Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Kudeta dan Nawaksara

11 Desember 2011   12:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:31 1466 1
Presiden Soekarno memberikan pengumuman, yang isinya antara lain:

KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA,

Setelah menyadari bahwa konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan Rakyat, Bangsa dan Negara, maka dengan ini mengumumkan:

-Pertama: Kami, Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa Undang-undang Dasar 1945.
-Kedua: Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden, setiap waktu dirasa perlu.
-Ketiga: Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para Pemimpin Masyarakat, segenap Aparatur Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti tersebut diatas.
-Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila.”

Pengumuman ini ditandatangani Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI.

Tak mau menunggu lama, MPRS dalam sidang istimewa pada awal Maret 1967 mengeluarkan salah satu ketetapan penting, yakni TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967), yang berkesimpulan mencabut kekuasaan Sukarno, dan sekaligus mengangkat Pengemban Surat Perintah Sebelas Maret, Jenderal Suharto sebagai Pejabat Presiden hingga pemilihan umum dilaksanakan. Semenjak itu, pengaruh Sukarno dan pendukungnya diperlemah secara bertahap.

Seperti halnya pledoi Indonesia Menggugat yang dibacakan Sukarno di depan Landraad Bandoeng, pidato Nawaksara beserta Pelengkap Nawaksara ditolak majelis yang memiliki kepentingan politik. Dua pidato Sukarno yang berjarak 36 tahun ini sama-sama menyimpan gelegak amarah. Dulu, tahun 1930, ditujukan pada pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Kini, 1966, ditujukan kepada sekelompok “pemain politik” yang menuduhnya terlibat Gerakan 30 September.

Pidato Nawaksara merupakan dokumen sejarah yang menarik. Pidato yang diucapkan Sukarno di depan Sidang Umum MPRS ke-IV ini menandai titik balik era Demokrasi Terpimpin. Era Demokrasi Terpimpin dimulai ketika terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Demokrasi ala Sukarno yang memunculkan kesimpulan kepala pemerintahan memiliki kekuasaan tak berhingga. Dan komando politik Indonesia berada di telunjuk Sukarno. Era ini mencuatkan kekuatan baru dalam kancah politik yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Kekuatan politik seperti Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumis sudah diberangus terlebih dahulu. Di sisi lain, TNI-AD hadir sebagai pengimbang PKI. Dengan demikian, era Demokrasi Terpimpin menyebabkan kekuasaan terpusat pada tiga sumber utama: Sukarno, PKI, dan TNI-AD.

Pidato ini ialah pertanggung jawaban Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia. Pidato ini disampaikan untuk menjawab permintaan MPRS yang meminta penjelasan tentang peristiwa 30 September, dan kemerosotan ekonomi. Menjawab permintaan majelis rakyat, Soekarno mengurai tiga keterangan pokok yang berkaitan dengan peristiwa G-30 S: (a) keblingeran pimpinan PKI, (b) subversi neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim), dan (c) adanya oknum-oknum yang “tidak benar”.

Sukarno menuding kekuatan kontra-revolusi dari dalam negeri dan kekuatan nekolim bersatu padu berupaya menggulingkannya dengan Gerakan 30 September. Nawaksara ini pula menjadi langkah awal peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto. Pimpinan MPRS (diketuai AH Nasution, dan wakil ketua Osa Maliki, HM Subchan ZE, M Siregar, dan Mashudi) lewat keputusan nomor 5/MPRS/1996 tertanggal 5 Juli 1966 meminta Panglima Besar Revolusi untuk melengkapi pidato tersebut.

Sukarno membalasnya dengan Pelengkap Nawaksara yang disampaikan tertulis pada 10 Januari 1967. Isinya antara lain: (a) G.30.S ada satu complete overrompeling; (b) Sukarno sudah mengutuk Gestok (Gerakan Satu Oktober). Yaitu ketika berpidato pada perayaan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966. Pada kesempatan 17 Agustus 1966, Sukarno berkata “sudah terang Gestok kita kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB”; (c) pada malam peringatan Isro dan Mi’radj di Istana Negara, Pengemban Supersemar mengatakan, “saya sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI, berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah “Gestok”.

Pertentangan antara kubu Sukarno dan kubu MPRS yang dikomandoi AH Nasution semakin terang ketika Pimpinan MPRS, 16 Februari 1967, mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK PELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA. Alasan penolakan Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara oleh MPRS karena tidak memenuhi harapan anggota-anggota MPRS dan bangsa pada umumnya. Dalam dua pertanggung jawaban tersebut tidak dijelaskan terperinci kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan kontra-revolusi G30S/ PKI, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan akhlak. Tanggapan ini benar-benar mengecewakan Sukarno. Padahal, pemangku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata ini berpikir sudah memberikan jawaban yang jujur, memenuhi harapan dari apa yang ditanyakan, serta sesuai persyaratan yuridis.

Pidato Presiden Sukarno www.youtube.com/watch?v=fjD0gB4BU7o

> Sejak malam terjadinya pembunuhan sejumlah jenderal senior Angkatan Darat pada malam tanggal 1 Oktober 1965 yang kemudian menjadikan keamanan di hampir seluruh pelosok Indonesia mencapai titik terendah disebabkan pembunuhan jutaan manusia Indonesia yang dikatakan sebagai PKI -tanpa proses pengadilan- lalu keluarnya Surat Presiden tertanggal 11 Maret 1966 yang ternyata ditandatangani di sebuah kop surat Markas Besar Angkatan Darat -bukan di atas kop resmi Kepresidenan- sampai dengan keluarnya keputusan MPRS 16 Februari 1967, memiliki benang merah yang tak terputus tentang upaya pemberhetian Sukarno sebagai Presiden RI.

Apakah sejarah tetap diam dengan mengatakan peristiwa ini bukan sebagai KUDETA? Mari kita gali kembali sejarah masa lalu Republik ini. Indonesia memang tak hidup di masa lalu. Namun mengaburkan sejarah masa lalu sebuah Bangsa bisa membelenggu perjalanan ke masa depan.

HIDUP INDONESIA
mari kita akhiri dagelan sejarah yang berkepanjangan ini

tengok http://www.facebook.com/photo.php?fbid=206468649435779&set=a.123857471030231.31186.123849001031078&type=1



.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun