Dari kamar sebelah timur di lantai tiga sakan[1] Basalamah, matahari terlihat indah memerah, mewarnai keindahan langit di awal hari nan cerah, dihiasi nyanyian ombak berirama serempak yang terdengar lirih karena keberadaannya yang agak jauh, sesekali tiupan lembut angin laut yang sejuk pun ikut mengiringi irama itu, membuat suasana di pagi hari semakin syahdu. "Ayo, Din! Kita ke mathbakh, futhur[2]!", Adji mengajak Udin ke mathbakh Abu Ali, dapur milik Jami'ah (Universitas Al Ahgaff pusat di Fuah, Mukalla City Hadramaut Yaman) yang berjarak sekitar 350 M. dari sakan Basalamah untuk mengambil jatah sarapan pagi itu. "Emanag udah jam berapa sekarang, Dji?" "Udah jam tujuh nih!, entar telat lagi kaya kemaren gak dapet halib[3]", "Ya udah, bawain gelas ana dulu yah!, ana mau ngajak joko dulu", kata Udin hendak mengajak joko, seorang sahabat dari kamar lantai dua sebelah timur juga. "Alaaah, biasanya juga dia gak pernah futhur, paling sekarang juga dia lagi tidur tuh. Balas dendam karena begadang semalam". "Ya, tapi siapa tahu dia lagi pengen futhur gitu". Ternyata dugaan Adji tidak tepat, Joko yang ia kira sedang tidur, ternyata Udin melihat dia di kamar sedang duduk Iftirasy menghadap barat hendak salam mengakhiri Sholat Dhuhanya. "Assalamu'alikum warahmatullaah, assalamu'alikum warahmatullaah". Ketiga sahabat itu akhirnya pergi bersama sama menuju mathbakh. Tidak seperti biasa, kali ini mata mereka berkeliaran kemana-mana layaknya orang orang yang mencari sesuatu yang hilang. Tiba tiba ada anak laki laki kecil yang tanpa basa basi memberi secuil kertas berisi nomor HP kepada Adji, "Ya Thoyb, syelloh! Hat li roqm haggak! [4]". Dengan sedikit ragu Adji pun langsung mengambil secuil kertas itu dan memberi nomor HPnya pada anak kecil tadi."Siapa tahu ini nomor perempuan cakep yang ngefans sama aku", katanya bangga. Suasana di sekitar Imaroh imaroh[5] dekat sakan mereka kelihatan masih tidak begitu ramai, mungkin masih terlalu pagi. Yang ada hanya teriakan serak gagak gagak yang berkeliaran, menyuarakan rasa laparnya di pagi hari. Setelah melewati Imararoh imaroh itu, keramaian mulai terlihat. Universitas Al-ahgaff di samping jalan yang menuju jalan raya mulai tampak di mata mereka, Riasatul Jami'ah (Universitas Pusat), Kulliyatul Iqtishad, Handasah dan Hasub (Fakultas Ekonomi, Teknik dan Ilmu Komputer) terlihat gagah mengapit bangunan dan baggalah baggalah (toko) yang ada di antara fakultas fakultas tersebut. Selang beberapa menit, Universitas Hadramaut pun terlihat di sebrang jalan raya sana. Sungguh pemandangan yang indah, khalayak bertebaran kemana kemari. Pengusaha, Pelajar dan Mahasiswa sibuk sendiri sendiri. Banyak yang jalan kaki, ada juga yang naik mobil bergengsi. Yang menarik adalah 'Mâsyi ikhtilâth'[6], kaum adam dan hawa tidak bercampur baur, kecuali mereka mereka yang mempunyai hubungan keluarga atau saudara. "Gagak gagak itu buat penasaran banget ya?", kata Adji memulai obrolan. Dengan serempak Udin dan Joko menjawab penasaran "Gagak!?". "Iya, perempuan perempuan bercadar yang berpakaian hitam hitam itu. Kayak gagak kan? hitam hitam dan matanya tajam". "Oooh!!!" "emang kenapa, Dji?" tanya Joko penasaran lagi."Bukannya mereka titisan Ratu Bilqis?". "Mungkin! Kamu lihat aja, tubuh tubuh yang berjalan semampai itu, semuanya tertutup kain hitam kecuali dua bola mata yang indah dan kulit putih yang terlihat disekitarnya saja. Hidung mancungnya yang tertutup cadar itu indah sekali, melengkung seperti paruh elang. Bahkan banyak juga yang tidak memakai kaus tangan hingga kulit putih mulusnya kelihatan. Apa lagi yang dihiasi ukiran pacar yang indah". "Apa lagi jika mereka melirik penasaran sama turis turis kayak kita ini ya?", sela Udin. "Huuh! Rasanya jantung ini pengen copot, Din. Mata indah bola pimpong itu membuatku penasaran. Seperti apa ya mukanya?" "Katanya sih, jika kulitnya itu putih, kemungkinan orangnya juga cantik. Lihat aja anak anak perempuan yang belum baligh yang belum pake cadar di sini, pasti kebanyakan cantik cantik kan?" "Astaghfirullahal 'adziiiim! ternyata, diem diem selama ini kamu merhatiin anak anak kecil itu, Din?" tanya Joko kaget. "Kamu kan udah punya istri. Masih aja mengumbar mata". "Habis gimana lagi? Istriku kan di Indonesia. Terus di sini perempuan yang gede gedenya gak ada yang bisa dilihat sih mukanya, jadi mending liat anak kecil aja dech, lebih aman." "seharusnya pernikahanmu itu bisa lebih merundukan pandanganmu, Din. Walaupun terhadap anak kecil, jika menimbulkan syahwat dan fitnah, maka itu tidak boleh juga. Inagt kata Imam Nawawi dalam Minhaj : Murâhiqah (perempuan mendekati baligh) itu sama hukumnya dengan perempuan yang sudah baligh." Obrolan demi obrolan seakan menyingkat langkah mereka, hingga tidak terasa mathbakh pun telah di depan mata. Semua mahasiswa—yang berangkat kuliyah pagi, siang, dari dalam negeri, Jazirah Arabiyah, dari Indonesia, Thailand, Malaysia, Tanjania, Kenya hingga dari Somalia pun— melebur dalam sebuah ruang makan di mathbakh itu. Menu sarapan hari itu lumayan spesial, juga termasuk menu favorit Joko, yaitu syahi halib[7] dan roti gandum selebar piring dengan tiga pilihan menu lainnya, yaitu selai campur jubn[8], telor atau halawah[9]. Selang beberapa jam, mathbakh pun mulai sepi tinggal beberapa petugas yang sedang sibuk menyiapkan sesuatu untuk ghoda[10] nanti. Di perjalanan pulang dari mathbakh, Joko berhenti sejenak. Dia memperhatikan toko sandang yang bertulisan 'Al-Jâhirah Lil Malâbis al-Jâhizah'. Disitu dijual bermacam macam pakaian perempuan. Dari untuk anak anak sampai dewasa, dari pakaian hitam dilengkapi cadar hingga pakain strit dan yang minim minim pun ada. "Aneh! Pakaian strit strit itu siapa ya yang mau beli? Di sini kan perempuan perempuan dewasanya pakai cadar semua". "Ya mereka mereka itu lah yang beli, terus siapa lagi?" kata Adji menjawab pertanyaan Joko. "Terus buat apa kalau begitu?" tanya Joko benar benar ingin tahu, karena benar benar polos dan tidak tahu. "Yang pasti nggak dipake diluar rumah. Dan yang pasti juga untuk dipandang suami di dalam rumah jika sudah berkeluarga atau sekedar buat daleman pakain cadar mereka. Lihat aja, kadang celana pencil atau celana levis strit yang mereka pakai, bawahnya sering keliatan jika mereka berjalan. Karena celana mereka lebih panjang daripada rok baju cadar mereka". "Nggak kayak perempuan perempuan di Indonesia. Mereka terlalu berani memamerkan keindahan mereka pada khalayak umum. Jangankan bercadar, kerudung aja mereka lepas, memakai pakaian minim hingga lekuk tubuhnya menonjol. Makanya tidak aneh jika tingkat pemerkosaan dan pelecehan seksual di sana terus meningkat", ucap Udin sedikit jengkel; karena teringat teman perempuannya waktu di bangku SMP yang kini telah menjadi korban pergaulan bebas. "O, ya, mereka juga memakainya saat ada acara pertemuan atau walimah. Kan acara disana gak pernah dicampur dengan laki laki. Soalnya, Mubarok anak kelas syu'bah dal itu pernah tahu. Dia lagi nongkrong di teras kamarnya di lantai tiga itu. Sedangkan acara perempuan perempuan tadi di sutuh[11] sakan sebelah yang lebih pendek dibanding sakan kita. Katanya, mereka pada lepas cadar. Dengan melepas pakaian cadar, otomatis mereka terlihat seksi dengan pakaian pakain minim dan stritnya. Karena memang pakain strit tadi adalah daleman yang mereka pakai sebelum memakai pakaian cadar. Mubarok tidak sengaja melihat mereka. Karena takut ketahuan, dia merunduk menyembunyikan sosoknya. "Masya Allah, bak Bidadari turun dari kayangan, bikin aku tidak bernafsu punya istri orang Indonesia aja nih", kata Mubarok terpesona kecantikan para Bilqis bilqis itu. Setelah sampai di kamar, Adji melepas bajunya dan hendak mencantolkannya di gantungan baju, tiba tiba ada sepotong kertas jatuh dari kantong bajunya yang tidak terlalu dalam itu. "Astaghfirullah! Aku lupa. Ini kan nomor HP yang dikasih anak kecil tadi". Setelah itu ia langsung mengambil HPnya di lemari untuk menghubungi nomor tadi. Tapi berkali kali ia hubungi ternyata nomor itu tidak pernah aktif "Inna littishol bir roqmil mathlûb re mumkin hâlian…[12]".
KEMBALI KE ARTIKEL