Krishna merasakan dadanya begitu perih, hatinya begitu sesak. arjuna yang sedang menjalankan kewajiban menghabisi bala tentara lawan yang mau menyerbu wirata nagari juga tertimpa rasa sedih yang sama. hingga air mata itu menetes tanpa bisa ditahan.
awan, angin, dan tanah pada hari itu seakan sedang menyanyikan lagu sedih yanga sama. "Kesedihan macam apa ini Madawa?" tanya arjuna.
"Bahkan Dewa sendiri pun tak mampu menghindari sebuah takdir malang, Arjuna".
Krishna sebenarnya sudah tahu bahwa bermil-mil jauhnya di sana-Kurusetra, keponakannya yang sangat ia kasihi, putra adiknya Subhadra dan putra temannya Arjuna sedang menghadapi pembantaian dari para Kurawa. Anak yang gagah itu harus dikeroyok oleh para pengecut Kurawa itu dari berbagai sudut. hingga akhirnya ia pun jatuh tersungkur. namun tak sedikit pun anak itu menjeritkan kesakitan. tak pernah sedetik pun ia menampakkan ketakutan. bahkan ia- sang anak kecil itu telah berhasil membuat Duryodhana merasa takut akan kematian.
bahkan ketika dengan liciknya Sangkuni menusuknya dari belakang, dan bertanya apakah ini sakit nak? Abhimanyu, sang ksatria itu hanya tersenyum dan tertawa. ia berkata aku sedang merasakan belaian kasih sayang darimu, kakek sangkuni!
mungkinkah Abhimanyu hanya berupaya membodohi para kurawa itu. ia hanya ingin menunjukkan sebuah keberanian yang akan membuat para Kurawa kecewa. ataukah ia memang telah berhasil melewati batasan rasa inderawi. hingga kekuatan tekad dan keberanian itu telah mengalahkan semua rasa sakitnya. hingga apa yang dilakukan oleh sangkuni betul-betul terasa seperti sebuah buaian?
mungkin itu pulalah yang dirasakan para pejuang Afghanistan ketika tank-tank soviet menggilas jasad meraka. salah seorang perwiranya merasa aneh dengan pemandangan itu. karena alih-alih menjerit, mereka malah tersenyum penuh kesenangan. bahkan dalam satu kesempatan, meraka berkata bahwa mereka berjuang bukan lagi untuk ruang, tanah, daerah, apalagi kekuasaan. mereka telah berjuang untuk Tuhan. dan sebuah kesadaran telah tertanam hingga sumsum mereka bahwa mereka takkan mendapatkan apapun dalam peperangan ini. selain Tuhan itu sendiri.
lalu sang pejuang berkata pada perwira soviet. "Sedangkan Tuan, untuk siapakah Tuan berjuang?"
sang perwira hanya terdiam. dalam hati ia sungguh iri dengan sang musuh itu. sungguh sangat ingin ia memiliki sebuah keyakinan seperti itu. keyakinan yang membebaskan seseorang dari tujuan yang bersifat material, fana. keyakinan yang mampu membuat seseorang mati dengan sangat bahagia. sebuah kematian yang bermakna.
sedangkan ia-sang perwira, ia hanya memandang dirinya hanyalah alat. alat dari apa? negara? ataukah ideologi? lalu apakah negara itu? apakah ideologi itu? bagaimana ceritanya negara mempunyai hak untuk menumpahkan darah jutaan orang dalam sebuah fragmen hidup yang bernama perang.
lalu apakah tujuan hidup itu? sang perwira terdiam. ia tahu, dalam diam itu ia tak punya jawaban.