Uang Kuliah Tunggal (UKT) adalah sistem pembayaran biaya kuliah dan memainkan peran yang sangat penting dalam pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia. UKT bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pendidikan.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 25 Tahun 2020 mengatur Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) yang menjadi dasar penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Pasal 2 ayat (3) menyatakan bahwa SSBOPT menjadi acuan untuk menentukan UKT. Sumber pendapatan utama PTN untuk biaya operasional ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Peraturan ini memastikan penetapan biaya pendidikan di PTN sesuai dengan standar yang konsisten dan adil.
Namun, alokasi Anggaran Pendidikan hanya sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dianggap tidak cukup untuk membiayai pendidikan tinggi di kampus. Apakah kondisi ini mendorong perguruan tinggi melakukan penyesuaian dengan menaikkan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) ?.
Isu ini memunculkan dua pandangan yang bertolak belakang: apakah kenaikan UKT merupakan investasi yang diperlukan untuk meningkatkan dan perbaikan kualitas pendidikan, atau justru eksploitasi yang membebani mahasiswa dan keluarga mereka?
Kenaikan UKT dapat dilihat dari dua perspektif. Sebagai investasi, kenaikan UKT dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan fasilitas kampus, yang pada gilirannya memberikan manfaat jangka panjang bagi mahasiswa. Namun, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang memastikan aksesibilitas bagi semua kalangan, kenaikan UKT lebih cenderung menjadi eksploitasi.Â