Saya senang berlama-lama disini. Supardi dan Iwan sukses membuat saya nyaman dengan kesopanan mereka.

Selesai melayani pelanggan, Supardi kembali duduk di kursi depan saya. "Itu anak saya satu-satunya,"ujar Supardi seraya menunjuk Iwan. Iwan, kata Supardi, setelah lulus SMA lebih memilih membantu Supardi bekerja ketimbang kuliah. Hal itu dikonfirmasi Iwan. Menurutnya kuliah sekarang mahal dan hanya akan menambah beban keluarga. "Lebih baik langsung bekerja kang, yang penting bisa membaca, menulis, dan berhitung," ungkap Iwan sembari sibuk mengipas sate yang dia panggang. Saya manggut-manggut. Prinsip setiap orang harus saya hormati.

Malam itu begitu dingin. Namun, sebuah kehangatan saya temukan disini. Kehangatan yang sudah lama tidak saya rasakan, ditengah dunia yang semakin gila.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun