Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Demo(se)k(a)rat ("Koordinasi" atau "Kordinasi") dan Pak Pong!

25 Juli 2011   05:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:24 934 0
Partai Demokrat menganggap dirinya sudah karatan di jagad perpolitikkan. Partai yang masih seumuran jagung, tiba-tiba dengan mudahnya memenangkan pemilu secara fantastis. Euforia ini tentu saja berdampak pada perilaku individu dalam partai. Partai ini merupakan kumpulan bekas orang-orang dari berbagai macam partai ataupun non partai, beragamnya keanggotaan partai ini memungkinkan mudahnya terjadi keretakan, terlihat getas!

Ikatan itu tidak sekuat akar beringin atau dengusan banteng terluka! Partai Golkar maupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mampu bangun dari keterpurukan yang sangat dalam. Partai Golkar bahkan hampir tidak mendapatkan secuil pun kepercayaan dari publik. Tetapi lihatlah, pelan tapi pasti, boleh jadi sebagian masyarakat justru mendambakan kehidupan masa Orde Baru terulang lagi. Partai Golkar identik dengan Orde Baru. Partai Golkar adalah ikon Orde Baru. Saat ini, masih ada sebagian masyarakat merindukan Sang Jenderal Bintang Lima HM Soeharto, seiring semakin tidak populernya Susilo Bambang Yudhoyono menurut jajak pendapat baru-baru ini.

PDI-P terceraiberai. Perebutan kekuasan di Partai ini menyisakan kegetiran yang menyesakkan dada. Tetapi, para "marhaen" begitu sangat loyal terhadap Soekarno, sebagai perekat. Sangat militan, selalu diidentikkan dengan stempel darah ketika eksistensinya terusik. Boleh jadi, semua partai di Indonesia, mempunyai permasalahan yang sama seperti Partai Demokrat. Tetapi, selalu saja ada jalan keluar yang membebaskan.

Blunder Partai Demokrat sangat berbahaya dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Kemenangan mutlak Partai Demokrat dalam pemilu yang lalu, otomatis mewarnai mayoritas eksekutif dan legislatif. Artinya, kegagalan yang terjadi di Demokrat, paling tidak akan berpengaruh juga terhadap kinerja eksekutif dan legislatif. Lihat saja, walaupun belum dipastikan kebenarannya karena harus diproses secara hukum, kasus-kasus mutakhir dihubungkan dengan Partai Demokrat. Surat palsu Mahkamah Konstitusi, penyelewengan dana APBN pada proyek-proyek besar maupun yang lainnya menyeret para petinggi Partai Demokrat.

Dikhawatirkan blunder ini merupakan pintu masuk ketidakpercayaan masyarakat yang kemudian digunakan sebagai alasan dilakukannya demonstrasi besar-besaran untuk segera melengserkan pemerintah yang berkuasa. Kemelut Partai Demokrat bisa digunakan elemen masyarakat sebagai legitimasi atas kegagalan pemerintah untuk kemudian melahirkan reformasi jilid kedua.

Kegagalan lembaga negara dalam mengurai benang kusut berbagai masalah yang berakhir pada ketidakjelasan, akan melahirkan anggapan bahwa setiap kasus yang muncul beraroma rekayasa belaka. Ada konspirasi antar lembaga negara dalam penanganan korupsi. Dana APBN yang jelas-jelas ada saham rakyat didalamnya, diperebutkan secara semena-mena, walaupun seandainya tidak terbukti sekali pun dalam persidangan, tetap masyarakat menganggap ada rekayasa untuk menentukan siapa-siapa yang bersalah. Jadi, para elit akan sulit untuk dijamah oleh hukum.

Ada kejadian yang menarik tetapi mengganggu, bahkan luput dari perhatian masyarakat. Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Partai Demokrat di Sentul beberapa waktu yang lalu, sebenarnya tidak ada yang dinamakan rapat "koordinasi" yang ada rapat "kordinasi". Kalau tidak percaya lihat di background panggung tempat penyelenggaraan rakornas tersebut. Setelah dicari-cari di Kamus Besar Bahasa Indonesia kata "kordinasi" tidak dijumpai, yang ada "koordinasi" yang berarti "perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga pengaturan atau tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur" (KBBI, Pusat Bahasa, Edisi Keempat, 2008).

Jadi ketika muncul ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil rakornas yang tidak menghasilkan perubahan apapun dalam penanganan kasus yang membelit Partai Demokrat belakangan ini, memang tidak perlu ditanggapi secara serius oleh elit Partai Demokrat, karena memang bukan rapat "koordinasi" tapi hanya rapat "kordinasi" yang berarti sangat absurd, entah apa maksudnya. Atau bahkan pembohongan publik dalam bentuk lain?

Seandainya kejadian itu hanyalah merupakan kesalahan teknis belaka dalam penulisan "koordinasi" menjadi "kordinasi", bagaimana mungkin mau mengurus negara dengan baik, kalau menyusun kalimat yang "remeh-temeh" begitu saja "bingung"? Reformasi jilid kedua memang belum nampak, karena hanya terwakili oleh Pong Hardjatmo saja. Kasihan, Pak Pong!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun