Lalu seperti yang setiap saat terjadi, waktu terus berlalu. Sempat memutuskan bahwa itu bukan cinta, lalu berpaling. Dan tersadar, berpaling bukan cinta. Berpaling, pelampiasan. Saat dia menjauh dan memberi jarak pada hubungan. Mungkin, pembalasan dendam. Ingin menunjukkan bahwa ia bukan satu-satunya. Lalu aku terbangun, tersadar bahwa aku sedang berada dalam alam mimpi.
Pertanyaan itu mengambang sekali lagi, kenapa harus bertahan? Kupikir lagi, karena aku masih berharap. Berharap apa? Berharap bahwa dialah yang kutunggu. Dialah satu-satunya. Orang yang bisa menemaniku, setiap saat. Orang yang paling mengertiku. Dan yang paling penting, tak ada yang mencintaiku seperti ia mencintaiku dulu. Segala yang ada padanya, seakan-akan sempurna, padahal kutahu, ia sama sekali tidak sempurna. Bagiku, kekurangannya adalah kesempurnaannya.
Aku merindukan setiap saat yang pernah kulalui bersamanya. Setiap detiknya. Genggaman tangannya. Wangi tubuhnya. Senyumnya. Caranya memanggil namaku. Caranya berbicara padaku. Setiap kata yang diucapkan padaku. Bagaimana ia membuatku tersenyum saat aku sedih. Bagaiman ia selalu membuatku nyaman saat berada di dekatnya. Bagaimana rasanya selalu ingin bersamanya. Dan setiap aku melihat tawanya. Tapi kali ini, tiada lagi cara ia membuatku tersenyum saat aku sedih. Kali ini, ia membuatku menangis. Mengetahui bahwa tiada lagi mimpi indah seperti sebelumnya.
Dan mungkin, untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Ia yang mengajarkan aku bagaimana mencintai. Ia yang menunjukkan padaku bagaimana rasanya dicintai. Tidak banyak yang aku inginkan. Aku hanya ingin, ia membiarkan aku bertahan. Menunggu. Aku tidak ingin melupakan apapun. Karena kenangan-kenangan itu yang paling berharga dalam hidupku. Kalau saja ia tak pernah mengajarkan dan menunjukkanku, aku takkan tegar seperti ini sekarang.
Dulu, aku berharap, ia yang pertama, dan terakhir. Kini, aku tak lagi mengharapkan apapun.