Mohon tunggu...
KOMENTAR
Horor Pilihan

Ssssstttt! Jangan Sompral

14 Desember 2023   13:28 Diperbarui: 14 Desember 2023   13:45 212 3
Nuansa cuti bersama teman-teman pastinya sangat menyenangkan. Terlebih saat tandatangan bos melayang seraya menyeru padaku saat itu "silakan selamat berlibur ya" yang berisikan nama-nama kami semua.

Jadi cerita ini kejadian tahun 2019, selepas pulang "mantai" ke Daerah Gunung Kidul. Agustus 2019 menjadi salah satu pilihan untuk Aku, Ririn, Ambar, Atin, Hanif, Bram, Reza dan Yoga cuti bersama dari kantor. Yogyakarta menjadi destinasi utama kami, selain ramah kantong disana banyak makanan yang wajib kami kunjungi.

Kami memilih menginap di salah satu Villa didaerah Seyegan, Sleman. Desainnya bangunan yang terbuat semi permanen dengan kayu-kayu lengkap dengan gemericik air yang mengalir dari sungai tepat disamping kamar kami. Bangunannya tidak terlalu besar namun terpisah sehingga dalam 1 kamar hanya diisi 4 orang dan 1 kamar kami biarkan kosong.

Selama tiga hari kami menginap semuanya baik-baik saja. Kami benar-benar menghabiskan waktu untuk bermain. Berangkat tengah hari dan pulang dini hari. Yogyakarta tanpa hujan dengan ramai orang berlalu lalang di tengah kota membuat kami lupa jika waktu menunjukan pukul 23.00. Hari pertama sampai kedua perjalanan kami lancar.

Sampai di hari ketiga kami, dimana keesokan harinya kami harus pulang. Kami memutuskan untuk mengunjungi pantai-pantai disepanjang daerah Gunung Kidul.

Pantai Indrayanti adalah pantai pertama yang kami kunjungi. Kami menghabiskan waktu disana cukup lama, berfoto menikmati angin laut, meneguk segarnya air kelapa, dan kegiatan bermain lainnya.

Kemudian lanjut pantai kedua yakni Pantai Krakal, tak jauh setelah Pantai Indrayanti. Karena hari sudah menunjukan pukul 3 sore kami memutuskan melanjutkan ke pantai selanjutnya untuk menikmati senja.

Pantai Drini. Menjadi pilihan kami. Sembari menunggu matahari tenggelam kami mencoba menikmati sore dengan makanan mie dan duduk duduk santai di dekat bibir pantai. Ya, makan mie di pantai sebenarnya tidak aneh tapi menurutku karena lapar, rasanya nikmat sekali.

Selanjutnya kami menyebrangi jembatan kecil menuju bukit kecil yang tak jauh dari pantai, seingatku harganya 3000/orang. Cukup menguras tenaga, untuk menghilangkan lelah beberapa kali kami berhenti membidik momen satu persatu.

Hingga kami sampai di puncak yang kami tuju. Keindahan laut terpampang jelas. Matahari menuju tenggelam tampil dengan bulat yang sempurna. Kami duduk sampai matahari benar-benar menghilang dari pandangan kami.

Sekitar pukul 18.10 kami memutuskan turun. Sebelum berangkat pulang kami menunggu adzan maghrib benar-benar selesai. Melihat beberapa pedagang makanan laut segar masih berjualan, akhirnya kami memutuskan membeli, selain harganya murah jika kami sampai villa pukul 20:00, bisa kami pakai untuk bakar-bakaran kan.

Beberapa santapan laut yang sudah matang kami coba, sedangkan yang mentah kami beli untuk makan malam nanti. Kami membeli udang segar dan daging ikan pari. Kami menyimpan belanjaan tersebut tepat di belakang kursi terakhir mobil kami.

Disaat aku dan Ririn membeli makanan, beberapa temanku ke toilet untuk sekedar membersihkan kaki. Dan saat itu hanif mengobrol dengan beberapa teman yang duduk didalam sambil memegang pintu pintu kedua sebelah kiri.


"Ih ini pantai pas maghrib langsung sepi banget ya" ujarnya.

"Husssh pamali bilang gitu." timpalku.

"Apa. Aku cuman bilang sepi." balasnya padaku seraya menatap heran.

"Serah." langkahku sambil menutup pintu mobil belakang dan menuju pintu yang Hanif buka.


Sebelum aku masuk. Sebenarnya ini boleh dipercaya atau tidak. Aku melihat seseorang berdiri tepat dibelakang Hanif mematung, yang jelas tidak perlu dideskripsikan seperti apa. Rambutnya yang terurai, dengan posisi membelakangi Hanif namun agak menjorok ke samping kanannya. Segera aku masuk, rasanya aku ingin menyumpal mulut anak itu.

Setelah temanku kembali ke mobil. Semuanya masuk dan segera bersiap pulang. Seseorang yang ku lihat dibelakang Hanif pun sudah tak nampak. Syukurlah. Mungkin iseng. Bagaimana tidak, Hanif memang tidak sesekali mengatakan pantai itu sepi. Sejak turun dari bukit dia sudah mengatakannya lebih dulu saat sampai di bibir pantai.

Mobil pun bergerak menuju villa. Beberapa menit lepas dari pintu keluar pantai, kami harus berjalan pelan karena ada bus disusul motor dan mobil yang harus kami ikuti. Mas Bram sapaan akrabnya yang saat itu mengemudikan kendaraan mengatakan ingin menyalip ketiga kendaraan tersebut agar bisa lebih cepat.

Selain itu, jalan yang harus kami lewati cukup terjal dan menukik. Segera mengambil aba-aba untuk menyalip satu persatu kendaraan di depan kami. Mobil pertama berhasil kami lewati, berikutnya motor dan bus harus kami lewati. Motor dengan dua orang wanita berboncengan tampaknya cukup lambat mengendarainya sebab ia pun mungkin harus berjaga jarak dengan bus di depannya.

Saat itu, sedang viral postingan "ibu ibu anjay" ada yang pernah ingat? Itu loh ibu-ibu yang ternyata bukan ibu-ibu.

Kami melewati ibu-ibu yang berboncengan tersebut dan juga bus didepannya. Saat kami menyalip, beberapa temanku berteriak "ibuu ibuuu anjaaayyy" dengan selipan candaan kala itu. Mobil pun melaju dengan lancar tanpa harus menunggu lama.

Tak berselang lama, Hanif mencium aroma ikan yang tak biasa.


"Mi kamu beli naon sih?" (Mi, kamu beli apa sih?) tanyanya padaku.

"Ikan sama udang. Adanya itu" balasku sambil mengetuk layar ponsel.

"Kok baunya hanyir pisan sih, tadi asa teu bau kieu," (Kok, baunya amis banget sih, tadi kayaknya gak bau kayak gini,) tegurnya padaku.

"Enya kitu? Ah irung didinya weh mereun." (Iya gitu? Ah idung kamu aja mungkin) jawabku santai. Aku memang tidak mencium bau amis yang tak lazim. Menurutku baunya sama seperti pertama kali masuk ke dalam mobil.

"Ih anjir bener ieu hanyir pisan sumpah." (Ih anjir, bener ini amis banget sumpah,) ujarnya kesal.


Namun tak ada seorangpun yang membalas omongan Hanif. Saat itu pikirku memang anak ini tidak biasa mencium bau ikan segar.

Mobil terus melaju. Menunjukkan waktu yang mana sudah mendekati waktu isya. Rasanya lambat sekali, dan jalanan masih hutan disekeliling kami. Tak lama tiba-tiba mobil bau terbakar. Dan kepulan asap keluar dari depan mobil, saat itu kami menaiki mobil A*an*a. (Duh monmaap nih aku gatau bagian-bagian mobil jadi aku bilang depan belakang gitu deh ya).

Kami pun memutuskan mencari tempat yang cukup terang untuk berhenti. Tak jauh ada masjid disebelah kiri kami dan kami berhenti sambil mengecek kondisi mobil. Dari sepanjang perjalanan pulang lokasi tersebut merupakan lokasi pertama kami menemukan rumah warga atau suasana yang hidup. Sebelumnya tak ada jalan lain, cahaya apalagi rumah dan penduduk.

Saat mobil berhenti Ambar dan Atin memutuskan untuk shalat sambil menunggu mobil bisa jalan kembali. Aku menunggu diluar sembari jongkok dan menghadap mobil yang terparkir didepanku. Sambil memainkan botol dan memakan beberapa cemilan yang tersisa. Hanif pun menyusul jongkok disebelahku bersama Ririn.

Setelah mobil kami berhenti, kendaraan yang kami lewati tadi mendahului. Satu persatu, tapi tidak dengan kedua ibu-ibu yang duduk di motor. Aku pikir mungkin berhenti dibelakang. Tapi jelas ku ingat sama sekali tidak ada rumah apalagi jalan lain. Ah sudahlah.


"Guys rumah keluarga aku yang di Tasik kalau malem lebih rame daripada disini" ujarnya santai.

"Gandeng haniiip" (Berisik haniiiip) jawabku.

"Ih iya Mia, aku mah ngasih tau aja." katanya.

"Iya tau kamu udah ngomong berkali-kali. Udah sekarang mah diem." balasku melirik kesal.

Ambar dan Atin kembali setelah selesai shalat.

"Masih belum bener?" tanya Atin.

"Belum kayaknya." jawab Ririn.

"Eh tadi, kata bapak-bapak yang di mesjid nanyain kenapa kita mogok." ujar Ambar.

"Terus teteh jawab apa?" (Teteh sapaan untuk orang yang lebih tua dalam bahasa Sunda) tanyaku.

"Kapas rem mobilnya gatau kenapa pas nanjak" lanjutnya.

"Oh."

"Terus si bapak bilang lagi. Oh udah sering sih disini mah. Sambil melirik ke temennya dia. Katanya banyak-banyak do'a aja. Gitu katanya. Aku jadi takut" sambungnya melanjutkan pembicaraan.

"Bismillah weh teh," (Bismillah aja teh) kataku.

"Eh hurung euy, kuy" (Eh nyala, yuk) potong Yoga kepada kami yang duduk.


Kemudian semuanya masuk ke dalam mobil. Tak lama dari lokasi mobil kembali berhenti. Saat itu mobil berhenti setelah tanjakan tepat didepan sebuah rumah berwarna putih dengan corak abu menghadap hutan. Di samping kanan sebelum tanjakan memang ada beberapa anak muda yang sedang berkumpul di rumah. Akhirnya Yoga, Bram dan Reza memutuskan untuk mencari bala bantuan kesana.

Tersisa, aku, Hanif, Ambar yang duduk diluar mobil. Posisi kami menghadap mobil sembari duduk diatas sebuah batang pohon besar yang berada disamping mobil kami dengan pintu sebelah kiri mobil nomor dua terbuka. Atin memutuskan jalan ke depan sendiri mencari toilet dan Ririn yang memilih duduk di mobil tepat di belakang kursi supir. Hening tanpa suara. Kami bertiga mengobrol kesana kemari untuk memecah kebosanan.


"Naha beuki tiris nyak" (Kok makin dingin ya) kata Hanif pada kami.

"Angin nip" jawabku datar.

"Tapi tadi mah hareudang da masih deket pantai ai kamu" (Tapi tadi panas kan masih deket sama pantai) timpalnya padaku.

"Kamu pake lengan pendek soalnya" lanjut Ambar.

"Eh guys kalian coba perhatiin jalan deh, masa gada yang lewat lagi. Emang ada jalan lain?. Tadi di pantai mobil gak cuman kita aja kan." tanyanya pada kami.

"Acan balik mereun, atau mondokna di diditu" (Belum pulang mungkin, atau nginepnya disana). Kataku

"Tapi asa beuki sepi padahal ini teh masih jam setengah delapan siah" (Tapi kok makin sepi padahal masih setengah delapan loh) ujarnya sambil celingukan melihat kanan kiri jalan yang memang benar-benar hening. Sama sekali tidak ada suara apapun.


Aku yang saat itu dalam keadaan tidak shalat, sangat ketakutan. Aku mencoba mengotak atik ponsel tanpa melihat sekitar duduk diantara Hanif dan Ambar.

Tak lama, angin sangat kencang menutup pintu mobil dengan cepat. Aku melihat ada salah satu botol minum kami terjatuh yang dipakai untuk mengganjal pintu tadi. Aku memutuskan mengambil botol tersebut ke kolong mobil. Kemudian memegangnya. Dilanjut dengan Ririn yang akhirnya keluar dari mobil menemui kami. Atin pun kembali menuju mobil.

(Suduh pandang yang terjadi saat angin kencang akan diceritakan diakhir)

Bram, Yoga dan Reza juga kembali bersama beberapa orang yang memutuskan menderek mobil kami ke salah satu rumah yang menyediakan jasa perbaikan mobil. 900ribu itu mengalir untuk memperbaiki mobil, yang penting kami bisa pulang.

Setelah selesai. Kami bergegas menaiki mobil, ku lihat jam sudah lewat tengah malam. Selepas itu kami tidur, aku mulai pulas dan Hanif yang sepanjang jalan mengaku mencium bau amis pun diam dan tidak mengungkit. Semuanya tertidur hanya Bram dan Yoga yang duduk paling depan yang tetap terjaga meski sesekali Yoga kerap tertidur tanpa sadar.


"Naon etaaa" (Apa itu) kata Yoga.

"Astagfirullah" lanjut Bram.

"Nempo teu mas?" (Liat gak mas?) ujar Yoga menatap Bram yang masih menginjak rem.

"Heeh, lanjut weh" (Iya, lanjut aja) timpalnya sambil menjalankan.

"Kunaon mas?" (Kenapa mas?) ujar Reza terbangun dari tidurnya yang tak pulas

"Teu, engke weh pas nepi" (Gak, nanti aja pas sampai) balasnya.


Aku yang menguping tapi malas bangun tidak tau apa yang sebenarnya membuat mobil tiba-tiba berhenti mendadak.

Kami sampai di villa pukul setengah tiga pagi dilanjut memasak makanan yang sudah dibeli di pantai. Benar-benar pagi hari. Saat itu perut Yoga sedang tidak enak dan meminta kami untuk memberikan obat sakit perut jika ada.

Selesai makan, sekitar pukul setengah empat kami kembali ke kamar masing-masing. Sebelum tidur aku masih mengobrol dengan Ambar. Terdengar suara langkah kaki menuju kamar kami. Ku kira Yoga yang mencari obat sakit perut.


"A yoga?" Tanyaku.


Hening. Tidak ada jawaban.

Aku penasaran, saat aku membuka pintu yang langsung mengarah ke luar tidak ada siapapun. Aku menutup kembali pintu dan menggerakan bahu kepada Ambar memberi tahu bahwa entah siapa itu tidak ada orang.

Kami pun akhirnya tidur. Saat kami tak mendengar apapun. Hanif yang dipagi hari bercerita pada kami bahwa mendengar suara kaki juga bahkan sampai tidak bisa tidur sama sekali.


"Kalian. Denger suara orang jalan keatas ke kamar cowok gak?" Tanyanya sambil mengucek matanya yang masih terkantuk.

"Denger." Balasku

"Aku denger nipppp." Lanjut Ambar.

"Lama bangettttt, aku sampe gabisa tidur." lanjut Hanif.

"Gak kok, bentar. Aku kita kira itu Yoga. Si mia buka pintu tapi katanya gada orang" tegas Ambar

"Dibukaaa? Ngapain? Lama, aku gabisa tidur gara gara itu" kata Hanif.

"Penasaran weh kirain A Yoga, soalnya kan bolak balik wae menta obat nyeri beuteung, epek teh eweuh sasaha." (Penasaran aja kirain A Yoga, bolak balik terus minta obat sakit perut, eh taunya gak ada siapa-siapa) lanjutku.

"Tau ah aku mau mandi aja. Eh aku ikut mandi di kamar mandi cewek aja deh" jawab Hanif sambil membawa perlengkapan mandinya.

Aku yang masih bersantai di hammock kecip yang disediakan villa sambil melihat ke arah sungai.

"Teh si Hanif ngebohong gak itu teh haha" kataku.

"Kayaknya bener mi, matanya merah banget memang gak tidur" jawab Ambar.


Siang harinya kami bergegas dari Villa bersiap menuju Bandung. Sembari menunggu kereta berangkat, di dalam gerbong kami bercerita apa yang dialami dalam mobil saat angin kencang malam sebelumnya.


(Sudut pandang Ambar)

Angin menutup mobil kencang. Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri merasakan ada yang tidak beres. Semriwing aroma yang berbeda dan seketika hilang. Ia duduk memepet ke posisi Mia. Menggulung tangannya ke dalam pangkuan kaki. Menunduk dan memilih berdoa agar lekas keluar dari jalan tersebut.

(Sudut pandang Ririn)

Ririn menyandarkan kepalanya ke jendela mobil sebelah kanannya sambil memainkan HP nya yang terbilang baterainya sudah sekarat. "Hihiiiiiihiiiiihiiiiiiiiiiiiii" suara itu memekakan telinganya. Ia menutup telinganya dan turun dari mobil menemui ketiga temannya. Berharap segera keluar dari tempat ini. Ia ingin tidak mendengar apapun lagi. Apalagi suara tawa yang mungkin kalian semua pasti tahu. Ya. Satu-satunya yang mendengar hanya dia.

Bagaimana bisa dipercaya jika hanya dia yang mendengar? Tidak hanya dia yang mendengar. Tapi aku sempat melihatnya, dan Ambar yang sempat mencium aromanya.

Kalau ingat kejadian ini. Masih agak parno juga sih. Bismillahirrahmanirrahim mari kita lanjut.

(Sudut pandang Mia)


"Bruuuuuuugggg.."


Angin malam itu langsung menutup pintu mobil yang semula terbuka. Aku melihat botol untuk mengganjal pintu terjatuh. Aku merundul mengambil botol tersebut, sedikit ku masukan kepalaku ke bawah. Dan, pandangan sebelah kananku yang mengarah ke step bumper belakang mobil.

Kakinya sangat jelas. Mengayun, tanpa alas. Pucat dan berbau. Ah iyaaa. Bulu kuduku seketika merinding dan mulutku kaku, sangat kaku, seketika aku lupa harus berdo'a apa.

"Ya Allah Ya Allah"..

"Ah yang benar saja.. Rasanya aku sedang tidak beruntung melihat ini." gumamku disusul dengan angin yang kian menusuk.

Aku langsung duduk kembali dan rasa panas dari ujung kaki sampai ujung kepala membuatku ingin segera pergi dari tempat itu. Iya tempat itu, aku tidak tahu rupanya. Melihat ayunannya saja sudah cukup membuatku ingin segera pulang, ke Bandung.

Setelah kejadian ini, semoga kami bisa liburan bersama kembali ke tempat yang menyenangkan lainnya ya ✌

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun