Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Ketika Dokter pun Terkapar Sakit

30 Maret 2013   20:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:58 1920 3
Saat menuliskan kisah terakhir ini, saya yang keseharian mengobati pasien malah harus terbaring menjadi pasien. Beruntung hanya infus sudah tidak terpasang walau masih harus diawasi ketat segala macamnya.

"Kok dokter juga bisa sakit?" selalu itu yang dibilang orang ketika ada dokter yang sakit. Aneh memang, karena dokter juga manusia yang dapat terkena sakit bahkan lebih mudah tertular penyakit yang dibawa oleh pasien sebenarnya.

Terbaring dan dirawat hingga berpindah ke dua rumah sakit membuat saya benar-benar menjadi pasien sejati. Entah sudah tidak terhitung berapa banyak bekas infusan karena seminggu terbaring, belum lagi
bekas pengambilan darah tiap harinya. Rasanya masih sama, nyeri. Namun semuanya harus dijalani ketika menjadi pasien agar selalu terpantau kondisi di dalam darah saya. Dua penyakit yaitu demam berdarah dan
juga tipes menyerang bersamaan. Beruntung malaria sisa kerja dari Sumba dulu tidak kambuh juga.

Karena masih bertugas di puncak Bromo maka tidak serta merta saya membawa diri saya ke dokter yang lebih senior. Saya mencoba mengobati diri sendiri dengan cara sederhana dulu dari meminum obat, hingga kompres namun panas saya masih di angka 39,5 derajat tidak ada perubahan.  Akhirnya, saya pasang infus dan dua hari berdiam diri merawat diri di kamar. Penurun panas via suntikan pun diberikan dan hasilnya tetap aneh. Panas saya masih saja tinggi. Hanya turun sebentar dan selebihnya naik lagi. Ini sudah aneh, pikir saya.  Apalagi mulainya saya panas berbarengan dengan paska hebohnya pasien anak yang terbakar dan meninggal dunia. Kebetulan saya yang mengurusi segala hal termasuk pemandian hingga pengkafanan si pasien.  Banyak spekulasi muncul akhirnya. Waah gawat pikir saya, lama-lama saya tidak jauh beda dengan masyarakat setempat karena mengundang orang pintar. Tapi dasar pikiran saya terlalu menuntut hal logis jadi opsi di atas tidak dilaksanakan. Saya putuskan akhirnya saya harus ke rumah sakit untuk dicek segala hal terkait darah.

Dan entahlah, semua hasil lab saya dikatakan normal walaupun bagi saya itu sudah hampir mengarah ke demam berdarah. Panas saya turun karena saya diberikan antibiotik yang jauh lebih kuat juga karena diberikan penurun panas via infusan. Tapi kondisi seluruh badan saya tidak membaik dan tetap saja dikatakan saya sehat, tidak sakit apapun.  Jelas saja otak logis saya tidak menerima begitu saja. Lha wong saya yang merasakan bagaimana saya merawat diri sendiri dan mencatat semua perjalanan suhu saya detail perjamnya. Yah, beginilah repotnya kalau si pasien juga dokter.

Bahkan ketika saya merasa muncul bintik-bintik merah di kaki, itu pun tidak diindahkan. Saya tidak dicek lagi darahnya. Dan akhirnya saya mengalah. Saya katakan saya sudah sangat sehat dan akhirnya saya diperbolehkan pulang.  Namun dalam perjalanan pulang, saya tahu kondisi saya ngedrop kembali. saya beruntung kali ini saya teringat bahwa di kota saya ngedrop, ada rekan dokter sahabat saya ketika di Sumba dahulu. Saya pun dijemput ambulance rumah sakitnya dan saya minta semua hal diperiksa lebih teliti lagi. Hasilnya, semua menjadi positif sekarang. Yah positif menjadi demam berdarah dan tipes sekaligus. Bahkan tekanan darah dan trombosit saya sudah ngedrop ternyata. Sungguh saya beruntung bisa berada di rumah sakit kedua yang lebih bisa mendengar. Mungkin salah satunya karena sahabat dokter saya juga ada di dalamnya. Memang, perkembangan dua penyakit tersebut ada fase muncul dan disebut positif namun ketika belum muncul ya masih negatif namun bagaimanapun juga pahami tubuh pasien yang memberikan sinyal-sinyal tertentu.

Jatuh sakit dalam kondisi terlama dan terparah ini membuat saya belajar kembali agar menjadi dokter yang lebih baik. Ternyata saya tidak membutuhkan dokter berotak super jenius ketika saya menjadi pasien. Hanya butuh dokter yang bisa diajak bicara ternyata. Sesederhana itu. Yah, betapa menjadi pasien ternyata selalu mengharapkan dokternya dapat diajak bicara terkait perkembangan penyakitnya.

Itulah hal sederhana yang selalu pasien inginkan. Memahami keluhan pasien, tidak menjudge pasien, bahkan memberikan lelucon segar ternyata mampu membuat pasien merasa dihargai. Dan sebagai dokter,
sebetapa sibuknya dengan banyak pasien sekalipun, prinsip pelayanan yang terbaik dengan "senyum-salam-sapa" harus dapat diberikan.

Oleh karenanya, untuk seluruh pasien yang pernah saya rawat, terima kasih sudah banyak mengajarkan saya ilmu hidup. Terima kasih sudah berbagi kisah apapun dan memperkaya jiwa saya. Sungguh, kami para dokter bukanlah dewa yang dapat menyembuhkan pasien tanpa bantuan dari pasien itu sendiri. Kami hanya tangan-tangan yang dipinjam sebagai perantara saja.

PS: Saat ini, saya dalam keadaan pemulihan di rumah asal saya setelah saya mengambil cuti karena sakit. Tiga rumah sakit di tiga kota menangani banyak hal terkait kesembuhan saya. Terima kasih karena tiap tempat memberikan pengalaman berharga bagi saya. Besok, ketika saya benar-benar sehat dan kembali menjadi dokter, saya berharap menjadi dokter yang lebih baik dan bisa selalu ada ketika pasien membutuhkan saya walau hanya sekadar untuk "sharing".

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun