Usat Lawing (43) masih ketakutan paska penahanan dirinya bersama 47 warga Desa Berambai lainnya oleh Polres Kukar. Trauma mendalam masih menghantuinya setelah protes yang ia lakukan terhadap PT Mahakam Sumber Jaya, perusahaan tambang batubara yang ada di dekat desanya. Padahal yang ia tuntut hanya hak atas tanah kelompoknya.
Ia juga sulit mencari siapa yang bisa dipercaya saat ini untuk mengadu. Karena pihak kepolisian saja menahan mereka. Apalagi saat ini ia bersama dua warga lainnya harus menjalani wajib lapor ke Polres Kukar. Makin lengkaplah ketakutan dan kebingungannya.
Kasus ini bermula pada tanggal 14 Oktober 2011 lalu saat ia bersama 47 warga yang tergabung dalam Organisasi Umat Katolik Berambai menyampaikan protes kepada PT MSJ. Perusahaan ini menyerobot lahan warga yang hanya seluas 2 hektar untuk dijadikan jalur hauling.
Lahan tersebut bukanlah milik individu, melainkan milik organisasi. Lahan ini biasa digunakan untuk menanam padi gunung untuk dikonsumsi bersama-sama. Mereka menggunakan lahan tersebut sejak tahun 1980, jauh sebelum PT MSJ datang.
Usat yang menjadi ketua Organisasi Umat Katolik Berambai, memimpin warga menyampaikan protes di lokasi yang diserobot perusahaan. Warga tersebut adalah anggota organisasi itu. Terjadilah pembicaraan hingga warga sulit mempertahankan lahannya. Dicapai kesepakatan ganti rugi. Sebagai tahap awal, perusahaan memberikan uang muka ganti rugi sebanyak Rp5 juta.
Usat meminta dibuatkan berita acara hasil pertemuan itu. Namun oleh pihak perusahaan dikatakan nanti setelah penyerahan uang dilakukan. Sampai di sini Usat sudah berfirasat aneh. Uang muka yang akan dibayarkan datangnya cukup lama. Perusahaan beralasan mengambil terlebih dahulu di Kota Samarinda.
Uang itu memang benar datang, namun bersama dua truk berisi anggota Polres Kukar lengkap dengan senjata laras panjang. Ia bingung, untuk apa polisi itu datang. "Uang itu kemudian diserahkan kepada saya dan ditaruh di tangan saya setengah memaksa. Saya bilang harus buat berita acara dulu," cerita Usat.
Polisi tak menggubris, uang itu dipaksakan ditaruh di tangannya. Begitu uang di tangan, ada yang memotret. Usat mengira itu hanya bukti penyerahan uang. Ternyata salah dan di sini firasatnya terbukti.
Begitu selesai memotret, seluruh warga yang hadir, baik laki-laki maupun perempuan kemudian diangkut paksa ke atas truk dan kemudian dibawa ke Polres Kukar. Persis seperti pelaku kerusuhan yang mengganggu ketentraman dan ketertiban. Rupanya foto tadi dijadikan bukti kalau Usat dan warga lain berupaya memeras perusahaan. Makanya pihak perusahaan ngotot tidak mau dibuatkan berita acara.
Lebih miris lagi, sesampainya di Polres Kukar Usat dan warganya dijerat dengan pasal berlapis. Selain dijerat pasal di KUHP tentang pemerasan, warga juga dijerat dengan perbuatan melanggar Undang-undang Minerba karena telah mengganggu proses pertambangan. Mereka juga dijerat undang-undang darurat karena dianggap membawa senjata tajam.
"Padahal warga yang protes itu membawa parang karena ada yang dari kebun. Seperti masyarakat kampung lainnya yang menggunakan parang setiap hari untuk bercocok tanam," kata Usat dengan nada sedih.
Konflik ini memang berlangsung cukup lama, hampir dua tahun. Warga hanya meminta lahannya dikembalikan karena akan dijadikan kebun bersama.
Setelah menjalani pemeriksaan, seluruh warga kemudian dipulangkan. Usat dan dua rekannya menjalani wajib lapor. Anehnya, proses hukum ketiganya berjalan dengan pasal berlapis tersebut. Kini Usat mengaku tidak mau protes lagi. Ia dan warganya ketakutan.
"Kami diam saja, takut. Bingung juga mau melakukan apa. Warga trauma," katanya singkat.
PT MSJ memang termasuk paling banyak menghadapi konflik dengan warga sekitar. Catatan saya, pada tahun 2009 lalu sejumlah warga juga berdemo menuntut ganti rugi lahan yang diserobot perusahaan.