Setiap rejim pemerintahan yang berkuasa selalu memikirkan cara bagaimana kekuasaan itu bisa bertahan dan diterima oleh seluruh rakyat dengan legitimasi yang kokoh. Sejak masa Lenin, bahkan jauh sebelum itu, praktik kekuasaan cendrung mencari alat bagaimana pengakuan dan penerimaan publik bisa terus mengalir sehingga ia bisa menjaga institusi negara dalam situasi yang stabil disamping melemahkan segala unsur kekuatan oposisi, baik yang lahir dari basis rakyat sampai gerakan oposisi yang bernaung di tubuh parlemen.
Telah banyak studi yang memperbincangkan mekanisme-mekanisme praktik kekuasaan yang berusaha menjalankan roda pemerintahan secara benar, Machiavelli jauh-jauh hari pernah mendapat penerimaan luas di kalangan politisi tentang kodrat yang melekat pada ruang politik kenegaraan. Baginya, politik riil dalam bingkai kenegaraan itu bisa dijalankan secara maksimal meliputi segala unsur kekuatan yang ada. Politik yang menghalakan segala cara. Maka dalam era globalisasi teknologi sekarang ini, yang memungkinkan pengaruh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi begitu deras masuk di setiap bidang kehidupan, rejim yang berkuasa pun tidak luput untuk memanfaatkan ruang tersebut menjadi medium legitimasi kekuasaan dengan mekanisme baru pada ranah politik.
Pencitraan positif seorang penguasa akan terus berjalan sebagai strategi yang ampuh dalam meraup dukungan publik secara luas, pola kerjanya mengedepankan peranan media dan kecanggihan teknologi sehingga terbuka pula kesempatan dan peluang bagi praktik kekuasaan yang mengedepankan penguasaan atas simbol dan juga kekerasan secara simbolik. Perkara diatas menjadi salah satu alamat kritik Pierre Bourdieu dalam membaca fenomena penguasaan dan kekerasan simbolik berikut politik pencitraan yang belangsung di setiap rejim berkuasa.
Bahasa dalam Praktik Kekuasaan
Bahasa bukanlah medium transparan yang secara netral menggambarkan realitas. Meski sering diabaikan, sebenarnya bahasa berkait erat dengan kekuasaan. Meminjam pernyataan Ernest Cassirer, bahasa adalah karakter yang mendefinisikan manusia, karena manusia juga dikarakterisasikan oleh kreasi musik, seni, tari dan seluruh tingkat dari bentuk-bentuk simbolik.
Jadi, hubungan antara bahasa dan kekuasaan dapat mewujud dalam penciptaan realitas melalui bahasa. Pada konteks ini pemikiran Pierre Bourdieu mengenai hubungan bahasa dan kekuasaan menjadi relevan dalam mengupas praktik kekuasaan yang berlangsung di setiap rejim pemerintahan. Bagi Bourdieu, praktik bahasa dihasilkan oleh habitus dan selalu terjadi dalam ranah yang memiliki skema evaluasi linguistik tertentu. Karena itu setiap diskurus merupakan kompromi antara maksud ekspresif agen dan sensor yang inheren dalam ranah. Sensor ini merupakan sensor diri yang terjadi melalui pengetahuan praktis habitus dalam rangka mengantisipasi keuntungan simbolik atau material. Bahasa menurut Bourdieu, adalah salah satu dari bentuk-bentuk simbolik yang khas. Ia hadir dalam semua wilayah kehidupan sosial dan karenanya berperan sebagai sarana utama bagi kuasa simbolik yang memungkinkan terjadinya dominasi dan kekerasan simbolik.
Penguasaan atas simbol dijelaskan sebagai kuasa untuk menciptakan realitas yang bersifat yang seakan-akan legitimate. Kuasa simbolik terjadi melalui salah pengenalan yang dimungkinkan oleh kerja habitus sebagai skema persepsi dan apresiasi realitas. Kekuatan bahasa untuk menciptakan realitas tidak berasal dari dirinya melainkan dari modal simbolik yang menjadi fokus konsentrasi di dalamnya. Hal ini ditentukan oleh jumlah modal yang dimiliki oleh si pembicara atau institusi yang memberikan otoritas padanya, terutama negara dan elit politik atau negara dalam masyarakat yang terdiferensiasi seperti halnya masyarakat kontemporer.
Korelasi kekuasaan dan kekerasan perlu kiranya dipahami dengan tidak semata memandangnya sebagai bentuk aktivitas yang melibatkan wilayah fisik, baik itu berupa tubuh dari aktor maupun sarana dan fasilitas yang ada. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi terbukti turut berpengaruh dalam membuka relasi kekuasaan dan kekerasan tersebut menjadi sebuah ruang yang seolah-olah tidak mengandung kepentingan. Kedua unsur tersebut dikonstruksi sebagai arena yang terpisah dan tidak bersinggungan.
Saat ini hubungan antara kekuasaan dan kekerasan tidak lagi dalam bentuk gerak fisikal melainkan bekerja dalam arean representasi, di mana simbol sebagai kekuatan abstrak memiliki sumber daya yang ampuh dalam mencipta kebenaran.
Pembenaran Rejim dengan Penguasaan Simbol
Dalam konteks Indonesia, membaca setiap rejim politik tidak hanya dipandang mekanisme pengambilan kebijakan atau bagaimana rejim mengalola kinerja pemerintahan. Tapi di tempat lain dapat disimak dari kerja simbolik yang digunakan oleh rejim politik, seperti wacana yang dipublikasikan, retorika yang digunakan, sampai pada model politik pencitraan seperti yang gencar dilakukan oleh rejim SBY.
Telah menjadi keniscayaan sejarah bagi setiap orde kekuasaan untuk menciptakan sistem simbol yang mencerminkan identitas yang khas. Rejim politik di era Sukarno, memproduksi wacana Nasakom sebagai konsentrasi simbolik yang bertujuan menyatukan komponen kekuatan politik yang terfragmentasi pada masa itu. Di masa orde baru Suharto, sistem simbolik melekat erat dalam wacana pembangunan (developmentalism). Begitupun pula di masa SBY, berkembang wacana good governance untuk dijadikan simbol utama merepresentasikan cita-cita besar pemerintahan. Rejim kekuasaan seringkali juga mencitrakan dirinya dengan bahasa-bahasa simbolik seperti “penyambung lidah rakyat”, “bapak pembangunan”, “orang terdepan dalam pemberantasan korupsi”, atau “anak bangsa” (Fauzi Fashri, 2007: 9).
Bagi yang mampu memegang simbol maka ia dapat mengejewantahkan dirinya seperti apa yang disimbolkan. Jika demikian halnya, rejim politik bisa menjalankan praktik kekuasaannya atas nama simbol yang ia ciptakan sendiri. Ia memiliki wewenang untuk menjadikan simbol itu nyata dan mendapatkan pengakuan bahwa rejim politik memiliki mandat untuk bertindak sesuai dengan karakter yang disimbolkan.
Simbol mengandung kekuatan untuk membentuk wajah realitas. Kekuatan itu tersimpan dalam proses kategorisasi, penilaian, dan pemaksaan ide-ide tertentu kepada obyek yang menafsirkan simbol. Dalam dunia politik, operasi kerja kekuatan simbol tak bisa dilepaskan dari struktur atau aktor politik yang berkepentingan mengkonstruksi realitas. Wacana terorisme, misalnya, digunakan oleh pemerintah untuk menentukan kelompok mana yang disebut teroris dan mana yang bukan. Terorisme sebagai wacana simbolik dijadikan modal politik bagi pemerintah dalam mengesahkan UU terorisme yang memberikan payung hukum sah untuk melakukan praktik politik, seperti membuat kategori teroris hingga ke proses penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dikategorikan teroris.
Persoalan yang sering lepas dari perhatian bersama ialah membongkar mekanisme kerja di balik kekuatan simbolik itu. Diskurus terorisme sebagai wacana dominan yang mempengaruhi kebijakan semua negara sejak peristiwa teror di AS, tidak terlahir dari ruang yang netral atau bebas dari kepentingan. Wacana simbolik ini menjadi dominan karena diproduksi oleh negara Amerika Serikat yang memiliki kekuasaan ekonomi-politik melebihi negara-negara lain. Melalui kekuasaan yang dimilikinya, wacana terorisme disebar ke setiap negara sebagai program politik. Didukung oleh globalisasi ekonomi, wacana terorisme menjadi kewajiban tersendiri untuk dilaksanakan oleh semua negara, termasuk Indonesia.
Pemerintah akhirnya menyambut ini dalam program politiknya karena isu terorisme bukan lagi sekedar wacana an sich, tapi memuat implikasi ekonomi-politik bagi negara-negara yang tidak mendukung isu tersebut. Negara yang tidak sepakat dengan program anti-terorisme dapat dimarginalkan dari konstelasi ekonomi dunia, investor asing enggan masuk, mendapat hambatan untuk peminjaman hutang, atau intimidasi secara politik. Dengan begitu, pemerintah -disebabkan otoritas dan legitimasi yang didapatkan dari Amerika Serikat- mempunyai kekuatan simbolik untuk mengonstruksi dan mendefiniskan realitas sesuai dengan selera dan ideologinya.
Contoh lain yang berkaitan dengan penguasaan simbolik ialah munculnya wacana good governance yang diusung pemerintahan SBY sebagai visi besar penataan negara. Mengacu pada pandangan Edward Said di bagian pendahuluan Orientalism menyatakan bahwa “there is no such things as a delivered presence; there is only re-presence, or representation” (Said, 1979:21). Di balik pewacanaan good governance tersembunyi relasi kuasa yang tak tampak oleh khalayak akan tetapi tampil seakan-akan mengandung nilai objektif.
Konsep good governance pertama kali digunakan oleh Bank Dunia tahun 1989 dalam laporannya yang berjudul Sub-Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth. Kelahiran konsep good governance berkaitan erat dengan konstruksi pembangunan bagi negara berkembang. Seperti yang didefinisikan oleh World Bank, Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, investasi tanpa hambatan, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Meskipun terdapat definisi beragam mengenai istilah good governance, tetapi penempatan elemen-elemen dasar konsepsi ini bermula dari Bank Dunia (Ibid., 2007: 11).
Kemunculan good governance sebagai wacana dominan berkaitan dengan kegagalan kapitalisme awal yang mengalami depresi ekonomi tahun 1930-an dan berujung pada akumulasi kapital melambat. Penyebabnya antara lain, proteksi dari negara, paham keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, serta berbagai tradisi adat pengelolaan sumber daya alam berbasis rakyat. Untuk mengembalikan putaran kapital tanpa ada rintangan, salah satu strategi yang dijalankan oleh kapitalisme ialah menggagas konsep good governance.
Dalam wacana good governance, demokrasi sebagai kerangka politik diperlukan demi kesuksesan pembangunan ekonomi dan ekonomi liberal menjadi mazhab utama bagi pembentukan tata ekonomi yang lebih baik. Demokrasi dan ekonomi liberal berhubungan erat secara konseptual. Artinya, upaya mendorong demokrasi secara bersamaan mendorong pula ekonomi pasar bebas. Bank Dunia sendiri melalui staf seniornya menyatakan, governance berarti pemerintah yang kompoten dan memiliki akuntabilitas yang “didedikasikan pada kebijakan-kebijakan ekonomi liberal” (Abrahamsen, 2004:88).
Jika ditelaah lebih jauh, wacana good governance telah mengaburkan relasi kuasa dan dominasi melalui justifikasi lembaga, aktor politik, dan mantra teorinya. Hubungan yang menindas dan memaksa dari kapitalisme ditutupi sedemikan rupa oleh wacana good governance. Dengan menepikan peran negara, ruang bagi pasar dan lembaga-lembaga swasta semakin diperluas. Menjadi jelas bahwa wacana good governance menyembunyikan kuasa ideologi tertentu untuk menciptakan tata ekonomi-politik baru.
Lantas mencuat pertanyaan, mengapa wacana good governance diterima begitu saja oleh masyarakat sebagai konsep yang sah untuk tata pemerintahan dan dianggap ampuh bagi reformasi tata birokrasi negara? Dengan menggunakan argumen Pierre Bourdieu, “What creates the power of words and slogan, a power capable of maintaining or subverting the social order, is the belief in the legitimacy of words and of those who utter them” (Bourdieu, 1991:170). Sebuah konsep, bahasa, atau wacana dianggap sah atau legitimate tergantung kepada siapa yang mengucapkannya (memproduksi). Dalam ranah politik, jika seseorang atau lembaga mendapatkan otoritas dan legitimasi untuk mengucapkan sesuatu, memproduksi wacana maka ucapan atau wacana tersebut dianggap sebagai kebenaran.
Saat seorang Presiden atau aparatus negara dan bahkan pejabat Bank Dunia yang mendapatkan otoritas untuk mensosialisasikan gagasan dan praktik good governance, maka masyarakat memandangnya sebagai sesuatu yang legitimate (sah dan benar). Otoritas melekat dengan kekuasaan untuk menamakan dan memproduksi wacana tertentu. Dari argumen tersebut, good governance menjadi kekuatan efektif menata cara berpikir dan bertindak masyarakat. Tidak perlu lagi membongkar konsep good governance atau menguak kepentingan di balik konsep itu. Good governance, lewat kekuasaan simbolik yang bekerja, tampil sebagai ramuan yang dianggap dapat menyembuhkan kondisi bangsa yang sedang sakit.
Strategi Berulang bagi Kelestarian Kekuasaan
Studi mengenai kekuasaan (power) menempati posisi sentral dalam diskursus ilmu politik. Karenanya, tidak heran apabila sebagian orang menyatakan bahwa hubungan politik dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang yang saling berkaitan. Kekuasaan (power) merupakan sebuah konsepsi yang memiliki arti yang beragam. Kalau kita runut, kajian terhadap kekuasaan sudah berlangsung sejak lama, dimulai dari zaman Yunani hingga saat ini. Meskipun sudut pandang yang digunakan untuk membedah kekuasaan beraneka ragam, tapi ada prinsip umum yang dapat kita sepakati yaitu setiap kekuasaan cenderung untuk dipertahankan, dilestarikan, dan diproduksi kembali oleh aktor atau institusi yang memiliki kekuasaan.
Strategi mempertahankan dan melestarikan sebuah kekuasaan mengandaikan penggunaan kekerasan. Pertautan keduanya –kekuasaan dan kekerasan- seringkali terwujud dalam bentuk yang plural. Ada yang mengabsahkan pemakaian segala cara meskipun buruk yang penting kekuasaan tetap terjaga. Pemikiran seperti ini dapat kita temukan pada pemikiran politik Niccolo Machiavelli dalam karyanya The Prince. Bagi Machiavelli, kekuasaan harus dilestarikan melalui cara apapun agar kedaulatan sang penguasa (negara) tetap tegak. Karenanya penggunaan kekerasan yang bersifat fisik pun dapat dibenarkan, seperti intimidasi, penyiksaan, penculikan, dan sebagainya. Dengan kata lain, negara memiliki kewenangan melakukan politik kekerasan untuk mempertahankan dominasinya terhadap yang dikuasainya.
Akan tetapi, praktik dominasi kekuasaan tidak semata-mata diadakan melalui kekerasan fisik. Antonio Gramsci –seorang pemikir neo marxis dari Italia- menyatakan bahwa kekuasaan dapat dilanggengkan melalui strategi hegemoni. Hegemoni yang dimaksudkan oleh Gramsci ialah peran kepemimpinan intelektual dan moral (intellectual and moral leadership) untuk menciptakan ide-ide dominan.
Berangkat dari kritiknya terhadap konsepsi kekuasaan ala Karl Marx yang mereduksi praktik dominasi pada struktur ekonomi, Gramsci lebih jauh berpandangan bahwa kekuasaan diperoleh lewat hegemoni ide-ide (dalam wilayah budaya) yang didasarkan atas mekanisme konsensus. Melalui hegemoni, ide-ide yang diciptakan penguasa menentukan struktur kognitif masyarakat. Upaya hegemoni ini berlangsung untuk menggiring persepsi orang dalam kerangka yang telah ditentukan oleh negara. Misalnya, pada masa orde lama, Sukarno menciptakan hegemoni ide dalam wujud musuh bersama (common enemy) yaitu neo kolonialisme dan imperialisme. Atau di era Soeharto yang menjadikan anti PKI sebagai ide besar. Ide-ide dominan tersebut mampu menghasilkan konsensus bersama serta menciptakan rasa persatuan masyarakat bahwa musuh besar bangsa adalah Nekolim dan PKI. Dengan begitu, hegemoni cenderung mengalihkan perhatian masyarakat dari realitas yang sesungguhnya. Tujuannya tak lain adalah mempertahankan kekuasaan penguasa negara.
Untuk menjaga keberlangsungan proses reproduksi kekuasaan dan relasi kekuasaan, Louis Althusser –salah seorang pemikir neo marxis lainnya- meletakkan negara sebagai institusi sentral yang berperan mempersatukan dan memaksa masyarakat dalam reproduksi kekuasaan. Dimulai dengan merevisi teori marxis tentang state power, Althusser membedakan antara kuasa negara (pemeliharaan kekuasaan negara atau perebutan kuasa negara) sebagai tujuan perjuangan kelas politik dan aparatus negara di sisi lain.
Dalam pandangan Althusser, kuasa negara masih dapat berubah dan berganti akibat dari perebutan kekuasaan oleh kelas-kelas politik yang ada. Sedangkan aparatus negara relatif bisa bertahan meski terjadi peralihan kekuasaan. Bercermin pada momen politik reformasi 1998 di Indonesia, kita dapat melihat bahwa meski telah terjadi peralihan kekuasaan yang ditandai turunnya Soeharto lewat kekuatan-kekuatan politik yang ada pada saat itu, namun aparatus negara (politisi, partai politik, atau militer orde baru) tetap melanggeng di struktur kekuasaan.
Althusser lebih lanjut memaparkan distingsi aparatus negara dalam kaitannya dengan reproduksi kekuasaan. Pertama; Aparatus Negara Represif (Repressive State Apparatus, RSA) yang bekerja dengan cara represif melalui kekerasan fisik maupun non-fisik, seperti pemerintah, militer, polisi, lembaga peradilan. Yang kedua; Aparatus Negara Ideologis (Ideological State Apparatus, ISA). Modus kerja ISA berlangsung melalui cara-cara yang ideologis-persuasif, seperti lembaga agama, pendidikan, media massa, partai politik, lembaga survei dan sebagainya. Pada bentuk kedua inilah, negara memperkuat kekuasaannya melalui muatan-muatan ideologi yang tak tampak (Op.cit.,: 2007: 15)
Perjuangan dominasi kekuasaan, dalam piranti aparatus negara ideologis, mengandalkan mode ideologi tertentu untuk menciptakan subyek. Pembentukan subyek ini dapat kita temukan ketika aparatus negara ideologis menyapa, merayu, dan mengajak subyek untuk menjadi pengikut. Slogan “Bersama Kita Bisa” di tahun 2004, misalnya, berperan secara simpatik untuk mengajak masyarakat bergabung dalam kebersamaan ideologis di bawah pemerintahan SBY-JK. Dalam perspektif Althusser maupun Gramsci, slogan seperti itu berupaya menanamkan citra yang bersahabat bahwa pemerintah dekat dengan rakyat atau persoalan bangsa hanya bisa diatasi kalau pemerintah dan masyarakat bersatu padu.
Begitu pula dengan trend politik di pemilu 2009 yang lalu dengan maraknya survei mengenai peluang masing-masing kontestan. Lembaga Survei Indonesia yang selalu menampilkan hasil yang dimenangkan oleh SBY sebagai calon presiden terbukti meredusir fakta kepada publik sehingga bisa mempengaruhi pilihan konstituen.
Apabila mengacu pada perspektif konstruksionis, setiap manusia tidak ada yang bebas dari kepentingan. Sehingga apa yang dipraktikkan oleh LSI sangat terbuka peluang untuk memanipulasi atau memoles sedemikian rupa sehingga terlihat tidak berpihak atau terkesan objektif.
Berangkat dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa pertautan kekuasaan dan kekerasan semakin kompleks. Kondisi ini didukung oleh fakta sosial yang mengalami perubahan terus-menerus akibat globalisasi ekonomi pasar dan teknologi informasi yang terjadi di abad 21 ini. Arus globalisasi tidak hanya menandai kaburnya batas-batas negara, melainkan juga praktik kekuasaan dan kekerasan. Jika sebelumnya negara menjadi gugus institusi sentral dalam penggunaan kekuasaan dan kekerasan untuk mengendalikan masyarakat, maka dalam konteks masyarakat global saat ini negara tidak lagi menempati posisi sentral.
Salah satu fenomena menarik pada era globalisasi dewasa ini ialah munculnya sentrum-sentrum kekuasaan dan kekerasan disamping negara, seperti lembaga pengetahuan yang berfungsi sebagai think-tanks perubahan, institusi-institusi bisnis, organisasi masyarakat sipil, lembaga-lembaga survei dan sebagainya. Perubahan ini memperlihatkan pola-pola baru penggunaan kekuasaan dan kekerasan selaras dengan semakin majemuknya kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Strategi, taktik, dan teknik yang digunakan pun semakin canggih, sehingga pola kekuasaan dibuat seolah-olah terlepas dari kekerasan, ataupun sebaliknya.
Dengan begitu, relasi kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak kentara dalam artian kekerasan yang ada tertutupi oleh kekuasaan yang bekerja secara halus melalui representasi simbol-simbol. Pola baru yang menandai relasi kekuasaan dan kekerasan melalui sistem representasi simbol mengharuskan adanya pergeseran pemahaman mengenai keduanya, baik kekuasaan maupun kekerasan.
Dari sini, konfigurasi baru kekuasaan dan kekerasan yang telah bermetamorfosis tersebut tidak lagi terobsesi pada narasi-narasi besar, melainkan menjelma dalam praktik simbolik yang dekat dengan kita. Peralihan pola tersebut selaras dengan kecenderungan “pembalikan ke arah bahasa” (linguistic turn) (Borgman, 1974:37). Dan salah satu tokoh yang memberikan perspektif baru mengenai pertautan kekuasaan dan kekerasan ini ialah Pierre Bourdieu. Dari Bourdieu, kita dapat menguak modus operandi kekuasaan yang terpatri di dalam praktik simbolik bahasa/wacana sehingga melahirkan kekerasan simbolik sebagai sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan.
Kekerasan Simbolik Bagi The Others
Dalam pertarungan simbolik, selalu terdapat kekuatan-kekuatan untuk memberi nama yang diakui secara resmi, memonopoli visi yang sah terhadap dunia sosial, dan memaksa pandangan suatu kelompok atas kelompok lain. Dalam pertarungan simbolik pula, kompetisi antar pelaku sosial terjadi dengan tujuan akhir memperoleh kekuasaan. Kekuasaan yang dituju berupa kekuasaan untuk mengontrol persepsi, pandangan, visi, juga cara pandang seseorang maupun kelompok sosial. Perbedaan dalam mempersepsi dan mengapresiasi dunia sosial menjadi tonggak awal bagi berlangsungnya pertarungan simbolik. Ajang perebutan memperoleh kekuasaan haruslah dimaknai sebagai upaya memproduksi dan menampilkan pandangan dunia yang paling diakui, yang paling benar, yang paling sah. Kesemuanya ini bermuara pada kepentingan memperoleh legitimasi atau pengakuan bahwa hanya pandangan “mereka”-lah yang paling abash dibandingkan “yang lain” (Spilman, 2002:72-75). Kekuasaan pembentuk dunia melalui pandangan yang paling sah inilah yang disebut dengan kekuasaan simbolik (symbolic power).
Kekuasaan simbolik –dalam pengertian Bourdieu- merupakan suatu kekuasaan untuk mengkonstruksi realitas melalui tatanan gnoseological, yaitu pemaknaan yang paling dekat mengenai dunia sosial suatu kelompok atau orang (Bourdieu, 1991: 166). Kekuasaan simbolik ialah kekuasaan tak tampak dan hanya dikenali dari tujuannya untuk memperoleh pengakuan. Sebuah kekuasaan simbolik meski tidak dikenali bentuk aslinya tapi ia tetap diakui. Kekuasaan simbolik bekerja dengan menggunakan simbol-simbol sebagai instrumen “pemaksa” terhadap kelompok subordinat yang turut berperan mereproduksi tatanan sosial sesuai dengan keinginan kelompok dominan. Seperti yang dipaparkan oleh Bourdieu (Bourdieu, 1991:170):
“What creates the power of words and slogans, a power capable of maintaining or subverting the social order, is the belief in the legitimacy of words and of those who uuter them.”
Kekuasaan simbolik, bagi Bourdieu, dalam mengoptimalkan kekuatannya sangat tergantung pada dua hal (Bourdieu, 1990:137-138). Pertama, seperti halnya wacana performatif, kekuasaan simbolik didasarkan pada kepemilikan modal simbolik (symbolic capital). Semakin besar seseorang atau suatu kelompok memiliki modal simbolik, semakin besar peluangnya untuk menang. Artinya, modal simbolik merupakan kredit bagi terbentuknya otoritas sosial yang diperoleh dari pertarungan sebelumnya. Kedua, bergantung pada efektivitas simbolik di mana strategi investasi simbolik bekerja. Efektivitas ini bekerja atas dasar pandangan yang ditawarkan atau sejauh mana strategi investasi simbolik dijalankan. Dalam pandangan ini, kekuasaan simbolik merupakan sebuah kekuasaan pentahbisan, sebuah kekuasaan untuk menyembunyikan atau menampakkan sesuatu lewat kata-kata.
Dalam menyembunyikan dominasinya, kekuasaan simbolik menjalankan bentuk-bentuk yang halus agar tak dikenali. Begitu halusnya praktik dominasi yang terjadi menyebabkan mereka yang didominasi tidak sadar bahkan mereka menyerahkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkaran dominasi. Dominasi yang mengambil bentuk halus inilah yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence), yaitu sebuah kekerasan yang lembut (a gentle violence), sebuah kekerasan yang tak kasat mata (imperceptible and visible) (Bourdieu, 2001:1). Secara lebih lengkap, kekerasan simbolik merupakan suatu bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak yang dibaliknya menyembunyikan praktik dominasi. Bourdieu (Bourdieu, 1990:192) bertutur:
“...the gentle, invisible form of violence, misrecognized as such, chosen as much as it is submitted to, the violence of confidence, of personal loyalty, of hospitality, of the gift, of the debt, of recognition, of piety –of all virtues, in a word, which are honoured by the ethics of honour.”
Kekerasan simbolik menciptakan mekanisme sosial yang bersifat obyektif dimana mereka yang dikuasai menerimanya begitu saja. Mekanisme obyektif yang diciptakan kekerasan simbolik memanfaatkan simbol-simbol yang ada untuk memenuhi fungsi politiknya, yaitu kehendak untuk berkuasa. Seperti halnya sistem kekuasaan, mereka yang mendominanasi menyebarkan pengaruh-pengaruh ideologis atau memaksakan pandangan kelompok mereka atas kelompok marginal. Kekerasan simbolis dapat diandaikan sebagai ‘kekuatan magis’ yang mampu menundukkan pihak yang lemah melalui mantra-mantra yang diciptakannya. Mereka yang didominasi tak sadar kalau mereka sedang digiring untuk menerima atau mengadaptasi pandangan, nilai-nilai, dan kriteria kelas yang berkuasa.
Kekerasan simbolis juga dapat dilihat sebagai pemaksaan sistem simbolis dan makna (misal kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sehingga tampak sebagai sesuatu yang sah. Dengan adanya legitimasi (misal top-down system) menyebabkan pemaksaan tersebut dapat berhasil. Dengan diterimanya kebudayaan tersebut di kalangan tertentu menyebabkan adanya reproduksi sistematis pada kelompok.
Inti kekerasan simbolis adalah tindakan pedagogis. Setidaknya ada tiga mode pendidikan; pendidikan yang tersebar (misal pendidikan dengan kelompok umur tertentu), pendidikan keluarga, pendidikan institusional (misal ritual inisiasi, sekolah dan sebagainya). Tindakan pedagogis mencerminkan kepentingan kelompok atau kelas dominan kecenderungan mereproduksi distribusi modal budaya secara tidak merata antar kelompok atau kelas yang hidup dalam satu ruang sosial sehingga mereproduksi struktur sosial.
Otoritas pedagogis adalah prasyarat keberhasilan tindakan pedagogis. Otoritas adalah kekuasaan arbitrer untuk bertindak tanpa disadari oleh pelaku dan penganutnya sebagai sesuatu yang legitimate. Otoritas pedagogis bersifat fundamental sehingga sering dianggap sebagai hubungan ilmiah atau primordial antara anak dan orang tua. Seseorang yang menjalankan tindakan pedagogis seringkali bersifat otoritatif ketika dia memegang mandat dari kelompok yang memaksakan kearbitreran budaya.
Kekerasan simbolik bukan saja bentuk dominasi yang diterapkan melalui media komunikasi atau bahasa, tapi ia merupakan penerapan dominasi sedemikan rupa sehingga praktik dominasi itu diakui secara salah (misrecognized) dan meskipun demikian ia diakui (recognized) sebagai sesuatu yang sah (legitimate) (Bourdieu, 1990:183-197). Karena itu, kekerasan simbolik yang mengambil bentuk yang sangat halus ini tidak ada mengundang resistensi dikarenakan ia sudah mendapatkan legitimasi sosial.
“Symbolic violence, according to Bourdieu, is the imposition of systems of symbolism and meaning (i.e. culture) upon groups or classes in such a way that they are experienced as legitimate. This legitimacy obscures the power relations which permit that imposition to be succesfull. Insofar as it is accepted as legitimate, culture adds its own force to those power relations, contributing to their systematic reproduction. This is achieved through a process og misrecognition: ‘the process whereby power relations are perceived not for what objectively are but in a form which renders legitimate in the eyes of the beholder.” (Jenkins, 1992:104).
Bagaimana kekerasan simbolik dijalankan? Mekanisme beroperasinya kekerasan simbolik mengambil dua cara. Pertama, melalui cara eufemisasi (euphemization) yaitu menjadikan kekerasan simbolik tidak kelihatan, berlangsung secara lembut, serta mendorong orang untuk menerima apa adanya. Biasanya cara ini berlangsung dengan melembutkan ekspresi, wacana atau bahasa ke dalam bentuk-bentuk filosofis yang bersifat abstrak. Cara kedua yaitu mekanisme sensorisasi (cencorship). Mekanisme ini beroperasi bukan hanya di dalam produksi wacana oral sehari-hari, tetapi juga berhubungan dengan produksi wacana ilmiah yang dibangun dalam teks tertulis (Bourdieu, 1991:18). Tujuannya ialah untuk menentukan apa yang boleh dikatakan dan apa yang tidak boleh dikatakan dalam rangka pelestarian “nilai-nilai utama”. “The need for this cencorship to manifest itself in the form of explicit prohibitions, imposed and sanctioned by an institutionalized authority”, ujar Bourdieu.
Akhir Cerita
Pada ranah politik hampir tidak ada rejim kekuasaan, bahkan yang paling antidemokrasi, yang tidak memoles diri sebagai rejim demokrasi. Dari sejarah, kita dapat belajar, demokrasi bukan sistem politik instan, yang akan terwujud begitu dikehendaki. Dunia Barat sejak mengenal demokrasi berulang kali mengalami kemunduran dalam menerapkannya. Setelah enam abad demokrasi, di Yunani, kemudian di Roma, kemunduran terjadi dalam bentuk kekaisaran. Sejak itu, para diktator silih berganti memerintah rakyatnya dengan tangan besi. Padahal, sudah berganti generasi mereka terbiasa berdebat bersama tentang apa yang hendak dicapai dalam kehidupan sosial politik. Ternyata, tradisi itu tidak cukup untuk melindungi mereka dari kecenderungan menggunakan kekerasan.
Namun saat ini dinamika sosial, ekonomi dan politik berubah secara radikal dalam mekanisme reproduksi kekuasaan. Penguasaan atas simbol dan politik pencitraan telah menjadi modus baru dalam praktik kekerasan simbolik yang bekerja secara efektif ketika yang didominasi merasakan ketidaktahuan sekaligus mengakuinya. Karena itu, menurut Bourdieu, kekerasan simbolik beroperasi lewat prinsip simbolik yang diketahui dan dikenali oleh kedua belah pihak, yaitu yang mendominasi dan yang didominasi. Entah itu bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara berbicara, bahkan cara bertindak sekalipun (Bourdieu, 2001:2).
Sehingga rakyat menjadi tidak peduli dengan segala tipu daya dan intimidasi oleh rejim politik yang menjalankan kekerasan simbolik. Rakyat akhirnya menjadi jinak (docile) dengan simpang siurnya demagogie (wacana politik untuk tujuan "mengobok-obok", memancing, serta mengeksploitasi hasrat dan perasaan massa), kebohongan, kemunafikan, manipulasi, dan provokasi.
Kekerasan simbolik itu selalu mengandaikan bahasa sebagai alat efektif untuk melakukan “dominasi terselubung”. Karena bahasa sebagai sistem simbolik tidak saja dipakai sebagai alat komunikasi, tapi juga berperan sebagai instrumen kekuasaan dengan memanfaatkan mekanisme kekerasan simbolik. Bourdieu mengajarkan kepada kita untuk selalu curiga terhadap bahasa, konsep, wacana, tanda, slogan, ataupun simbol lainnya yang diproduksi oleh kelas dominan. Lewat kekuasaan simbol pula lah dunia ini ditafsirkan, dinamakan, dan didefinisikan untuk menggirng kelas sub-dominan kepada pengakuan serta penerimaan terhadap pandangan dunia mereka yang bermodal besar.
Daftar Literatur
Abrahamsen, Rita, Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa Dalam Wacana Pembangunan, Yogyakarta, Lafadl, 2004.
Adlin Alfathri, Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, Yogyakarta, Jalasutra, 2006.
Bourdieu, Pierre, The Algerians, Boston: Beacon Press, 1962.
_____________, Distinction, London, Routledge, 1984.
_____________. Homo Academicus, Cambridge, Polity Press, 1984.
_____________, The Logic of Practice, Stanford-Calif, Stanford University Press, 1990.
_____________, In Other Words: Essays Towards a Reflexive Sociology, Cambridge, Polity Press, 1990.
_____________, Language & Symbolic Power, Cambridge, Polity Press, 1991.
_____________, Acts of Resistance, New York, The New Press, 1998.
_____________, Masculine Domination, Stanford-Calif, Stanford University Press, 2001.
_____________, Jurnalisme Di Televisi, Yogyakarta, Kalamakara, Freedom Press & AKINDO, 2002.
Bourdieu, Pierre & Wacquant, Loic, An Invitation to Reflexive Sociology, Chicago, The University of Chicago Press, 1992.
Chomsky, Noam, Perspective On Power, Montreal/New York-London, Black Rose Books, 1997.
Coulon, Alain, Etnometodologi, Jakarta, Lengge, 2004.
Edgar, Andrew & Sedgwick, Peter, Cultural Theory The Key Concepts, London & New York, Routledge, 2002.
Fashri, Fauzi, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu, Jogjakarta, Juxtapose, 2007
Giddens, Anthony, Central Problems in Social Theory, Berkeley & Los Angeles, University oc California Press, 1979.
Jackson, Karl D. and Pye, Lucian W., Political Power and Communications in Indonesia, Berkeley-Los Angeles-London, University of California Press, 1978.
Jenkins, Richard, Pierre Bourdieu, London & New York, Routledge, 1992.
Lane, Jeremy F., Pierre Bourdieu: A Critical Introduction, London-Sterling-Virginia, Pluto Press, 2000.
Ritzer, George, Modern Sociological Theory, New York, The McGraw-Hill Companies, INC., 1996.
Ricouer, Paul, Hermeneutics and The Human Sciences, Cambridge, Cambridge University Press, 1981.
Said, Edward, Orientalism, New York, Vintage Books, 1979.
Sherman, Arnold K., Kolker, Aliza, The Social Bases of Politics, California, Wadsworth Publishing Company, 1987.
Spillman Lyn, Cultural Sociology, Massachusetts-Oxford, Blackwell, 2002.
Sutanto, Irzanti dan Harapan, Ari Anggari (Ed), Prancis dan Kita: Strukturalisme, Sejarah, Politik, Film, dan Bahasa, Jakarta, Edatama Widya Sastra, 2003.
Swartz, David, Culture & Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, Chicago & London, The University of Chicago Press, 1997.