Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Kriminalisasi KPK dan PPATK, Apakah Akan Jadi Proses Jatuhnya Jokowi?

24 Februari 2015   23:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:34 236 3
Beberapa bulan setelah peristiwa G30S/PKI yang gagal, BPI ( Badan Pusat Intelijen ) yang kala itu belum dibubarkan Soeharto, melapor kepada Presiden Soekarno bahwa pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang PKI mulai bermunculan. Terutama di daerah-daerah basis PKI dan PNI. Diantaranya Sumatra Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali NTT dan beberapa daerah di sulawesi dan Kalimantan.

Menurut laporan para intel, Pembantaian itu seolah tidak terorganisir dan hanya semacam letupan spontanitas dari masyarakat yang sedang marah dan dendam akibat ulah PKI di masa lalu. Namun sesungguhnya mereka mencurigai, semua pembunuhan besar-besaran itu dikendalikan dengan baik oleh satu kelompok yang belum terlihat.

Tapi, para intel itu bukan sedang mengkhawatirkan pembantaian massal itu. Mereka menengarai bahwa pembantaian itu hanya salah satu proses dari beberapa rangkaian aksi selanjutnya. Bahwa sedang terjadi upaya perang psikologis yang ingin memisahkan Soekarno dan para pendukungnya, terutama masyarakat di daerah basis kuat Sukarnois yang selama ini menjadi fondasi kekuasaanya. Setelah upaya pemisahan berhasil, maka tujuan selanjutnya adalah melengserkan sang proklamator yang masih "Tidur dan mabuk " itu.

PKI yang selama orde lama banyak melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya, terutama di daerah pedesaan yang tidak terjangkau media, serta dilindungi Sang presiden melalui NASAKOM-nya, tidak serta merta membuat nama Soekarno jatuh. Namanya tetap dielu-elukan rakyat. Tiap kali pidato, rakyat yang kebanyakan masih buta huruf masih setia berduyun mendengar ucapannya di radio. Rakyat dan Soekarno kala itu ibarat Ikan dan air.

lalu bagaimana memisahkan Ikan dan air? Meletusnya peristiwa gestapu dan pembantaian para jenderal menemukan momentumnya.

Para intel BPI mengatakan kepada Soekarno bahwa tujuan pembantaian itu bukanlah untuk menumpas para simpatisan PKI secara keseluruhan. Jumlah simpatisan PKI yang berjumlah 6 juta jiwa tentu saja tidak bisa dilenyapkan begitu saja. Maka, kelakuan PKI yang buruk dan bengis  dan sikap Soekarno yang lunak terhadap perbuatan keji PKI disanding sebagai dua simpul kejahatan yag harus ditumpas. Wajah PKI dan  Soekarno disamakan dengan wajah yang sama. Meski Soekarno sendiri mengklaim dia bukan komunis, melainkan seorang Marhaenis yang bersimpati pada ajaran komunis.

Para simpatisan PKI dibantai, sekaligus menciptakan teror ketakutan bagi para non partisan untuk menjauh dari segala hal yang berbau PKI, dan tentu saja...Soekarno. Siapa saja yang mengaku Soekarnois, maka otomatis dia dicap PKI. Dan nasib selanjutnya adalah nasib yang mengerikan. Kalau tidak dieksekusi di tepi-tepi sungai, maka akan mati dibuang ke pulau Buru. Rakyat yang selama ini awam dengan politik dan tidak perduli, ternyata ketakutan. Saya masih ingat cerita almarhum ayah saya, bagaimana dia yang kala itu masih SD menyebut nama Soekarno, kakek segera menabok pipinya agar tidak mengulangi.

Melihat situasi itu, mereka meminta Soekarno membubarkan PKI, dengan harapan sikap sang presiden akan mematahkan rumor yang terhembus bahwa dia adalah seorang komunis. Dan kepercayaan rakyat kepadanya segera pulih. Maka pembantaian terhadap orang-orang PKI bisa diredam, atas perintah Soekarno. Namun si bung besar menolak keras. Dia masih yakin cinta rakyat kepadanya masih besar, faktanya kemana pun dia pergi rakyat masih merubung. Setiap pidatonya masih box office. Sebuah delusi mirip rhoma Irama yang mengira dirinya pantas jadi presiden hanya melihat dari ramainya konser-konser yang dia adakan.

