Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Macan, Garuda vs Banteng... Waspadai "Serigala"

2 Juni 2014   10:24 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:49 122 0

Hasrat itu... hasrat yang membuat menggoda manusia untuk merasa lebih dari adanya, hasrat yang berujung kepada

Homo homini lupus .......

Sebuah kalimat yang saat ini telah samar terdengar namun  selalu hadir dalam setiap aspek kehidupan manusia, dia hadir dalam komunitas sekecil apapun, bahkan kehadirannya begitu eksis didalam sendi kehidupan bernegara namun bersembunyi dibalik statement-statement yang santun dan cerdas. Dia bersembunyi dibalik wajah-wajah ceria dan sikap yang wibawa....

Dia adalah invalid yang memiliki seribu wajah dan sejuta perangai....

“dia” adalah sifat dan bukan sikap apalagi tutur kata. Karena itu manusia tidak dapat melihatnya melainkan selalu dapat merasakannya.

Homo Homini Lupus adalah sebuah kalimat yang diutarakan Titus Maccius Plautus (195 BC) (lupus est homo homini). Kalimat yang menggambarkan hasrat manusia untuk memiliki kekuasaan terhadap sesamanya yang melahirkan sifat “memangsa” bagi siapapun yang tidak mampu mengendalikannya.

Sifat ini konon diturunkan oleh nenek moyang manusia yaitu Adam. Godaan keinginan untuk menjadi serupa dengan penciptanya membawa Adam dalam situasi tak terkendali... kekuasaan untuk mengelola bumi dianggap belum cukup tanpa pengetahuan yang penuh dan kehidupan abadi yang notabene adalah membuat diri serupa dengan Sang Pencipta.

Anak-anak sang adam-pun tak kuasa untuk mengendalikannya. Atas nama cemburu, Kain melampiaskan hasrat berkuasa untuk menjadikannya satu-satunya perhatian dengan membunuh Habel saudaranya. Demikianlah hasrat “berkuasa” ini melanglang buana dalam kehidupan umat manusia hingga zaman ini.

Setiap hari dalam pergaulan seringkali tanpa sadar kita menyaksikan situasi saling memangsa tanpa peduli atau mengerti apalagi berniat mencegahnya.

Seorang anak kecil menangis sekeras-kerasnya hanya untuk menarik perhatian ibunya untuk membelanya karena mainan yang sedang dipegangnya diambil kembali oleh anak lain yang punya.

Sungguh, hasrat ini sudah ada sejak kecil bahkan mungkin sejak dikandung pada rahim ibu tercinta.

Dewasa ini hasrat ini telah bertransformasi dengan melahirkan antara lain hal-hal yang bersifat egosentris, intoleran, diskriminasi dan monopoli serta dominasi individu terhadap manusia lainnya.

Setidak-tidaknya terdapat tiga hal sebagai penyebab yang mengiringi hasrat ini yaitu :

-Perasaan kekuatiran yang berlebihan yang menjurus kepada rasa terancamnya keadaan individu terhadap keberadaan orang lain yang ditandai dengan rasa curiga, kuatir yang tidak berdasar dan diluar logika yang sehat.

-Perasaan haus akan kemenangan, suatu kepuasan yang tidak terkendali sehingga memunculkan sikap haus kekuasaan yang kental untuk digunakan sebebas-bebas melakukan kehendaknya terhadap orang lain.

-Perasaan bawah sadar manusia yang berujung ingin menjadi tuhan atas diri sendiri lebih lagi menjadi tuhan atas sesamanya.

Hal-hal tersebut memupuk kebencian dan membentuk sifat yang “memangsa” bagi seorang manusia. Dengan sifat ini, manusia memandang sesamanya hanya sebagi saingan yang harus dikalahkan didalam kehidupan ini. Tidak ada lagi ketulusan yang dibangun untuk saling memahami sebagai sesama mahluk, yang ada tinggal sifat menguasai yang dikemas dalam berbagai cara, mulai dari yang sangat nampak, samar-samar sampai yang seakan-akan ditampakkan sebaliknya.

Marilah bersama-sama kita mengkaji sifat tersebut :

Hubungan antar Individu

“Manusia pada dasarnya Individualistis” menurut Epicurus (342-271 SM), afiliasi apapun dari manusia pada prinsipnya adalah kepentingan-kepentingan perorangan. Sifat ini melahirkan sikap proteksi terhadap gangguan apapun terhadap dirinya dan sebagian melakukan proteksi keluar dirinya untuk mengantisipasi ancaman dengan jalan menghilangkannya.

Dimasa jauh sebelum itu, para filsuf Ionia aliran Naturalis ( abad 6 SM) dalam kosmologi alamiah pernah melahirkan pandangan bahwa kekuatan merupakan inti dari alam. Manusia sebagai bagian dari alam, tidak lepas dari kodrat tersebut. Bahkan manusia mewarisi kualitas “Dionysian” bawaan yang cenderung liar, menerima kekejaman, dan siap menghadapi nasib yang ditimpakan kepadanya.

Sejalan dengan itu, Thomas Hobbes (1588-1679) menyatakan bahwa manusia sejak zaman purbakala dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri tanpa mempertimbangkan adil atau tidak adil. Dalam keadaan itu, terjadilah bellum omnium contra omnes dimana setiap orang selalu memperlihatkan keinginannya yang sungguh egoistis.

Demikian pula saat mengamati kehidupan manusia dizamannya, ratusan tahun kemudian Jeremy Bentham (1748-1832) mewakili kaum individualis utilitarianism berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup, kebahagiaan dicapai dengan meningkatkan rasa senang dan bahagia serta mengurangi rasa sakit dan derita dari kehidupan seseorang. Keadilan diukur melalui pencapaian kesenangan yang sebesar-besarnya bagi individu dan manusia diberikan seluas-luasnya berpikir dan bertindak untuk menggapai kondisi individu yang ideal menurut ukuran umum kebahagiaan.

Teori-teori tersebut didasari atas pengamatan mendalam terhadap berjalannya kehidupan antar manusia sepanjang sejarah. Teori tersebut menggambarkan “bagaimana” manusia dalam menata hidupnya dengan sesama dan bukan “seharusnya”.

Menelisik berbagai pandangan diatas, terlihat dengan jelas bahwa “Manusia adalah mahluk yang Invidualistis, cenderung liar dalam menunjukkan eksistensinya yang selalu berharap akan kebahagiaan dengan mengurangi rasa sakit/derita serta meningkatkan rasa senang/bahagia bagi dirinya. Manusia sepanjang sejarah dibawa dalam situasi yang hedonistik dengan memaksa tiap individu untuk berjuang dengan keras dalam meraih segenggam kebahagian dan pada akhirnya lupa dengan moral dan etika tetapi juga sekaligus secara tidak sadar selalu memberi ruang yang besar bagi sifat menguasai bahkan memangsa.

Homo Homini Socius

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun