Ia sadar akan kekuatan alam yang melekat erat di pori-pori kulit kita. Alam nusantara (Indonesia) telah membentang luas untuk digali harta karunnya, untuk dikuras segala bukti. Membanting tulang serta memutar otak terus-menerus untuk mendapatkan makanan dan pakaian serta memperoleh senjata dan perlindungan untuk membela diri terhadap binatang buas atau alam yang kejam.
World View, dimulai dari kosakata lama itu, ia bergerak meraba dinding-dinding sejarah nenek moyang yang ia banggakan sebagai bagian dari semesta raya bumi nusantara. Semesta dengan kodratnya yang lunak kepada perbedaan alam jiwanya orang Indonesia asli, seperti orang Kubu, Semang, Dayak, dan Irian seperti berkelindan di atas alam-jiwanya seorang Indonesia di desa dan kota seperti tani, buruh, dokter, insinyur, atau pengacara.
Karena itu ia berkawan dengan hukum dialektika, di tengah kenyataan sejarah alam manusia Indonesia yang pasif menerima, bahkan menderita ketakutan saja, hilanglah karakter yang diimajinasikan, maka dialektika dalam benaknya membentuk makna yakni perubahan bilangan sedikit demi sedikit, lama-kelamaan menjadi pertukaran sifat (quantity into quality).
Ia tak pernah lupa dengan sisi religiusitas yang melatari perkembangan alam pikirnya. Sang Nabi baginya mestilah dikenal buta huruf namun ia yakin kekuatan manusia dari alam pikir dan kerja yang bertalutan. Bukanlah berarti buta huruf ikut serta buta kecerdasan, buta keberanian ataupun buta kejujuran. Sebaliknya pula, pendidikan pun dilihatnya tidaklah menjamin keberanian, keuletan, kejujuran, kecakapan memimpin, ketangkasan memandang ke hari depan dan mengambil sesuatu putusan dengan cepat serta tepat (resourcefulness).
(Tegak (tinggal) di kampung pagar kampung, tinggal di alam pagar (nya) alam. Melompatlah sama pata, menuruk (sembunyi) sama hilang) -Tan Malaka-1948-