Titik, dan dari sanalah konon semuanya bermula. Ia berpegangan rapat-rapat, hingga bisa dibentuk huruf, kata dan kata-kata. Kata dan kata-kata berhimpun dan jadilah sebuah kalimat. Dari sana muncul makna-makna, kadang sederhana, tapi kadang mendalam hingga berasa begitu nikmat meresapinya. Dan pada akhirnya kalimatpun harus juga diakhiri dengan titik.
Titik bukan koma, yang merupakan isyarat untuk berhenti sejenak, dan titik tidak bisa menjadi koma. Begitu pula sebaliknya, koma tidak bisa menjadi titik karena itu bisa mengacaukan. Mengacaukan intonasi, mengacaukan susunan, dan yang lebih parah mengacaukan makna.
Sebuah titik tidak selamanya identik dengan berhenti. Justru dari sanalah kadang sebuah perjalanan bermula; mengakhiri sebuah makna, untuk kemudian melanjutkan dengan makna yang lebih baru, lebih dalam semoga, dan jangan sampai ia hanya jadi penyimbolan untuk berakhirnya sesuatu untuk sekedar sesuatu. Kalau hanya ini yang ada, bisa-bisa prosa yang penuh dengan titik dan titik-titik ini menjadi hambar dan tiada bernilai.
Dalam sebuah prosa kehidupan yang dipenuhi dengan titik, dengan inilah prosa itu bisa terangkai dan pada akhirnya bisa dialurkan. Titik menyambung untuk kemudian menyatukan, dan bahwa saat sesuatu harus terhenti, seringkali kemudian ia tersambung lagi, yang karenanya ia ada, alur itu menjadi indah. Kadang tak terduga, tidak direncanakan, muncul tiba-tiba hingga menjadi indah pada waktunya. Disinilah, kata orang, titik (kalau tahu ada titik tentunya) merubah yang tak menyenangkan menjadi menyenangkan; mengubah yang tak indah menjadi indah; dan bisa menjadikan yang hitam jadi putih sekalipun.
Titik bukanlah bintang-bintang yang berserak dilangit, yang meskipun berwujud titik dengan mata kita melihat; bercahaya dan beraneka warna, ia hanya bisa dinikmai keindahannya. Tak bisa kita mengatur warna bintang, karena ia ada memang begitulah adanya. Tapi dengan titik, kita bisa mewarnanya sesuka hati kita, entah hijau, putih, merah, bahkan hitam, asal ada pena tentunya.
Titik tetap saja titik. Kecil, dan seringkali tidak dianggap ada saat terlalu asik menikmati alur. Diumpat saat ia dianggap mengakhiri sebuah akhir sedih. Dihina saat dianggap hanya mampu mengadili tapi tak mampu member solusi. Tapi kadang ia dipuja, karena mambuat sempurna sebuah akhir bahagia. Sederhana, dalam dan memberi makna, hingga pada akhirnya, seperti yang telah dijanjikan diawal, tulisan kecil ini pun harus diakhiri dengan titik.