Asal-Usul Istilah "Triangulasi"
Menurut Pelto (2017), istilah "triangulasi" bersumber dari trigonometri, melalui survei dan pemetaan, sebelum digunakan oleh peneliti kuantitatif dan kemudian diubah dan diterapkan dalam penelitian kualitatif. Pada tahun 1950-an, peneliti mulai menggunakan "triangulasi" sebagai pendekatan untuk menilai validitas dan reliabilitas metode pengumpulan data dalam ilmu sosial dan perilaku.
Menurut Campbell dan Fiske (1959), konsep "triangulasi metodologis" diusulkan sebagai alternatif terhadap dominasi "operasionalisme tunggal" dalam psikologi. Norman Denzin (1978) terinspirasi oleh karya Campbell dan Fiske, mengembangkan pendekatan penelitian naturalistik yang memeriksa masalah penelitian dari berbagai perspektif.
Dimensi Triangulasi
Denzin (1978) menegaskan bahwa peneliti kualitatif dapat menggunakan beberapa bentuk triangulasi dalam studi mereka, termasuk triangulasi data (waktu, ruang, dan orang), triangulasi metodologis (penggunaan berbagai metode), triangulasi teori (membandingkan akun partisipan dengan skema teoretis alternatif), dan triangulasi peneliti (melibatkan beberapa pengamat).
Denzin juga menyadari tantangan dalam penelitian triangulasi, seperti menemukan unit observasi bersama, batasan waktu dan uang, serta ketidakmampuan mengakses area, jenis, atau tingkat data tertentu.
Sandra Mathison (1988) mengusulkan tiga hasil mungkin dari triangulasi: konvergensi, inkonsistensi, dan kontradiksi. Jika hasil studi tidak menghasilkan konvergensi pada penjelasan tunggal, peneliti perlu "membuat makna dari apa yang ditemukan."
Peneliti kualitatif perlu mempertimbangkan batasan dan manfaat metode yang mereka pilih. Artikulasi tentang bagaimana penelitian dianggap "berkualitas" dapat rumit karena berbagai pendekatan yang digunakan oleh peneliti kualitatif.
Kesimpulan