Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Hari Ini, Setahun yang Lalu (Part #1)

15 April 2011   00:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:47 563 0
“Perkenalan yang Ajaib” Rabu, 24 Maret 2010 “Dhi, gue udah di kereta sama Aga & Menceng. Lu nyampe Solo jam berapa? [WK Ftgr Arief]”. Pesan singkat dari Arief masuk ke HP saya. “Tekew. Wod, dewe tekan Solo jam piro. Iki lagi ning Bawen”, tanya saya agak panik. (Gila. Wod, kita nyampai Solo jam berapa. Ini masih di Bawen). Tanggal ini, tepat setahun yang lalu. Rabu 24 Maret 2010, langkah pertama kami memulai perjalanan ke Lombok. Kami berangkat berlima. Saya dan Wowod berangkat dari Ambarawa. Arief yang sehari sebelumnya berangkat dari Jakarta akan bergabung dengan Aga dan Menceng berangkat dari Jogja. Kami sepakat bertemu di Stasiun Jebres, Solo untuk selanjutnya meluncur ke timur menuju Banyuwangi. -Kereta Api Sritanjung, gerbong 3 dari belakang- Kami berlima belum saling mengenal. Sekedar saling sms dan konfirmasi dari notes FB saja yang membuat kami berani dan percaya. Saya dan Arief Ridhatama kuliah sekampus di Akuntansi Pemerintahan STAN dan kebetulan sama-sama aktif di majalah kampus. Bhakti Nagara Arifianto a.k.a Aga yang tidak lain adalah teman Arief, baru saya kenal dua minggu belakangan setelah hampir 3 tahun bareng meskipun kami kuliah di gedung yang sama dan kos di wilayah yang sama pula. Wowod (Yudi Putranto), mahasiswa Perpustakaan Undip, adalah kakak kelas saya sejak SMP dan senior saya di PLG Jaga Bhumi SMA. Muhammad Husni Santriaji, yang terasa lebih romantis jika namanya diganti menjadi Menceng, partner in crime Aga, adalah mahasiswa Elins UGM yang tidak ikut Mapala UGM karena terlanjur cinta dengan Eiger Corps, organisasi pecinta alam SMA 1 Purwokerto. Perkenalan Arief dan Menceng : Mediator pertemuan Arief dan Menceng adalah Aga. Arief yang berangkat dari Jakarta akan dijemput Menceng di Stasiun Lempuyangan, Jogja karena Aga masih di Purwokerto. Karena Arief dan Menceng belum pernah bertemu dan belum saling mengenal, untuk menemukan Arief di lautan manusia di stasiun, Aga berpesan singkat : “Ceng, cari aja orang yang mukanya mirip kamu”. Pesan yang sama juga diberikan kepada Arief : “Rip, cari aja orang yang mukanya mirip elu”. Ajaib, tanpa saling telpon dan sms, Menceng bisa menemukan Arief, dan sebaliknya. Padahal menurut saya, mereka sama sekali tidak mirip. Menceng yang dikarunia wajah berkulit eksotis semi-Afro, menurut saya lebih mirip Deni Cagur dengan eksposur warna dikurangi 5 setrip dan proporsi pipi kiri tidak simetris dengan pipi kanannya. (Itulah mengapa dia dipanggil “Menceng”, in English, it means asimetric). Sementara Arief yang kurus kering, lebih mirip Sakurta Ginting a.k.a Kipli di sinetron Kiamat Sudah Dekat versi 10 tahun lebih tua. Jadilah kami berkumpul di gerbong ekonomi KA Sritanjung di Stasiun Jebres, Solo. Latar belakang yang berbeda, asal daerah dan bahasa yang berbeda pula, belum saling mengenal, dan berbeda kampus justru membuat kami merasa bahwa perjalanan ini akan seru. Apresiasi tinggi kami berikan kepada Wowod dan Menceng. Demi rencana gila ini, mereka dengan kesadaran penuh membolos kuliah selama dua minggu dan dengan senang hati meninggalkan praktikum, asistensi, atau pun ujian praktik komputer. Saya, Arief, dan Aga seharusnya juga berada dalam masa prihatin, karena IP semester kami belum keluar. Kami bertiga juga seharusnya mulai memikirkan topik tugas akhir dan mencari objek penelitian seperti halnya teman-teman kami lainnya. Bisa diibaratkan, kami berlima sedang menikmati segarnya es cendol di siang yang panas saat teman-teman sekampus kami puasa sunah. Dan ketika mereka berbuka magrib nanti, kami akan terkapar pilek dan tidak mendapat pahala. Pilihan naik KA Sritanjung sebenarnya didasari alasan ekonomis : kami tidak mampu membeli tiket bus Jogja – Mataram sehingga memutuskan estafet berganti-ganti transportasi untuk sampai Mataram. Rencana awal, Jogja-Banyuwangi naik KA Sritanjung, Banyuwangi-Gilimanuk menyeberang dengan ferry, barulah nanti di Gilimanuk kami akan naik bis tanggung menuju Padangbai yang dilanjut dengan ferry lagi ke Lembar, Lombok. Namun, keterbatasan ekonomi inilah yang kami syukuri karena dengan berganti-ganti transportasi, selain lebih hemat, kami ternyata memperoleh nilai-nilai berharga dari sesuatu yang sederhana. Baik di kereta, pelabuhan, kapal, atau terminal. Penjual Es Degan “Kita akan berani berkata jujur kalau kita takut dibohongi”. Saya tidak tahu persisnya apa maksud bapak penjual es degan, tetapi intinya adalah tentang kejujuran. Jangan pernah khawatir dibohongi selama kita selalu bersikap jujur kepada orang lain. Ya, kejujuran. Sesuatu yang mulai langka dan menjadi barang