Dan ternyata ramalan para intel itu benar. Ketika soekarno ditelikung Suharto, tidak ada tangis rakyat yang mengutuk. Tidak ada lagi cinta rakyat bagi sang proklamator ketika dia tersuruk-suruk di wisma Yaso. Tidak ada simpati ketika dia pidato sambil marah-marah karena merasa "dikadali" suharto dengan SUPERSEMAR.

JOKOWI

Seperti Soekarno, basis kekuatan Jokowi bukanlah PDIP, bukan pula para politikus yang menjadi sekondannya di KIH. Boleh saja para kader kerbau monyong putih mengklaim jungkir balik, bahwa tanpa PDIP Jokowi bukan siapa-siapa. Tapi basis kekuatan Jokowi adalah para NETIZEN yang menunggangi setiap arus informasi dijemari mereka. NETIZEN yang memantau gerak-gerik Jokowi sejak dia hanya walikota di Solo, memperkenalkannya ke publik Jakarta ketika PDIP tidak memandangnya, dan memaksa Megawati yang masih "kegatelan" ingin jadi presiden agar legowo dan memberi ruang kepada Jokowi.

Bagi NETIZEN yang sudah apriori terhadap tingkah polah para pejabat, baik di daerah mau pun di kota, Jokowi adalah antitesa dari gambaran para pejabat yang korup, gila harta dan suka pamer kemewahan. Sehingga wajar orang seperti dia diketengahkan ke publik, sebagai alternatif pejabat lain yang sudah terkontaminasi virus kerakusan

Itu sebuah fakta yang tidak bisa dimanipulasi. Bagai Jokowi dan NETIZEN, PDIP tidak lebih hanya kuda tunggangan, dan Megawati tidak lebih dari ibu-ibu komplek yang lupa umur dan lupa zaman telah berganti. Jualan nama Soekarno sudah tidak laku, bahkan buat para pemulung di Bantar gebang tempat dia dan Prabowo mendeklarasikan mimpi bertahun lalu, tidak mau lagi dikibuli. Ditempat itu Megawati dan Prabowo kalah telak.

Para NETIZEN hampir sebagian besar adalah non partisan, Mereka orang-orang melek informasi yang memandang partai politik, DPR, Polisi dan berbagai aparatur pemerintah sebagai organ-organ paling korup di negeri ini. NETIZEN bukan sekelompok orang dungu yang mau membebek begitu saja menerima cuci otak para pemilik tivi yang kebelet jadi penguasa. NETIZEN memandang korupsi adalah kanker ganas. Dan obat mujarab yang paling mereka percaya saat ini untuk menumpas kanker itu hanya KPK DAN PPATK, tok, bukan yang lain.

Namun sekarang kedua lembaga ini sedang diserang habis-habisan. Para petingginya, baik yang masih berdinas mau pun yang sudah mantan dikriminalisasi dengan pasal-pasal yang bagi nalar kita seperti sampah yang berusaha dijejalkan ke dalam otak kita.

Sebagai mana orang-orang dekat Soekarno yang sudah memperingatkannya kemana arah pembantaian simpatisan PKI, saya juga melihat kriminalisasi bukan tujuan, melainkan sebuah proses panjang dan terselubung. Ketika Jokowi terkesan membiarkan kriminalisasi KPK dan Yunus Husein sebagai mantan petinggi PPATK terus berlangsung, maka pelan tapi pasti simpati para NETIZEN kepada Jokowi mulai tergerus.

Plus ditambah dengan keadaan ekonomi yang mulai morat-marit, IHSG yang melemah, harga bahan poko yang kian melambung tinggi dan rupiah yang kian rontok, semakin menjadi energi tambahan bagi para bromocorah menikam dari belakang.

Tidak terasa, perlahan namun ketidak sukaan mulai menggumpal. NETIZEN sebagai basis utama kekuatannya, perlahan mulai mengambil jarak dan mengambil kesimpulan bahwa Jokowi sama saja dengan para begundal disekelilingnya. Dan ketika momentumnya tiba, jokowi akan mudah digoyang. Dan ketika Jokowi dibantai habis para lawan politiknya, NETIZEN hanya akan menjadi penonton.

"Emang gue pikirin."

So, apakah Jokowi akan melakukan kesalahan yang sama dengan Soekarno? Terjungkal oleh delusinya sendiri soal kecintaan rakyat dari mengukur masih banyaknya orang-orang yang masih mau mengajaknya selfie ketika dia blusukan?

Wallahu a'lam bissawab. Hanya allah yang maha tahu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun