Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Sensasi Nyaris Mati: Enak Loh

11 November 2012   03:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:38 2166 3
Diary yang mengingatkan saya akan zaman ketakutan itu muncul kembali. Ketika semunya diawali dari kelahiran, kali ini saya terdiam terhenyak ketika menuliskan bahwa semuanya akan berawal dari kematian. Saya mengulang kembali masa menjelang bertambahnya usia ke-17 yang pernah saya lewati saat SMA. Saya begitu takut dengan datangnya kematian, bahkan alasannya pun sangat sederhana bila saya kembali mengingatnya sekarang.  SAYA TAKUT MATI.  Hanya itu. Padahal jujur saat itu kondisi fisik saya sehat walafiat dan dukungan keluarga sangat baik ketika saya sekolah jauh di luar kota.  Teman-teman satu SMA termasuk teman-teman asrama saya pun sangat bersahabat.  Tidak ada masalah yang membebani saya. Kondisi saya yang normal tersebut terbilang aneh karena tiba-tiba saya takut mati.

Berawal dari kematian, 40 hari sebelum saya berusia 17 tahun, saya mulai menghitung waktu mundur. Dahulu saya meyakini bahwa orang yang akan mendekati ajalnya akan diberi tahu (entah oleh siapa) sehingga alam bawah sadarnya akan menunjukan sikap yang terbilang aneh. Semuanya mungkin tidak akan terlihat aneh lagi bila orang sudah yang melakukan beberapa pertanda kematian, seperti: meminta maaf dengan banyak orang atau sekadar berpetuah dan berkata-kata aneh, telah meninggal.  Sama seperti mbah saya yang 40 hari sebelum meninggal telah memberikan tanda-tanda tersebut dari ucapan dan perilaku. Herannya, saat itu saya tidak merasa ada pertanda bahwa saya akan mati ‘cepat’, namun ketakutan akan kematian begitu besar menghantui saya.

Hitungan mundur 40 hari pun saya mulai. Ibadah atau kebaikan yang biasanya hanya rutinitas kini menjadi berbeda dan isak tangis mewarnai setiap perjumpaan saya di waktu wajib dengan Tuhan.  Saya menjadi orang yang begitu takut untuk tidur, padahal sebelumnya saya terkenal paling jago untuk urusan tidur. Kapan saja dan di mana saja saya dapat tidur pulas. Saya takut ketika saya menutup mata untuk tidur, saya tidak akan dapat membuka mata kembali karena saya sudah berada di dimensi alam lain. Saya pun menjadi insomnia beberapa waktu lantaran kopi dan pengganjal selalu menemani saya supaya tidak tidur.  Perilaku saya pun mulai berubah seperti orang yang akan meninggalkan dunia. Saya minta maaf ke teman-teman dekat saya termasuk keluarga yang saat itu berada pada jarak tempuh 6 jam perjalanan darat.

Rasanya tidak enak sekali. Jantung saya sering berdetak lebih kencang dan lebih keras bila terkejut akan sesuatu yang sebenarnya tidak mengejutkan. Keringat dingin pun sering membanjiri kening saya. Entahlah, saya takut mati.  Saya merasa 17 tahun saya hidup waktu itu, saya belum cukup berbuat amal kebaikan. Saya takut sekali…. Saya takut mati…

Siang itu, ketika ketakutan saya bertambah, ulama kondang di kota saya wafat dan beliau didoakan terakhir kalinya di masjid agung sekolah saya.  Maklumlah, masjid tersebut merupakan masjid terbesar di Kota Solo dengan saka (tiang penyangga) tunggal sehingga bila memasukinya akan disuguhkan hamparan karpet hijau tanpa satu pun tiang di tengahnya. Aturan di sekolah saya jelas sekali, setiap mendengar azan maka aktivitas mengajar akan berhenti dan seluruh siswa, baik laki-laki maupun perempuan akan berbondong-bondong menuju ke masjid yang berada tepat di tengah sekolah saya, di depan halaman yang biasanya kami gunakan sebagai tempat upacara.  Rasanya nyaman sekali karena masjid berukuran 100 meter lebih tersebut akan penuh sesak oleh ratusan siswa mulai dari kelas satu sampai tiga. Belum lagi ditambah jumlah guru dan karyawan yang tidak sedikit.

Dan siang itu, kami tidak hanya menjalankan salat zuhur seperti biasa, melainkan juga ditambah shalat jenazah. Tiba-tiba saja iring-iringan warga membludak memasuki area masjid sekolah kami.  Seperti limpahan air bah saja.  Seorang ulama yang sangat kami hormati mengembuskan nafas terakhir dan sebagai salah satu pendiri sekolah kami pula, sang ulama berwasiat untuk disalati di masjid kami.

Peti jenazah yang diangkut oleh 6 orang sudah tampak dari tempat saya berdiri. Semua mata mulai sembab dan memerah. Jantung saya berdetak lebih kencang karena membayangkan bahwa seonggok daging di dalam peti jenazah itu adalah saya. Rasanya tidak mungkin sekali, saya yang begitu ketakutan menghadapi kematian tapi malah diperlihatkan oleh Tuhan suatu bentuk kematian khusnul khatimah di depan mata saya. Kaki saya pun gemetar hebat tatkala iring-iringan itu semakin mendekat dan kami, para siswa, harus bergeser untuk memberikan jalan masuk bagi sang jenazah. Pekikan kalimat indah berasmakan Tuhan selalu mendengung di bibir setiap orang yang datang untuk menyalatinya. Saya sudah tidak dapat menahan air mata lagi. Ia mengalir deras bersamaan dengan alunan merdu imam yang juga ustaz saya ketika membacakan takbir pertama. Empat gerakan takbir tidak mampu saya jalani tanpa air mata.  Saya iri, ya ini air mata ketakutan bercampur iri terhadap alim ulama yang saat meninggalnya disalati lebih dari dua shaf.  Entah berapa ratus doa terlantunkan untuk beliau.  Betapa bahagianya ketika meninggal ada banyak oang yang mengirimkan doa dan melepas kepergian kita dengan air mata.  Meninggal di usia 75 tahun dan di umur panjangnya dianugerahi kebaikan tiada tara. Saya iri.  Sangat iri. Bahkan, saya tidak dapat menjamin diri saya sendiri saat itu bahwa saya akan melewati usia 17 tahun dengan selamat.

Alunan doa menggema di seluruh sudut masjid begitu pun terhadap kami para siswa yang awalnya tidak begitu mengenal bahkan mungkin tidak ada satu pun di antara kami yang pernah bertemu dengan sang alim ulama. Namun, mendengar cerita singkat imam yang berkhotbah, kami  mengetahui bahwa ulama tersebut memegang peranan penting terciptanya sekolah islami yang juga mengabungkan sisi keilmuwan eksakta ini.

Subhanallah! Bukankah pahala amal jariyah yang tidak pernah putus adalah ilmu yang bermanfaat dan sekolah ini menjadi bukti bahwa ilmu beliau tidak akan pernah usang melainkan terus berkembang dan diturunkan dengan pahala berlipat ganda. Saya makin menciut, membayangkan perjalanan hidup saya yang 17 tahun belum ada seperkumannya dari beliau. Dan terpikir dalam otak saya, apakah nantinya akan mendapatkan ‘kemewahan’ iring-iringan dan doa seperti ini juga ketika kematian menjemput saya. Apakah orang-orang akan menangis mengiringi kepergian saya lantaran kebaikan saya atau malah mereka tertawa bahagia lantaran kematian saya mengurangi beban mereka. Otak saya dipenuhi berbagai macam pikiran di tengah ketakutan saya akan kematian.

Iring-iringan jenazah pun pergi meninggalkan masjid untuk dimakamkan di pemakaman yang jaraknya lumayan dari sekolah kami. Saya tidak ikut mengantarkan. Saya tetap di masjid sekolah sampai azan asar terdengar. Saya menikmati rasa ketakutan saya akan kematian dan tanpa sadar hampir seminggu lagi saya genap 17 tahun. Hitung mundur dari 40 hari yang saya jadwalkan terus dijalani hingga tengah malam menjelang usia emas tersebut, saya menghitung menit dan detik kematian.

Saya tidak tidur karena masih ketakutan tidak dapat membuka mata lantaran kematian sudah datang. Oh, sungguh ini tamu yang paling menakutkan dan tugas paling berat dari semua tamu atau tugas selama kurun waktu saya SMA.

Kurang lima menit lagi pukul 00.00.  Rasanya seperti menunggu seabad lamanya. Padahal dari 40 hari kesabaran menunggu, saya hanya tinggal melewati lima menit saja. Saya menarik napas panjang. Bahkan lucunya, saya sudah menuliskan surat wasiat di buku harian saya bahwa saya juga ingin ketika menghembukan napas nanti mendapat kehormatan disalatkan di masjid sekolah saya.  Ah, saya benar-benar seperti akan pergi jauh. Padahal waktu itu saya tidak tahu arti surat wasiat secara benar. Bahkan,orang tua saya masih tidak menyadari gelagat aneh ketakutan saya akan kematian ini.  Mungkin mereka menganggap telepon yang sering saya lakukan akhir-akhir ini sebagai ungkapan kangen belaka lantaran memang saya belum mudik ke kampung halaman cukup lama. Padahal setiap mendengar suara mama, papa, dan adik-adik di telepon, saya selalu merekamnya kuat dalam ingatan saya. Saya tidak ingin melupakan canda tawa kami sedikit pun. Saya ingin jika saya pergi dalam usia muda, mama dan papa mengingat saya sebagai anak pertama yang shalehah dan dapat dibanggakan, sama seperti adik-adik saya yang akan bangga bercerita ke anak cucunya nanti bahwa ‘itu kakak saya’.  Menyenangkan sekali rasanya mengingat bahwa ketakutan saya akan kematian membuat saya memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk lebih dekat dengan keluarga walau kami terpisah jarak.

Saya terus-terusan menatap jam beker imut saya di atas kasur tingkat. Maklum, di asrama saya dapat jatah kasur atas sehingga butuh tenaga sedikit bila harus memanjat. Namun, tenang saja. Saya dapat langsung terjun bila kondisi darurat tiba.  Jam beker pun berdering, tepat di jam saya berusia 17 tahun. Saya mencubit lengan dan ternyata rasanya sakit. Saya tidak bermimpi, saya masih hidup. Rasanya senang sekali. Bila tidak ingat tengah malam maka saya sudah melonjak-lonjak. Anak-anak asrama sendiri sedari awal sudah saya pesan untuk tidak merayakan jam 00.00 saya itu dengan neko-neko.

Batu besar ketakutan akan kematian itu pun lenyap. Beban besar di pundak saya terbang dan otak saya kembali mengembang menghirup oksigen bebas. Saat itu, saya menyebutnya sebagai resolusi diri saya pribadi. Saya bersyukur bahwa Tuhan masih memberikan saya kesempatan untuk hidup dan berbuat kebaikan. Saya berjanji untuk melakukan yang terbaik yang saya mampu sebagai wujud syukur saya atas karunia hidup gratis ini.

Sekarang, setelah 9 tahun berlalu dari masa revolusi itu, saya kembali diliputi tanda tanya, ke mana rasa takut atas kematian itu? Saya mengerti, ternyata Tuhan memberikan saya rasa takut agar saya belajar menghargai hidup dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Belajar dari rasa takut mati juga membuat saya belajar bahwa pertanda-tanda kematian tersebut akan dirasakan oleh alam sadar kita tidak seperti saya saat itu yang menghitung mundur 40 hari.

Tanpa saya sadari, 9 tahun menempuh perjalanan hidup menjadi mahasiswa kedokteran juga diajarkan tentang rasa kematian ini yang acap kali tidak saya tanggapi seperti kala dulu rasa kematian itu menyerang saya.  Ternyata, saya merindukan rasa ketakutan akan kematian tersebut sebagai pemacu untuk lebih baik lagi dalam waktu yang pendek ini.

Berawal dari kematian, diary zaman SMA ini merekam segala kisah itu. Bahkan saya masih dapat tersenyum jika membuka dan membacanya. Bahkan ketika saat menuliskannya penuh dengan masalah, sekarang saya dapat menikmati bahagianya membaca tulisan sendiri.

Masalah hanyalah ketika saya membaca atau mengingat kisah lama dan masih tersisa dongkolan di hati, bila hanya dijawab dengan tawa ringan artinya yang telah berlalu itu bukan masalah.

Terima kasih diary SMA saya juga beberapa diary SD juga SMP yang masih tersimpan rapi. Juga novel pertama saya bertuliskan tangan ganti episode setiap ganti lembaran buku berjudul "Diriku Kembali". Saya heran zaman SMP dulu sudah membuat novel laksana sinetron alay era sekarang. Syukurnya saya hanya remaja di kota kecil yang tidak mungkin ditemukan oleh penerbit buku sehingga menulis hanya menjadi hobi dan saya benar-benar bisa jadi dokter. Kalau dulu terpublikasi mungkin saat ini saya tidak jadi dokter.

Untuk Teh Cucu yang pertama kali menyapa hangat dan menjebloskan saya ke jurang CBF, membantu saya tetap berkomunikasi di kompasiana selama tugas di Sumba dengan sinyal amit-amit jabang demit. Saya selanjutnya bertemu gerombolan emak hebat Mb Edi, Mb Deasy, Mb Maria, Mb Icoel, Uni Fitri, Mb Christie, Mb Aulia, Mb Vema, Mb Yayat, Mb Olive, Bunda Siti, Mb Ira, Mb Winda, Mb Gratcie, dengan satu lelaki ganteng Om Valen.

Dari CBF saya juga bertemu para pemuda hebat dengan ide luar biasa seperti Ajeng, Marintan, Chea, Irul, Audya, Ulya, Disa, Rizki, Mas Heri dan membuat saya kenal para admin yang ganteng (muji dulu biar HL haha) Mas Isjet dan Nurul.

Tidak terlupakan pula saya bertemu para sesepuh Babeh Helmi, Babeh Dian, Om Thamrin, Om Taufik, Tante Ratna, Om Posma, Om Farid, Om Ninoy, Om Windu, Om Lokon, Tante Paku, Om Jay, Bunda Pipiet Senja, Kang Pepih, Om Chappy. Luar biasa

Rasanya berawal dari kematian kini menjadi kehidupan baru bersama keluarga besar KOMPASIANA.

Bahwa menjadi dokter bukan hal mudah, apalagi menjadi dokter yang menggunakan hatinya dan mau menulis.

I'm nothing without you all ;)

Salam Ingat Mati

-Avis-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun