Terlalu banyak sesak darimu tertanam di sanubari, selain tingkat arogansi level tinggi yang sebaiknya aku jauhi seiring hati-hati. Belajar untuk tidak lagi mencium, satu kepastian yang butuh disegerakan.
Jangankan menatap untuk lalu menetap, untuk membuka mata atau mencoba buka suara demi sekadar berbasa-basi ria, aku sudah tidak punya niatan lagi untuk melakukannya.
"Katanya harum yang hebat, tapi?"
"Katanya harum yang tepat, tapi entah dimana peka itu berada."
"Katanya harum yang siap melekat, tapi?"
Memberi keutuhan, dibalas keberatan. Memupuk keringanan, dibalas kekakuan. Menawarkan satu jalan, malah dihiraukan. Mencoba jelaskan, justru diabaikan.
"Bukan aku butuh dibalas, justru aku percaya bahwa harummu itu adalah kesungguhan."
"Bukan aku mengharapkan, justru aku percaya bahwa harummu itu adalah kelembutan."
"Bukan aku menginginkan untuk selalu disetujui, justru aku ini sangat mempercayai bahwa harum juga ranum milikmu itu, tentu saja murni."
Sedangkal itu tingkat kedalaman, kelak akan jadi satu penyesalan. Sesempit itu menelaah luasnya leluasa, nanti akan menjadi satu rupa rasa sesak itu sendiri yang terbukti akan disesali.
Wangimu tak lagi sedap untuk aku hirup, sebab aku ini masih butuh untuk melanjutkan hidup. Wangimu kini tercium kecut, satu pertanda untuk aku tak lagi larut apalagi terus-menerus bertekuk lutut.
Jujur saja, ketika aku masih sanggup memilih lalu memilah harum apa saja yang sekiranya tidaklah sehat ... itu tentunya masih berasa lebih baik, jadi satu bentuk sadar yang bukan untuk terkapar.
Bandung, Juli 2023