Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Wasiat Suci Ukiran Toraja: Simbol Kebesaran Budaya dan Kebijaksanaan Spiritual

7 Mei 2024   11:33 Diperbarui: 7 Mei 2024   11:49 570 2
Ukiran tradisional Suku Toraja adalah maha karya seni visual yang indah sekaligus merupakan jendela ke dalam budaya dan kearifan spiritual masyarakat Toraja. Di balik setiap goresan dan motif yang rumit, terdapat filosofi yang kaya akan makna, mengajarkan kita untuk melihat dunia melalui perspektif budaya yang berbeda dan memperdalam pemahaman kita akan hubungan antara manusia, alam, dan dunia spiritual serta dapat mengungkap rahasia rahasia yang terkandung dalam karya seni ini. Sebelum kita lanjut siapkan secangkir kopi hangat apalagi kalau itu kopi Toraja, hmm mantaap karena kita akan menjelajahi kekayaan makna spiritual dalam setiap goresannya... Ayo kita mulai...

Warisan adat istiadat Toraja

Saba' ada'ri anta ditandai,
Belanna sangka' anta dipelele

(Karena adat kita dikenal sebab budaya tradisi kita menjadi Masyhur)
Bermukim di wilayah pegunungan Sulawesi Selatan, Suku Toraja memiliki sejarah budaya adat istiadat yang kaya dan beragam. Salahsatunya adalah ukiran, seni ukir ini tidak hanya mengekspresikan keindahan visual tetapi juga sebagai sarana menghormati leluhur, alam sekitar maupun dalam bentuk metafisik
Atau ringkasnya sebagai alat untuk menjaga keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos terlebih relasi manusia dan Sang Pencipta, Hal ini dapat dilihat penggunaannya pada upacara upacara adat rambu tuka' maupun Rambu Solo'.
Ukiran ukiran ini seringkali dipercaya memiliki kekuatan magis dan dapat melindungi pemilik ukiran dari energi negatif atau menetralkan aura negatif menjadi positif.
Hal penting lainnya yang perlu dicatat bahwa ukiran Toraja menyiratkan strata sosial pemiliknya sehingga dengan melihat goresan ukiran pada rumah adat, rumah pribadi atau barang dan aksesoris lainnya dapat diidentifikasi status sosial pemilik ukiran tersebut dan dapat diidentifikasi nilai barang atau pusaka yang dilapisi ukiran tertentu.
Karya seni ukiran tidak sedikit mengalami gesekan pengaruh dari luar namun masyarakat Toraja tetap mempertahankan identitas budaya mereka yang khas dan tradisi warisan leluhurnya dengan demikian
Ukiran Tradisional Toraja tetap menjadi simbol kekayaan budaya dan warisan spiritual yang tak ternilai harganya di Nusantara Indonesia.

Asal mula ukiran Toraja

Pada tradisi lisan yang diyakini suku Toraja bahwa pada awalnya ketika rumah tongkonan hendak dibangun maka para Pande (Ahli) beserta dengan pemangku aluk (Tominaa) bermusyawarah untuk membuat sebuah rumah adat tongkonan dengan arsitektur rumah tongkonan pertama yang berada di langit maka disepakati untuk mengutus para tukang dan abdi masuk kedalam hutan untuk menebang kayu sesampainya didalam hutan mereka bertanya kepada kayu tersebut "Kayu apate" (kayu apa nama kamu) dan tiba tiba pohon itu menjawab "Akumo kayu nangka' sinangkangan ulli' to matemu" (aku ini pohon nangka dan orang mati akan bergelimpangan) mendengar jawaban kayu nangka tersebut mereka melanjutkan mencari kayu yang lain dan didapatkanlah sebuah kayu uru, namun ketika mereka bertanya kepadanya maka pohon tersebut menjawab "akumo kayu uru, sirrukan toumbating" ( saya ini pohon uru dan semua orang akan meratap sedih).
Para tukang dan hamba ini kembali melaporkan pa yang merek alami didalam hutan kepada para sesepuh dan pemangku aluk adat dan kembali mereka bermusyawarah. Nyatalah bahwa faktor kegagalan mereka mengambil kayu untuk bahan bangunan dalam hutan karena sebelumnya mereka tidak melakukan upacara penghormatan dan memberi sesajian kepada dewa pemilik hutan yang disebut "umpamamata lalanna atau ma'kolikan biang". Mereka kemudian memala' (memberi sesajian) dan kembali ke hutan. Sesampainya disana  
Tukang menanyakan kembali namanya kepada pohon itu dan dijawabnya "akumo kayu nangka' lasinangkangan eananmu" yang berarti akulah kayu nangka, hartamu akan berlimpah, setelah mengatakan hal yang demikian maka ditebanglah kayu tersebut dan kemudian berpindah ke kayu uru dan jawaban dari kayu itu " akumo disanga kayu uru, lasiuruan bai tora" yang bermakna akulah kayu uru, babimu akan banyak, besar dan bertaring. Kayu tersebut langsung ditebang begitupun seterusnya kayu kayu yang lain hingga dapat untuk bahan satu rumah tongkonan. Keesokan hari ketika mereka hendak melanjutkan menebang pohon ternyata kayu kayu tersebut sudah siap dibuat rumah. Pekerjaan itu dilakukan oleh seorang pintar nan sakti bernama pong Kalolok. Namun karena rasa iri kepada Pong Kalolok maka dia dibunuh karena dianggap saingan.
Sesudah itu mereka melanjutkan mengerjakan kayu yang lain. Siang hari datanglah wanita pembawa bekal sambil duduk diatas papan yang sudah dibentuk, tiba tiba wanita itu haid dan meleleh diatas kayu yang didudukinya. Ketika para tukang melanjutkan pekerjaannya mereka melihat darah pada kayu yang diduduki wanita tadi siang membentuk goresan goresan indah dan kemudian mereka memindahkan dengan UKIRAN pada papan lain sesuai goresan darah haid wanita. Konon darah haid wanita itu mirip kepala kerbau.
Muncullah inspirasi para tukang ukir untuk mengukir rumah dan dikembangkan dengan ukiran hasil pengamatan mereka pada alam sekitar seperti matahari maka diukirlah Pa'barre Allo, ayam jantan pada pa'manuk londong. Akhirnya ditetapkanlah dasar ukiran (Garonto' Passura')  menjadi empat jenis antara lain :


1. Pa' Tedong
2. Pa' Barre Allo
3. Pa' Manuk Londong
4. Pa'sussun (Pa'sussu')

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun