Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Dinamika Islam dalam Politik Kebangsaan

2 Agustus 2022   23:05 Diperbarui: 2 Agustus 2022   23:10 257 3
Abstrak
Politik merupakan bagian dari kehidupan manusia. Namun demikian, yang eksistensinya bersifat strategis dan sangat fundamental bagi peradaban. Karena politik adalah instrument untuk memberdayakan masyarakat dan mewujudkan lahirnya suatu bangsa, negara dan kekuasaan. Eksentasi politik bersifat strategis dan sangat fundamental. Karenanya, manusia tidak dapat lepas dari pengaruh cengkraman bangsa, negara, dan kekuasaan.
Dengan demikian untuk membangun dan mengembangkan yang namanya peradaban umat manusia di dunia ini, berdasarkan territorial, kawasan, dan tempat tinggalnya masing-masing, maka manusia atau masyarakatnya haruslah berupaya semaksimal mungkin untuk membangun bangsa, negara dan kekuasaannya secara baik, benar, proporsional dan bersinergi. Itulah sebabnya, syair lagu Indonesia Raya, dilantunkan beberapa bait kalimat yang menyatakan "bangunlah jiwanya (maksudnya: bangsanya), bangunlah badannya (maksudnya: negaranya), untuk Indonesia raya (maksudnya: kekuasaannya, dalam artian Indonesia yang besar, berpengaruh, berkuasa atau berdaulat)".
Dalam praktiknya antara Politik dan Hukum memang sulit dipisahkan, karena setiap suatu rezim yang sedang berkuasa disetiap negara punya "politik hukum" sendiri dalam melaksanakan konsep tujuan pemerintahannya khususnya yang berhubungan dengan pembangunan dan kebijakan-kebijakan politiknya baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Maka jangan heran jika di negeri ini begitu terjadi pergantian pemerintahan yang diikuti adanya pergantian para Menteri maka aturan dan kebijakan yang dijalankannya juga ikut berganti, dan setiap kebijakan politik harus memerlukan dukungan berupa payung hukum yang merupakan politik hukum dari kekuasaan rezim yang sedang berkuasa agar rezim tersebut memiliki landasan yang sah dari konsep dan strategi politik pembangunan.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji peran masyarakat dalam dinamika masyarakat islam dalam politik kebangsaan. Dalam metode penelitian ini kami menggunakan penelitian kualitatif yang menggunakan studi literatur yang berasal dari jurnal dan lain-lain.
Kata kunci : politik, masyarakat islam, kebangsaan











Pendahuluan
Pemerintahan menggangap bahwa agama memiliki kedudukan dan strategis serta memiliki peran penting dalam bangsa dan negara. Peran utama agama yaitu sebagai landasan spiritual, moral dan juga etika dalam pembangunan nasional. Agama merupakan sistem nilai yang semestinya sudah dipahami dan diamalkan oleh setiap individu yang akhirnya dapat menjadi jiwa kehidupan bangsa dan negara.
Pada pemerintahan masa orde lama yaitu sekitar tahun 1945 sampai dengan tahun 1965 diberikan tugas oleh UUD 1945 untuk membuat suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional. Maka dari itu, sejarah mencatat bagaimana pemerintahan orde lama sampai dengan orde baru memberikan pemikiran serta tenaga terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan agama islam. Artikel ini dengan segala kekurangannya, ditujukan untuk mengetahui peran masyarakat islam dalam politik kebangsaan.
Dalam sejarah Indonesia, Islam merupakan suatu kekuatan yang sangat berperan dalam perlawanan menentang penjajah. Islam pada masa itu merupakan salah satu garda terdepan dalam mengusir penjajahan. Dalam rangka mengusir penjajahan tersebut diperlukan alat organisasi sebagai penyatu aspirasi dan tujuan. Maka tercatatlah berdirinya Sarekat Islam (SI), organisasi pertama kekuatan politik yang anggotanya terbanyak di antara organisasi-organisasi pergerakan lainnya.
Pada pemilu pertama, kekuatan politik islam terpecah belah yang menyebabkan kekuatan partai Islam menjadi melemah. Melemahnya partai islam nampaknya mengakibatkan Islam politik menjadi terpinggirkan. Politik Islam dalam rangkaian percaturan politik di masa-masa awal kemerdekaan sampai masa orde baru lebih banyak berorientasi pada masalah ideologi negara. hal ini menyebabkan politik Islam cendrung dianggap mengganggu stabilitas politik, dan karena itu menghambat pembangunan. Konsekuensinya adalah partai Masyumi di bubarkan dan partai-partai Islam tidak banyak mendapat dukungan.
Dengan melemahnya kekuatan politik umat Islam muncul para pembaharu muda yang menawarkan sebuah gerakan pembaharuan Islam dari dimensi ritual dan kemasyarakatan. Gerakan ini yang disebut gerakan Islam kultural yang menawarkan wacana bahwa gerakan Islam tidak harus berkutat dalam bidang politik, tetapi dalam wilayah kultural. Dengan hadirnya gerakan Islam kultural ini maka Islam hadir sebagai nilai-nilai dan sumber etik. Namun bukan berarti mengosongkan kesadaran umat dari dunia politik. Dalam konsep Islam Kultural, kekuatan politik bukanlah satu-satunya alternatif bagi perjuangan Islam di Indonesia tetapi juga terdapat sarana lain bagi keberhasilan perjuangan tersebut antara lain melalui dakwah, pendidikan, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.






Isi
Hubungan Islam dan politik di Indonesia senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Umat Islam sebagai penduduk mayoritas merasa perlu untuk berpartisipasi aktif di bidang politik. Aspirasi Muslim terhadap politik memiliki sejarah dan jejak perkembangan yang panjang dalam pentas perpolitikan Indonesia, dari masa kerajaan Islam hingga Era Reformasi. Islam politik merupakan Islam yang berusaha di wujudkan dan di aktualisasikan dalam bentuk kekuasaan atau dalam kelembagaan politik resmi, khususnya dalam bidang pemerintahan baik itu legislatif mapun yudikatif.
Pemisah antara Islam politik dan Islam kultural adalah kebijaksanaan yang dianjurkan oleh pakar Islam seperti C. Snouck Hurgronje kepada pemerintahan pada saat itu, yaitu agar pemerintahan Hindia Belanda membiarkan Islam ibadah, tetapi malah menghalangi Islam politik. Pada saat itu, pemerintah Belanda malah turut membantu masyarakat Islam, antara lain bentuk bentuk bantuannya membangun Masjid di Palembang dan Kota Raja dan lain-lain. Mereka malah melarang gereja didirikan di Aceh dan Banten. Dan juga mengenai perjalanan ibadah haji, yang pada saat itu dipersulit, dengan nasehat C. Snouck Hurgronje bisa dipermudah oleh pemerintahan Belanda pada saat itu.
Secara teoritis dalam pemikiran politik Islam terdapat tiga paradigma tentang masalah hubungan agama dengan Negara. Pertama, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan (integrated). Kedua, Paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan sesuatu yang saling berkaitan dan berhubungan (simbiotik). Ketiga, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan suatu yang harus terpisah (sekularistik). Kemunculan partai-partai Islam di indonesia merupakan representasi dari umat Islam yang bergerak dalam bidang politik. Beberapa partai politik islam yang pernah ikut dalam pergulatan politik di Indonesia diantaranya: Pertama, partai politik di masa-masa awal kemerdekaan yang diwakili oleh Masyumi dan NU pada pemilu 1955. Selanjutnya pada pemilu 1971 diwakili oleh Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (PMI) Partai Islam (PERTI).

Genealogi Perkembangan Politik Islam di Indonesia

Relasi Islam dan politik di Indonesia senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Umat Islam sebagai penduduk mayoritas merasa perlu untuk berpartisipasi aktif di bidang politik. Aspirasi Muslim terhadap politik memiliki sejarah dan jejak perkembangan yang panjang dalam pentas perpolitikan Indonesia, dari masa kerajaan Islam hingga Era Reformasi. Namun di bawah ini penulis membatasi perkembangan sejarah politik Islam hingga masa Orde Baru untuk mengantar pada pembahasan mengenai Islam kultural dan kembali munculnya politik islam di era transformasi:

1. Masa Pra-Kemerdekaan
Kedatangan Belanda di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 menjadi babak pembuka penderitaan bangsa Indonesia. Beralihnya motif Belanda dari kepentingan ekonomi menjadi kolonialisasi di abad ke-17 sampai abad ke-18, memunculkan berbagai reaksi dari penduduk pribumi. Berbagai perlawanan seperti perang Paderi di Minangkabau (1821-1827), perang Diponegoro yang terjadi di Jawa (1825-1830), perang Aceh (1837-1903), dan perang lainnya tidak terlepas dari sendi Islam.
 Pada tahun 1905, terdapat gerakan pembaharuan agama yang diprakarsai oleh
komunitas Arab di Batavia, yaitu Jam'iyyat khair. Perserikatan ini mendirikan sekolah yang mendatangkan gurunya dari kalangan Islam modernis yang bernama Syeikh Ahmad Surkati. Kemudian adanya gerakan dari al-Irsyad yang dibentuk oleh Surkati pada tahun 1915. Bentuk dari adanya gerakan ini yaitu mendirikan sekolah yang sebagian besar muridnya keturunan Arab dan sebagiannya lagi penduduk pribumi. Berdirinya oraganisasi Budi Utomo yang digagas oleh Dr. Wahidin juga menjadi salah satu bentuk lain adanya kolonialisme Belanda. Gagasan-gagasan Budi Utomo bertolak pada pemimpin India, Tagore dan Ghandi, yang dijadikan sebagai teladan dalam kebangkitan nasional. Oleh karena itu, tampak juga pergerakan-pergerakan nasionalis di Jawa.
SI (Serekat Islam) berkembang menjadi organisasi politik Indonesia yang menuntut kemerdekaan penuh atas Indonesia. Organisasi ini dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto yang sebelumnya dipegang oleh Samanhudi atas dorongan Tirtoadisurjo. Namun, kepopuleran SI tidak bisa dipertahankan di tahun 1920 dalam meraih kemerdekaan, selain itu muncul perpecahan disebabkan permasalahan internal dalam tubuh SI sendiri. Selanjutnya, Muhammadiyah sebagai kelompok Islam reformis yang diprakarsai oleh KH Ahmad Dahlan dengan cepat gagasan-gagasannya diterima dan menjadi poluler. Pengalaman KH Ahmad Dahlan yang pernah masuk dalam keorganisasian Budi Utomo dan pengamatannya terhadap organisasi Islam lainnya seperti Serekat Islam dan Jam'iyyat khair menjadi latar belakang terbentuknya Organisasi Muhammadiyah. Organisasi yang dibentuknya tersebut diwujudkan untuk masyarakat pribumi yang mengedepankan gerakan modernisme Islam. Pada tahun 1920, organisasi Muhammadiyah telah tersebar di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya Minangkabau, Pekalongan, Surabaya, Bengkulu, Banjarmasin, Amuntai, Aceh dan Makassar.
Pada tahun 1920-an, lahir pula organisasi pembaharuan Islam, yaitu Persatuan Islam (Persis) dan NU (Nahdhatul 'Ulama). Persis yang dibentuk oleh KH Zamzam ini lahir pada tahun 1923 di Bandung. Organisasi ini tidak terlalu bergairah untuk menambah banyak anggota. Kegiatan Persis lebih mengutamakan dakwah lisan dan tulisan. Selanjutnya, organisasi NU lahir di tahun 1926 yang didirikan oleh KH Wahab Hasbullah dan didukung oleh KH Hasyim Asy'ari. Lahirnya organisasi ini dilatar belakangi oleh keengganan terhadap kaum modernisme dan hendak membela kepentingan kaum tradisionalis. Gerakan organisasi ini cukup pesat, pada tahun 1942. Kemudian di tahun 1930, muncul organisasi pembaharu Islam di Bukittinggi yang bernama Perti (Pergerakan Tarbiyah Islamiyah).
Seiring dengan perkembangan pergerakan Muslim, dan pada tahun 1926 dengan ditumpasnya pemberontakan PKI dan ketidakaktifan lagi SI, Soekarno dan Algemeene mendirikan sebuah partai politik baru yang bernama Perserikatan Nasional Indonesia. Setelah Belanda ditumbangkan oleh Jepang pada tahun 1942, penjajah Jepang melihat bahwa kaum santri bisa membantu mereka dalam hal administrasi wilayah Indonesia. Mereka juga berasumsi bahwa orang-orang yang disekolahkan oleh Belanda tentu akan bersimpati pada Belanda dan Eropa. Hal ini karena kebijakan-kebijakan Jepang yang memberikan ruang kepada Muslim Indonesia untuk mengekspresikan Dinamika Islam Politik Dan Islam Kultural Di Indonesia kegiatan keagamaannya. Dukungan lainnya yaitu adanya pengangkatan pribumi menjadi sanyo, atau jabatan politik pada tiap-tiap departemen Indonesia.


2. Masa Orde Lama
Adanya paham nasionalis sekuler yang digagas oleh Soekarno dan teman-temannya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tidak lepas dari hambatan. Gagasan yang lebih mengutamakan nasionalisme ketimbang ideologi ini mendapat pertentangan dari golongan Islam. Mereka menentang pandangan yang menempatkan Islam berada di bawah payung kebangsaan. Perbedaan adanya dua kelompok tentang dasar negara semakin nampak pada perumusan sila pertama. Meskipun para pendiri bangsa ini telah menerima pancasila sebagai dasar negara, sebagian Muslim lainnya meminta agar posisi Islam tercantum dalam konstitusi negara, yang mana aspirasi mereka ini dikenal dengan Piagam Jakarta dengan adanya penambahan kata-kata "kewajiban menjalankan syari'at islam bagi para pemeluknya." Piagam Jakarta ini sempat disetujui untuk dimasukkan kedalam UUD 1945, namun ditentang oleh kaum nasionalis dan akhirnya piagam tersebut tidak dicantumkan demi kesatuan bangsa Indonesia.
Peristiwa tersebut menjadikan sejumlah kelompok Islam merasa kalah dan dikhianati. Maka munculah berbagai pemberontakan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Di Jawa Barat, pada tahun 1949, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo dan gerakan Darul Islam-nya melawan pemerintah pusat. Kemudian tepat pada tanggal 7 Agustus 1949, ia memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) dan menyatakan bahwa dirinya sebagai Imam. Pada tahun 1952, Kahar Muzakkar yang berada di Sulawesi Selatan menyatakan penegakan sebuah negara Islam atas komando Kartosuwirjo. Perlawanan serupa juga terjadi di Aceh di bawah pimpinan Daud Beureueh yang juga mengajukan kepada pemerintah pusat.
Adanya pemberontakan-pemberontakan tersebut tidak mengganggu hubungan
baik antara Islam dan negara. Namun, kesepakatan yang terjadi pada 18 Agustus 1945
belumlah matang. Sehingga, persoalan negara sebagai dasar ideologi mencuat Kembali selama masa kampanye pemilu 1955 dan dalam perdebatan Majelis Konstituante. Majelis Konstituante dibuat untuk menyusun konstitusi permanen. Dalam sidangnya Majelis Konstituante, tugas-tugasnya dalam menyusun konstitusi sebenarnya sudah diselesaikan 90%, diantaranya HAM, bentuk pemerintahan dan prinsip-prinsip kebijakan negara. Namun, permasalahan dasar negara yang berideologikan Islam atau bukan, tidak menemukan ujung kesepakatan. Hingga pada 2 Juni 1959 perdebatan tersebut menemukan keputusannya yang mana kedua kelompok tersebut sepakat bahwa Pancasila dijadikan sebagai dasar negara.
Pada masa demokrasi terpimpin, Soekarno memiliki porsi
yang besar dalam memimpin bangsa. Hubungan Islam dan negara mulai memburuk, hal ini ditandai dengan otoritas Soekarno pada tahun 1960 yang memberinya otoritas untuk melarang dan membubarkan partai-partai yang menentang negara. Politik Islam
semakin melemah dengan dibubarkannya PSI dan Masyumi pada 17 Agustus 1960, hal ini dikarenakan PSI dan Masyumi tidak mengeksekusi anggota yang memberontak secara tegas. Keputusan dibubarkannya Masyumi dan PSI dari partai resmi bangsa secara simbolik menunjukkan bahwa nasionalis Islam berhasil dikalahkan. Namun, di antara kedua partai tersebut dan partai-partai lainnya yang mulai memudar, NU justru lebih dekat dengan Soekarno. Hal ini disebabkan karena dalam banyak hal, NU dan PNI memiliki banyak kesamaan ketimbang dengan Masyumi. Kedua partai ini mempunyai basis yang kuat di Jawa dan mencakup nilai-nilai Jawa, serta lebih menghargai gaya kepemimpinan tradisionalis dari pada cita-cita demokrasi Barat. Namun, pada akhirnya partai NU pun jatuh di panggung perpolitikan bersama dengan gagalnya pemberontakan PKI pada 1965.

3. Masa Orde Baru
Gagalnya kudeta PKI di tahun 1965 dan turunnya mandat dari Soekarno kepada Soeharto yang dikenal dengan dengan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966) menandai berakhirnya Orde Lama dan digantikan oleh Orde Baru. Belajar dari Orde Lama, pemerintahan terlalu sibuk dengan orientasi ideologi dalam hal pembangunan, sehingga menyebabkan kehancuran ekonomi karena perdebatan ideologi yang sengit. Oleh karena itu untuk memperbaiki pembangunan ekonomi, industralisasi atau pemenuhan kebutuhan dasar rakyat masa depan Indonesia harus bebas dari politik yang didasarkan kepada ideologi. Hal inilah yang menjadikan umat Islam merasa kecewa di masa Orde Baru. Pemimpin-pemimpin Muslim mengira bahwa dengan bergantinya Orde Lama dapat memberikan kesempatan untuk mengembalikan kekuatan politik Islam dan mulai menyusun recana agar syari'at Islam masuk ke dalam sistem kenegaraan.
Sebagai "Balas Budi" pemerintahan Orde Baru atas partisipasi umat islam dalam perjuangan melawan komunis, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) diizinkan oleh Soeharto berdasarkan Keputusan Presiden, No. 70, pada 20 Februari 1968 yang menyatakan bahwa Permusi merupakan sebuah persatuan organisasi sosial Islam yang
tidak tergabung dalam partai politik. Namun, partai ini dipenuhi dengan konflik yang terjadi di dalam tubuh Parmusi sendiri. Pertikaian antara John Naro-Imran Kadir dan Djarnawi Hadikusuma-Lukman Harun mendorong pemerintah untuk turun tangan secara langsung dan memutuskan untuk menggantikan pimpinan Parmusi yang lama, Djarnawi Hadikusumo, kepada H.M.S Mintareja.
Keputusan pemerintah, bagi sebagian kelompok seperti Muhammadiyah dan Keluarga Bulan Bintang justru mengecewakan. Keadaan tersebut terus berlanjut sampai menjelang pelaksanaan pemilihan umum pertama kali di era Orde Baru. Pemilu pertama tersebut yang dilaksanaan pada 1971 diikuti oleh 3 arus kekuatan politik. Kekuatan politik Islam diwakili oleh Parmusi, NU, PSII dan Perti, kemudian kekuatan nasionalis dan Kristen diwakili oleh PNI, IPKI, Parkindo, Partai Murba dan Partai Katolik, serta kekuatan nasionalis-pemerintah diwakili oleh Golkar. Golkar memenangkan mayoritas suara di setiap provinsi, kecuali di Aceh, Jakarta dan Maluku dan tetap mendapatkan suara terbanyak, yaitu 62,8%.
Pada bulan Januari 1973, pemerintah mendesak partai-partai yang ada dilebur menjadi 2 partai. Partai-partai Islam seperti NU dan Parmusi dilebur menjadi PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan partai yang berbasis nasionalis dan non-Islam diantaranya Murba, PNI, Katolik, Kristen dan IPKI dientuk PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Selanjutnya pada bulan Maret 1973, MPR baru menunjuk Soeharto untuk memimpin Indonesia sebagai Presiden untuk kedua kalinya.
Sepanjang 32 tahun masa Orde Baru, hubungan Islam dan negara dapat dibedakan menjadi 2 periode. Pertama, periode antagonistik. Periode ini terdiri dari dua babak. Hatta, rumusan rancangan undang-undang tentang perkawinan, mengganti pelajaran agama dengan Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan Indonesia, melarang siswi Muslimah menggunakan hijabnya, dan legislasi perjudian oleh negara. Babak kedua dari periode ini adalah tahun 1982-1985, dimana umat Islam mulai sejalan dalam merespon kebijakan Orde Baru, meskipun ada sebagian yang masih bersikap oposisi dan sebagiannya lagi lunak dengan kebijakan negara. Di antara sikap tersebut adalah banyak dari kalangan Muslim yang menduduki jabatan di berbagai lembaga. Hal ini tidak terlepas dari usaha Nurcholis Madjid dalam mencairkan hubungan antara Islam dan negara yang dikenal dengan Islam kultural. Hingga pada tahun 1990, pemerintah dan umat Islam menjalani hubungan yang mesra, ketika para tokoh Muslim banyak memegang jabatan yang strategis di pemerintahan.

Embrio Islam Kultural di dalam konteks Indonesia
Konsep modernisasi yang diusung oleh Orde Baru bukan tanpa masalah bagi umat Islam, karena modernisasi masih merupakan persoalan yang relatif baru. Umat Islam dalam posisi dilematis, antara mendukung atau menolak. Mendukung artinya ikut serta dan berpartisipasi dalam kebijakan rezim baru yang berarti jelas-jelas mendukung modernisasi dengan preferensi ideologis Barat atau menolak dengan konsekuensi kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam program pembangunan yang sudah mendapat dukungan luas dari berbagai pihak termasuk pihak luar Islam. Dilema tersebut menimbulkan perbedaan di kalangan kaum muslimin dalam merespon modernisasi yang diusung Orde Baru teradapat beberapa tipologi.
Pertama, tipologi apologi yang kemudian diikuti dengan usaha penyesuaian diri dan adaptasi terhadap proses modernisasi.
Tipologi kedua, juga melakukan apologi terhadap ajaran Islam tapi menolak modernisasi yang dinilai sebagai westernisasi dan sekularisasi. Tipologi itu melakukan resistensi secara formal, dalam praktik pemikirannya sangat kaku (rigid) dan cenderung tunggal.
Tipologi ketiga, adalah mengambil pola tanggapan yang kreatif dengan menempuh jalan dialogis dengan mengutamakan pendekatan intelektual.
Dari ketiga tipologi tersebut, tipologi yang ketigalah yang paling populer yang di usung dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer oleh salah satu tokoh pembaharuan yang di pelopori oleh, Nurkholis Majid yang di kenal pada saat itu adalah pemuda penyebab munculnya gerakan Islam kultural.
Orientasi politik berkuasa dimulainya pada zaman Orde Baru secara kritis Islam kultural memandang bahwa, sejak sepuluh tahun berkuasa telah menempatkan Islam pada posisi yang menguntungkan. Kesan bahwa Islam itu tradisionalis, anti modernisasi, anti pembangunan bahkan anti Pancasil, telah menempatkan umat Islam pada posisi marjinal. Dari realitas itulah Islam Kultural lebih concern dan terikat pada Islam dan umatnya, bukan pada kelembagaannya seperti partai politik Islam maupun wadah persatuan bagi umat Islam.
Pemikiran Nucholish dan Islam Kultural tersebut lebih pada semangat substansinya ketimbang pada simbol-simbol distingtif. Bagi Islam Kultural, sebutan "Negara Islam" atau Islam sebagai dasar Negara" bukanlah faktor yang paling utama. Pada kenyataan bangsa Indonesia dan umat Islam yang plural, benar-benar merupakan tantangan sekaligus sebuah kenyataan. Ketika sebagian umat Islam masih terobsesi tentang pentingnya pembangunan Islam politik secara formal dalam kekuasaan. Maka cara pandang keagamaan kaum muslimin terjebak pada cara pandang politis-idiologis. Cara pandang tersebut, dalam kegelisahan Nurcholish dipandang sebagai historis.
Dapat dilihat bahwa dengan gerakan "Islam Kultural'nya" Nurcholish melakukan pembaharuan dengan pencerahan pemikiran include di dalamnya pemikiran politik islam, mulai dari pemikirannya tentang 'Islam, Yes, Partai Islam, No' dan pemikiran politik Islam lainnya yang sangat substantif. Islam sebagai sebuah diktum yang tetap, maka bersifat eternal dan essensial, tapi ketika Islam menjadi sebagai produkpenafsiran sejarah dan budaya, maka la akan mengalami desakralisasi.

Perkembangan Islam Kultural dan Momentum Kebangkitan Partai Islam
Sering diperdengarkan Istilah Islam kultural sering digunakan untuk menyebut gerakan Islam yang membedakannya dari Islam struktural. Keduanya merupakan penanda bagi apa yang disebut model Gerakan Islam Indonesia pada tahun 1980-an. Keduanya adalah model dari pilihan strategi arus atas dan strategi arus bawah yang mewakili dua eksonen penting saat itu yaitu Amien Rais dan Abdurrahman Wahid sebelum kedunya masuk ke gelanggang politik secara langsung.
Berdasarkan pengalaman sejarah menunjukkan bahwa Islam Politik hanya melahirkan perpecahan dan tidak menimbulkan sinergi antara umat Islam maka munculah adigium yang mengkritik kondisi Islam di dunia perpolitikan yang popular pada tahun 1970-an yang dilontarkan oleh seorang cendikia muda Nurcholis Madjid "Islam Yes, Politik Islam No" konsesi ini menekankan akan sekulerisasi pergerakan Islam dalam bidang politik, Islam harus lebih berperan sebagai pandu moral dan sosial yang tercermin dalam konsepnya yang terkenal yaitu Islam kultural. Gerakan ini memperoleh sambutan positif dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dengan mundur dari kancah politik dan bersifat kooperatif terhadap pemerintah.
Gerakan Islam kutural dimulai sejak tahun 1970 sebagai sebuah gerakan kaum cendikia yang mencoba memobilisasi pikiran masyarakat untuk tidak selalu terfokus pada gerakan politik yang hanya menimbuklan perpecahan. Sesuai dengan pendapat Buya Syafii Maarif yang menyatakan: "politik hanya memecah belah dan menciptakan lawan, sedangkan dakwah berkeinginan merangkul dan memperbanyak kawan. Tentu hal itu itu tidak bisa dipungkiri begitu saja, sebab dengan berpolitik umat menjadi miopis, hanya mampu melihat realitas-realitas jangka pendek"
Istilah Islam kultural nampaknya ingin mengkontraskan Islam politik. Namun
demikian, kemunculan Islam kultural sebenarnya bukan untuk menegasikan Islam politik melainkan sebuah solusi atau alternatif atas kebuntuan Islam politik di Indonesia, baik pada masa awal kemerdekaan, revolusi, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, dan awal Orde Baru.