istimewa. Bule berbahasa Jawa Dari cerita mas-mas penjual Aqua kami tahu bahwa dia pernah ngobrol dengan bule dari Perancis. Jadi, si bule itu sengaja belajar bahasa Jawa agar selama traveling dari Jogja ke Bali bisa berkomunikasi dengan penduduk lokal sehingga bisa lebih memahami budaya dan keunikan Indonesia. Ah, tamparan halus bagi kita, yang katanya asli Indonesia tetapi bahkan apa nama dan dari mana asal lagu atau tarian daerah saja kita tidak (mau) tahu. Bapak-bapak Pekerja Bangunan Selepas transit di Stasiun Gubeng, Surabaya, kami sebangku dengan seorang bapak pekerja bangunan yang akan berangkat ke Denpasar. Beliau adalah salah satu pekerja yang membangun proyek resort di Bali. Beliau bercerita, pemilik resort itu adalah WNA dari Australia. Ini tentang perekonomian kita yang (masih saja) dikuasai asing dan beberapa gelintir saja orang di negeri ini. Ini tentang distribusi kesejahteraan yang tidak merata dan terlalu memihak. Indonesia-Itu-(TERLALU)-Indah Kelebihan lain dari naik kereta adalah, biasanya rel kereta api terletak jauh di luar kota sehingga kita bisa lebih menikmati bentang alam di sepanjang perjalanan Solo-Madiun-Surabaya-Banyuwangi. Sawah berlatar pegunungan, hutan jati yang saat itu masih menghijau di penghujung musim hujan, pemukiman penduduk di pinggiran kota. Itu adalah sebagian kecil wajah Indonesia, belum ada 1%-nya. Namun, selalu saja kami kagum setiap kali disuguhi pemandangan berbeda secara bergiliran tiap kali kereta bergerak dari satu kota ke kota lain. Perjalanan dengan kereta Sritanjung yang tiketnya hanya Rp 35.000 itu memberikan pengalaman yang jauh melebihi nominal uang yang kami bayar. Kami sampai di Stasiun Banyuwangi Rabu malam sekitar jam 22.30. Keluar dari stasiun, kami jalan 500 meter menuju pelabuhan. Istirahat sebentar sembari makan nasi goreng di pinggir jalan. Ternyata, nasi goreng di daerah Jawa Timur, tidak pakai kecap (kalau pun pakai, takarannya sedikit sekali). Aroma asin air laut mulai tercium seiring kami melangkah menuju pelabuhan bersamaan dengan truk-truk besar pengangkut barang dan bus antarkota. Lelah setelah seharian berdesakan di kereta, kami break lumayan lama di mushola Pelabuhan Ketapang. Mushola ini menjadi semacam monumen bagi saya dan Wowod ketika kami secara terpisah melakukan perjalanan ke Bali setahun sebelumnya. Wowod di Januari 2009 dan saya tiga bulan kemudian. Saat itu kali pertama saya memberanikan diri menggembel. Bali saya pilih karena Wowod pernah ke sana sebelumnya. Saya ingat betul pesan Wowod : “Kalau sudah sampai Pelabuhan Ketapang, istirahat dulu di mushola-nya. Tidur sebentar sambil menunggu kapal penyeberangan. Tempatnya nyaman. Dekat dengan kamar mandi, jadi bisa buat mandi. Gratis lagi”. Setelah solat dan cuci muka, kami istirahat bergantian. Wowod berkenalan dengan seorang perantau dari Sulawesi yang sudah 5 tahun berkelana mengelilingi Jawa dengan jalan kaki saja. Ya, JALAN KAKI. Dari penampilannya, kita akan tahu kalau dia telah melewati hari-hari yang berat. Di tas lusuhnya, hanya berisi sleeping bag kumal dan beberapa baju ganti. Tidak ada bekal makanan atau uang. Untuk bertahan hidup, dia mengandalkan kemampuannya pijat refleksi. Berbekal tulang rahang sapi, dia akan memijit orang-orang yang memerlukan jasanya. Dari sanalah dia bertahan hidup dengan uang hasilnya memijit. Dia sedang mengumpulkan uang untuk membeli tiket kapal pulang ke Sulawesi. Malam itu, Wowod beruntung merasakan pijat refleksi tulang sapi. Saya dan Aga lalu pergi ke bagian lain di pelabuhan, mencari truk yang bisa ditumpangi atau “nembak” tiket bus malam. Hampir satu jam kami mencari truk dan nego ke sopirnya. Ah, kami tidak menguasai ilmu negosiasi secara meyakinkan. Harga masih terlalu mahal. Saya dan Aga kembali ke mushola, diskusi berlima, dan sepakat naik bus saja. Pertimbangan : lebih cepat, nyaman, dan hemat tenaga. Jadilah kami naik bus TIARA Mas dari Banyuwangi ke Mataram dengan tiket seharga Rp 140.000, dapat bonus makan sekali dan full music album koleksi Wali. (dari Gilimanuk hingga Mataram, CD yang diputar hanya album Wali, dari situ secara tidak sadar saya jadi suka bersenandung DIK, Cari Jodoh, atau Baik-Baik Sayang). Tepat jam 00.00 WIB, bus TIARA Mas mulai perlahan masuk ke lambung ferry dari Ketapang dan bersiap menyeberang ke Gilimanuk. Kelelahan yang sudah terakumulasi sejak pagi, memaksa kami terkapar di kursi empuk bis sambil berselimut. Alunan sendu nan mendayu-dayu lagu Baik-Baik Sayang mengantar saya tidur hingga terbangun di pulau seberang. Selamat tinggal Jawa. “..hanya satu pintaku.,untukmu dan hidupmu.,baik-baik sayang.,ada aku untukmu..” (next : Part #2 “Siapa Bilang Lombok Itu Pedas”)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun