Tokoh 1: Janya (Gadis, 23 tahun)
Tokoh 2: Kisa (Ibunya, 49 tahun)
Tokoh 3: Liben (Bapaknya, 52 tahun)
Tokoh 4: Nera (Adiknya, 18 tahun)
Tokoh 5: Taksa (Peneliti. Pria yang mendekati Janya, 25 tahun)
Tokoh 6: Labia (Warga Desa, 35 tahun)
Latar tempat: Desa Kurulu, Lembah Baliem, Pegunungan JayaWijaya, Wamena, Provinsi Papua Pegunungan.
Lembah Baliem terletak di lipatan Pegunungan Jaya Wijaya, Provinsi Papua Pegunungan, yang menjadi panggung bagi kisah epik menyentuh kehidupan Janya, seorang gadis muda dengan pandangan mata yang memeluk luasnya langit di ufuk timur. Desa kecil nan cantik tempatnya bertumbuh bernama Desa Kurulu. Desa tersebut seperti sebuah berlian tersembunyi di lipatan atau putaran alam yang tak terjamah, menjadi saksi bisu akan perjalanan cinta dan cobaan yang mengguncang fondasi batin dan fisik mereka.
Janya adalah gadis yang tinggi berkulit coklat. Batinnya penuh dengan impian dan semangat. Memandangi bintang-bintang yang bermandikan sinar malam di lembahnya. Bapaknya Liben adalah seorang pemimpin adat yang mendalami kebijaksanaan alam yang mengajarkan tentang keharmonisan dengan lingkungan dan penghormatan pada leluhur. Ibunya, Kisa pemberi nasihat dengan kelembutan seorang ratu bijak yang menatap masa depan melalui mata hati. Adiknya yang muda, Nera yang menatap dunia dengan mata kecil yang dipenuhi keingintahuan dan gairah.
Dalam pagi yang disapa kehangatan sinar matahari di Desa Kurulu, Lembah Baliem memeluk keindahan di lipatan Pegunungan Jaya Wijaya. Janya adalah gadis muda dengan pandangan mata yang memeluk luasnya langit di ufuk timur, memulai hari dengan penuh semangat.
Janya: “Di pagi yang cerah ini, langit tampaknya berbicara ya pak?”
Liben: “Ya, Janya. Alam ini memiliki kebijaksanaannya sendiri. Seperti leluhur kita yang mendalami keharmonisan dengan lingkungan.”
Janya: “Impian dan semangat penasaranku semakin membesar, seperti bintang-bintang yang bermandikan sinar malam di lembah ini.”
Kisa: “Selamat pagi, anak-anak ku. Matahari membawa pesan kebijaksanaan alam yang tetap bersemi di hati kita.”
Janya: “Terima kasih, Ibu. Nasihatmu, lembut seperti belahan matahari pagi, selalu membimbing langkahku.”
Nera: “Kakak, apa rencanamu hari ini?”
Janya: “Pagi, adikku. Mungkin kita bisa menjelajahi lembah ini lagi, menemukan cerita baru yang tertulis di antara dedaunan dan sungai.”
Liben: “Keluarga kita adalah fondasi yang kuat. Mari kita bersama menjalani perjalanan cinta dan cobaan di Desa Kurulu.”
Janya: (mengangguk) “Bersama, kita merajut kisah indah di lembah ini, di bawah langit yang tak pernah berhenti bercerita.”
Namun, suatu pagi, ketika kabut tipis masih menyelimuti lembah, datanglah seorang. Taksa, seorang peneliti dengan mata penuh kekaguman pada keanekaragaman alam di Pegunungan Jaya Wijaya, muncul di tengah kehidupan sehari-hari Janya. Mata mereka bertemu di pelataran pendopo Desa Kurulu , takdir terjalin dalam garis kehidupan yang kini saling bersilangan.
Janya: “Pagi yang sunyi dan tenang, apa yang bisa kulakukan ya pagi ini?” (Sambil berdiri di pelataran pendopo Desa Kurulu, memandang kabut yang menyelimuti lembah)
Taksa: (muncul dari balik kabut menuju pendopo Desa Kurulu, langkahnya penuh keyakinan dan matanya tertarik ingin berkenalan kepada Janya.) “Halo Selamat pagi Nona, Nama saya Taksa bolehkah saya duduk disini?.”
Janya: (mengangkat alis, sedikit terkejut) “Selamat pagi Taksa, boleh silahkan. Perkenalkan nama saya Janya.”
Taksa: “Baik Janya, salam kenal ya.”
Janya: "Rupanya engkau adalah pengunjung yang datang dari luar, bukan? Ini kali pertama saya menyaksikan kehadiranmu."
Taksa: (menghadap Janya dengan senyum misterius) “Saya seorang peneliti yang terpesona oleh keanekaragaman alam di Pegunungan Jaya Wijaya. Saya mendengar cerita indah tentang Desa Kurulu, dan saya ingin melihatnya dengan mata kepala sendiri.”
Janya: (tersenyum, menghormati) “Desa kami mungkin sederhana, tapi kami selalu menyambut tamu dengan hati terbuka. Bagaimana Anda bisa menemukan jalan ke sini?”
Taksa: (mengelilingi pelataran) “Alam ini adalah navigasi terbaik. Setiap desa adalah cerita yang menarik, dan Desa Kurulu sepertinya memiliki bab yang ingin saya jelajahi. Mungkin takdir yang membawa saya ke sini.”
Janya: (memandang Taksa dengan tajam) “Mata Anda penuh dengan kekaguman dan rahasia. Apa yang membuat Anda begitu tertarik pada keanekaragaman alam di sini?”
Taksa: (tersenyum, memberi petunjuk tanpa memberi banyak jawaban) “Alam adalah guru terbaik, dan Pegunungan Jaya Wijaya memiliki pelajaran yang tak terhitung jumlahnya. Saya berusaha mencari kebijaksanaan dalam setiap detailnya.”
Janya: (mengangguk mengerti) “Saya paham. Kami sangat menghargai keindahan alam di sini. Semoga Desa Kurulu memberi Anda pengalaman yang tak terlupakan.”
Taksa: (mengangguk tanda terima kasih) “Terima kasih, Janya. Saya merasa beruntung bisa berada di sini. Siapa tahu, mungkin takdir akan membawa kita pada perjalanan yang belum terungkap.”
Janya tersenyum, dan dari senyum itu, tumbuhlah benih pertemanan dan sesuatu yang lebih dalam di antara mereka. Dialog di antara perbincangan dan petualangan, Janya pun mengajak Taksa kerumahnya.
Keluarga itu menyambut Taksa dengan hati terbuka. Sebuah kapal asing berlabuh di lembah, membawa cerita-cerita dari dunia luar yang belum pernah mereka lihat. Taksa pun mulai dekat dengan keluarga Janya.
Janya: (tersenyum) Taksa, bagaimana kalau kamu datang ke rumahku besok? Aku ingin memperkenalkanmu pada keluargaku.
Taksa: (tersenyum balik) Tentu saja, Janya. Aku sangat ingin mengenal keluargamu.
Esok harinya. Taksa diajak lanya ke rumahnya. Keluarga Janya menyambut Taksa dengan hangat, seakan sebuah kapal asing vang membawa cerita-cerita baru telah berlabuh di lembah mereka.
Liben: Selamat datang, Taksa. Rumah kami terbuka untukmu
laksa: Terima kasih. Pak Liben, Sava merasa senang bisa berada di sini.
Perbincangan dan petualangan bersama membuat benih pertemanan tumbuh di antara mereka.
Malam pun tiba, dan mereka berkumpul di sekitar api unggun. Suara nyanyian keluarga dan riak api menyatu, menciptakan suasana keakraban. Taksa bercerita tentang kehidupan di luar desa, tentang hutan-hutan yang berbicara, sungai yang bernyanyi, dan keanekaragaman hayati yang tak terhingga.
Malam berkungkai bintang, keluarga berkumpul di sekeliling api unggun.
Taksa: “Suasana keakraban tercipta dengan nyanyian keluarga dan riak api malam.”
Liben: Ceritakanlah tentang kehidupan di luar desa, Taksa. Tentang hutan dan sungai.
Taksa: Hutan-hutan berbicara, sungai bernyanyi, dan keanekaragaman hayati yang tak terhingga.
Janya: (terpikat) Bagaimana kita bisa menyelami keindahan itu?
Liben: (menatap langit) Anakku, jangan lupa asal-usul kita, tapi juga jelajahi dunia ini dengan mata dan hati yang terbuka.
Nera: (antusias) Aku ingin menjelajahi dunia, seperti sungai yang bebas mengalir.
Kisa: (senyum) Semoga keluarga ini selalu bersatu dalam menjalani perjalanan cinta dan cobaan di bawah langit malam yang penuh cerita.
lanya: (sambil tersenyum) Terimakasih. Taksa. Kamu membawa keajaiban baru ke dalam hidun keluarga kami.
Malam berlanjut, dengan cerita-cerita dari unia luar yang memberikan warna baru pada lembah mereka.
Dialog dan tukar pikiran ini menjadi simfoni kehidupan, sebuah harmoni yang melibatkan seluruh desa. Taksa, yang awalnya hanya seorang peneliti, menjadi bagian dari kehidupan mereka. Janya dan Taksa, seperti dua bintang yang saling berputar, semakin terikat satu sama lain dalam perjalanan hidup yang diukir oleh takdir.
Namun, sebuah cobaan menanti mereka ketika alam memutuskan untuk menguji kekuatan dan keberanian. Hujan deras yang melanda, banjir yang merendam, dan suara gemuruh dari pegunungan membuat desa terancam. Keluarga Janya bersama warga desa lainnya menyatukan tenaga untuk melawan arus deras dan menyelamatkan apa yang mereka cintai.
Namun, sebuah cobaan menanti mereka ketika alam memutuskan untuk menguji kekuatan dan keberanian.
Janya: "Hujan ini sangat deras, kita harus segera bertindak!"
Labia : "Banjir semakin meningkat, apa yang harus kita lakukan?"
Janya: "Kita perlu menyatukan tenaga! Mari kita bantu satu sama lain dan melawan arus ini bersama."
Labia: "Suara gemuruh dari pegunungan membuat situasinya semakin sulit."
Janya: "Kita tidak bisa menyerah! Bersama-sama, kita bisa melawan alam ini dan menyelamatkan desa kita."
Labia : "Mari kita tunjukkan kekuatan solidaritas dan keberanian kita!"
Mereka pun bersatu, menghadapi cobaan alam dengan keberanian, dan berhasil melawan arus deras untuk menyelamatkan desa yang mereka cintai.
Janya dan Taksa, dalam perjalanan evakuasi, tidak hanya membawa keberanian, tetapi juga membawa cinta yang semakin berkembang di dalam hati mereka. Suara-suara dialog dan kalimat-kalimat penuh perhatian saling terdengar di antara suara gemuruh air dan kicauan burung hutan yang panik.
Janya dan Taksa, bersama dengan warga desa lainnya, menjadi pahlawan di perjalanan evakuasi. Di tengah tantangan alam yang mematikan, tidak hanya keberanian yang mereka bawa, tetapi juga cinta yang semakin berkembang di dalam hati mereka.
Janya, sambil membantu Taksa menaiki perahu, tersenyum padanya.
Janya: "Kita bisa melalui ini bersama-sama, Taksa. Keberanianmu menginspirasi saya."
Taksa: "Dan keberanianmu juga, Janya. Tapi, ada sesuatu yang lebih, bukan?"
Janya memandang Taksa dengan penuh kehangatan.
Janya: "Ada cinta di antara kita, Taksa. Cinta untuk desa ini, untuk keluarga kita, dan mungkin juga untuk satu sama lain."
Taksa tersenyum, merasa kehangatan cinta di tengah dinginnya air banjir.
Taksa: "Suara gemuruh alam ini mungkin menakutkan, tapi suara hati kita saling terdengar di antara semua ini."
Sambil melanjutkan perjalanan evakuasi, suara-suara dialog mereka, penuh perhatian dan kehangatan, saling bersahutan dengan suara gemuruh air dan kicauan burung hutan yang panik di sekitar mereka.
Janya dan Taksa tidak hanya menyelamatkan desa mereka dari bahaya alam, tetapi juga menemukan cinta yang semakin berkembang di dalam hati mereka di tengah-tengah kekacauan dan keberanian yang mereka alami bersama.
Di tengah kekacauan itu, ibu Kisa terperangkap di dalam rumah yang hampir tenggelam. Janya dan Taksa bersama-sama merentangkan tangan membantu, menciptakan momen ketika kekuatan dan keberanian berpadu.
Janya dan Taksa, di tengah kekacauan evakuasi, mendengar teriakan dari arah rumah ibu Kisa yang hampir tenggelam. Tanpa ragu, mereka berdua berlari mendekat dan menemukan ibu Kisa dalam situasi sulit.
Janya: "Ibu Kisa, kita di sini untuk membantu! Mari pegang tanganku."
Taksa: "Kita akan keluar dari sini bersama-sama, jangan khawatir."
Mereka berdua merentangkan tangan mereka ke arah ibu Kisa yang cemas di dalam rumah yang hampir terendam air.
Ibu Kisa: "Terima kasih, anak-anak. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan tanpa bantuan kalian."
Janya: "Kita adalah satu keluarga, Ibu Kisa. Bersama-sama, kita bisa mengatasi ini."
Taksa: "Sekarang, pegang erat tangan kami. Kita akan melalui air bersama-sama."
Di tengah momen ini, di antara air yang deras dan gemuruh alam, kekuatan, keberanian, dan cinta bersatu. Ibu Kisa, Janya, dan Taksa saling bergandengan tangan, menciptakan gambaran tentang solidaritas dan ketangguhan yang muncul di tengah bencana alam.
Setelah berhasil menyelamatkan Kisa, mereka semua berkumpul di tempat yang lebih tinggi, menatap ke bawah ke lembah yang kini tergenang air.
Janya: "Kita akan membangun kembali desa ini, bersama-sama." (menatap masa depan dengan keyakinan.)
Taksa: "Kejadian ini mengajarkan kita tentang kekuatan persatuan dan cinta. Saya akan membantu dalam rekonstruksi desa ini."
Kisa: “Terima kasih, Kalian adalah secerca harapan bagi desa ini. Semoga dengan tekad dan semangat kalian, bisa membangun kembali desa yang indah ini.”
Dari reruntuhan dan air bah itu, muncullah kehidupan baru. Hari-hari berlalu, dan desa itu pulih dari cobaan alam. Lembah Baliem, yang dulu bersinar dengan ketenangan, kini bersinar dengan semangat perjuangan dan cinta. Janya dan Taksa tetap bersama, menjalin cerita hidup yang menjadi kisah di Pegunungan Jaya Wijaya, mengajarkan tentang kekuatan cinta, kebersamaan, dan ketahanan dalam menghadapi cobaan hidup.