Islam kultural mempunyai arti bahwa Islam merupakan salah satu komponen yang membentuk, melandasi, dan mengarahkan bangsa dan negara. Yang paling penting menurut Islam kultural adalah dilaksanakannya nilai-nilai substansi Islam yaitu keadilan, kesamaan, partisipasi, dan musyawarah. Dengan menolak partai politik sebagai wahana pokok perjuangan Islam, Nurcholish Madjid secara tegas menentang gagasan negara Islam. Dengan berkembangnya gerakan Islam kultural pada masa Orde Baru, banyak pengamat menilai bahwa kekuatan Islam politik tidak akan muncul lagi.
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia pasca Orde Baru, akibat gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa, telah terjadi ledakan partisipasi politik. Ledakan partisipasi politik itu bukan hanya menimpa kalangan masa akar rumput tetapi juga menghinggapi kalangan elite politik. Partai-partai politik Islam yang muncul pada era reformasi ini mencapai 32, dan dari jumlah tersebut yang lolos Pemilu 1999 sebanyak 17 partai. Fenomena berdirinya partai-partai politik, khususnya yang berbasis Islam, dianggap sebagai bangkitnya politik aliran. Dikatakan sebagai bangkitnya kembali politik aliran karena selama Orde Baru, politik aliran diberangus. Pada masa itu, rezim Orde Baru melakukan kebijakan dealiranisasi dengan serangkaian kebijakan: depolitisasi massa, floating mass, dan de-ideoligisasi dengan memberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal. Kini setelah rezim Orde Baru jatuh, aliran-aliran politik itu, termasuk aliran politik Islam, bangkit kembali dengan wujud berdirinya partai-partai politik Islam.



















Kesimpulan
Politik merupakan bagian dari kehidupan manusia. Namun demikian, yang eksistensinya bersifat strategis dan sangat fundamental bagi peradaban.
Pemerintahan menggangap bahwa agama memiliki kedudukan dan strategis serta memiliki peran penting dalam bangsa dan negara. Peran utama agama yaitu sebagai landasan spiritual, moral dan juga etika dalam pembangunan nasional.
Dalam praktiknya, antara Politik dan Hukum memang sulit dipisahkan, karena setiap suatu rezim yang sedang berkuasa disetiap negara punya "politik hukum" sendiri dalam melaksanakan konsep tujuan pemerintahannya khususnya yang berhubungan dengan pembangunan dan kebijakan-kebijakan politiknya baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Hubungan Islam dan politik di Indonesia senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Umat Islam sebagai penduduk mayoritas merasa perlu untuk berpartisipasi aktif di bidang politik.
Pemisah antara Islam politik dan Islam kultural adalah kebijaksanaan yang dianjurkan oleh pakar Islam seperti C. Snouck Hurgronje kepada pemerintahan pada saat itu, yaitu agar pemerintahan Hindia Belanda membiarkan Islam ibadah, tetapi malah menghalangi Islam politik.
Secara teoritis dalam pemikiran politik Islam terdapat tiga paradigma tentang masalah hubungan agama dengan Negara. Pertama, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan (integrated). Kedua, Paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan sesuatu yang saling berkaitan dan berhubungan (simbiotik). Ketiga, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan suatu yang harus terpisah (sekularistik).
Kemunculan partai-partai Islam di indonesia merupakan representasi dari umat Islam yang bergerak dalam bidang politik. Beberapa partai politik islam yang pernah ikut dalam pergulatan politik di Indonesia diantaranya: Pertama, partai politik di masa-masa awal kemerdekaan yang diwakili oleh Masyumi dan NU pada pemilu 1955. Selanjutnya pada pemilu 1971 diwakili oleh Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (PMI) Partai Islam (PERTI).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun