Makna pendidikan itu dinamis. Kita dapat melihat bagaimana pendidikan itu berkembang. Tidak perlu jauh-jauh melihat pendidikan diluar negeri, di indonesia perkembangan esensi dari pendidikan sejalan dengan bergulirnya waktu. Pada awalnya pendidikan sebagai alat perjuangan. Setelah kemerdekaan dicapai, sedikit demi sedikit pendidikan tersebut beralih fungsi. Pada tahap selanjutnya pendidikan diupayakan sebagai sarana peningkatan intelektual manusia. Secara bertahap intelektual dimiliki maka dengan itu pula berupaya ‘memasyarakat’.
Mengutip pendapat Roem Topatimasang, tentang arti pendidikan yaitu pendidikan tidak dibatasi oleh geografis atau ketika diartikan khusus, pendidikan tidak hanya pada bangku sekolah, seperti yang banyak diyakini oleh banyak orang – yang secara tidak sadar. Jika boleh saya menerjemahkan buku ‘sekolah itu candu’ karya Roem tersebut agaknya menjelaskan arti pendidikan secara luas adalah untuk humanisme (memanusiakan manusia). Manusia yang memiliki bekal akal masing-masing secara naluriah dan normal tidak ingin berada pada intervensi orang ataupun kelompok tertentu. Mereka menginginkan berdiri di atas kaki mereka sendiri.
Mengapa saya membuat judul di atas? Mengapa saya membawa-bawa nama Naruto – yang notabenenya sebuah serial kartun di televisi?
Bagi yang sering melihat film tersebut pasti telah memiliki gambaran secara umum alur dan plotnya. Secara umum dalam serial Naruto tersebut menceritakan sebuah desa yang memiliki struktur pemerintahan. Para pemimpinnya adalah para ninja yang memiliki kemampuan dan ketangkasan yang digunakan untuk melindungi desa tersebut. Para anak-anak keturunan mereka dididik untuk menjadi ninja yang tangguh guna generasi penerus daerah tersebut. Akan tetapi apa yang terjadi setelah para ninja cilik tersebut telah tumbuh dewasa, sebagian meninggalkan desa, menjadi ninja pelarian dan bahkan ada yang berniat untuk menghancurkan desa. Penghancuran tersebut secara tidak langsung pula berdampak pada terganggunya sekolah-sekolah pencetak para ninjanya.
Pendidikan sekarang saya ibaratkan dengan serial tersebut. Bagaimana bisa? Lembaga pendidikan atau secara spesifiknya saya sebut sekolah mendidik siswanya untuk meningkatkan kemampuan diri dalam segala bidang, mengembangkan potensi diri serta menemukan jati diri pendidikan itu sendiri. Setelah pendidikan tersebut dilalui, hingga pada akhirnya memperoleh ‘ijazah’ bukti fisik penguasaan dalam ilmu tertentu dengan gelar tertentu pula. Para lulusan ini kemudian memperoleh tempat-tempat strategis dalam negara. Mulai dari politikus, ilmuwan dan para ahli. Tidak sedikit para jebolan lembaga pendidikan melakukan ‘penghianatan’ pada esensi pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan banyak doktor dan porfesor yang secara sadar melakukan manipulasi uang atau korupsi. Sebuah ironi, tokoh yang dianggap sebagai panutan melakukan demikian.