Malam terasa jenaka, hal-hal lucu berkeliaran di kepala. Sedikit pusing setingkat pening, terlalu banyak tertawa nyatanya kurang sehat juga yang berlaku di kepala.
Ketawa sendirian pula, atas dasar menghibur diri daripada aku ini tengok sana tengok sini, mencari sesuatu yang pada akhirnya tak ada satupun yang akan menanggapi.
Di luar sana memang hening, para tetangga tak lagi bising seperti sore tadi. Mungkin mereka tengah merasa lelah, memilih berbaring di tempat istirahatnya masing-masing.
Di dalam sini, aku masih sendiri semenjak tadi pagi hingga malam ini tengah berlangsung. Maklum, jadi seorang anak tunggal itu ya begini, sepinya jauh lebih dominan ketimbang serunya berkumpul bareng keluarga tercinta.
Ketidakmampuan menghibur diri dampaknya bisa saja akan lumayan fatal untukku, menurutku sih begitu. Digerogoti banyak sesi sepi setiap hari itu nggak ada asyik-asyiknya sama sekali.
Mencari secercah hiburan yang sebatas normal bin wajar, aku pikir itu masih masuk akal, daripada aku dibuntuti sering merasa kesepian di saat-saat yang sama sekali bukan keadaan yang kebetulan.
"Selama aku ini bisa cukup betah di rumah dan nggak bertindak gegabah, aku pikir itu tidaklah salah."
Oh ya, ada tetangga yang pernah bilang, katanya aku ini hidupnya senang. Tiap hari tinggal minta jatah lalu berangkat sekolah, setelahnya sekolah pulang ke rumah, dan sudah disediakan sekian rupiah untuk perbekalan menikmati setiap hari.
"Satu sisi sudut pandang versi tetangga, berbeda versi dengan aku yang menjalani yang justru kerap merasakan sepi pun sunyi sendiri."
Betul kata Bu Guru, kadang butuh berdebu dulu untuk kemudian jadi mau menyapu agar menjadi bersih adanya. "Aku memang mengakui, butuh belajar juga, agar secara bertahap bisa menuju kebersihan hati."
Betul juga katanya Pak Guru, ada saatnya harus mau bertamu demi bertemu restu, menemukan sekian hal baru atau suasana yang akan jauh lebih bermutu. "Pikiranku kan mana mau kerap buntu atau sering rancu, toh secara perlahan menata budi pekertiku diragam situasi adalah perlu."
"So ... apapun persepsi tetangga atau siapapun terhadapku, anggap saja satu kabar berita juga satu kabar gembira bagiku."
Aku akan berhasil menjalani waktu, seiring usaha yang aku mampu. Aku akan mau menikmati setiap waktu yang aku miliki sesuai rasa syukurku karena waktu itu sendiri, yang berkenan memilihku.
Ah aku ini ... masih banyak yang ingin aku ceritakan, tapi bakalan kepanjangan. Ada juga yang masih ingin aku suguhkan, tapi aku merasa mulai kehausan. Minum dulu, sepertinya akan jauh lebih menyegarkan kerongkongan.
Mungkin sebentar lagi, ibuku segera datang atau ayahku yang lebih dulu pulang ke rumah. Aku harus siap memasang tampang seorang periang yang bukan kepalang, menyambut kedatangan dua orang yang tersayang.
Ya sudah ... Aku cukupkan sekian, cukup sedikit saja mengeluhnya, anggap saja aku tengah mengalah ketimbang membantah. Toh iya, orang tuaku melakukan ini semua, bahkan bekerja hingga selarut ini kan demi aku juga, demi kelak agar aku menjadi seseorang yang manut, patut, dan bukannya carut-marut.
"Oh ya, perkenalkan ... namaku Ridho."
Bandung, Agustus 2023