sebuah novel
atunk f. karyadi
-----------------------
Fragmen 1
-----------------------
"Nyi Rabiah masuk televisi!" Â
Kabar itu menjadi topik hangat di lingkungan Pesantren Al-Khairu. Bahkan para pengasuh dan pengurus juga tahu. Pesantren rintisan Ki Sepuh akan semakin terkenal. Tahun depan, bisa jadi santri baru akan membeludak jika memang berita Nyi Rabiah di televisi itu mengabarkan hal baik. Tetapi sebaliknya, kalau berita itu tentang hal buruk, pesantren bisa kesepian dari santri-santri baru. Â
Semenjak Ki Sepuh wafat, pesantren terpecah menjadi tiga. Pesantren Al-Khairu I diasuh oleh Ki Ronggo. Ia adalah putra pertama Ki Sepuh. Pesantren yang diasuhnya memfokuskan diri pada pendidikan tradisional serta hafalan kitab suci. Model seperti ini biasa disebut salaf yang berarti kuno. Sesuai dengan namanya, pesantren ini tidak memiliki bangunan megah dan pendidikan formal. Rata-rata bangunan pesantren masih banyak yang berdinding gedhek bukan tembok kekar pada umumnya. Seragam para santri sehari-hari tak lain berupa sarung, baju koko putih berkerah serta dilengkapi peci hitam nasional persis style Bung Karno. Untuk kebutuhan makan, semua santri memasaknya sendiri, pesantren tidak menyediakan. Karena serbatradisional itulah wajah santri-santri pesantren Ki Ronggo juga tampak lebih tua dibanding pesantren lain. Mereka menyebutnya santri macho!
Sedangkan Pesantren Al-Khairu II dipimpin Nyi Rabiah, adik Ki Ronggo. Pesantren ini lebih modern, Nyi Rabiah pernah menempuh pendidikan perguruan tinggi bahkan sampai pascasarjana di Universiteit Leiden, Belanda. Semua santri diwajibkan berdialog dengan bahasa asing, Arab dan Inggris. Sistem sekolah pun formal meliputi jenjang pendidikan SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Dari tiga Pesantren Al-Khairu hanya pesantren ini yang membuka santri putra dan putri. Dua pesantren yang lain hanya menerima santri putra, entah apa alasannya, mungkin santri putra lebih mudah jika dibutuhkan tenaganya. Â
Dan, yang terakhir Pesantren Al-Khairu III dipegang oleh Ki Ragil, putra bungsu Ki Sepuh. Karena ia suka mengoleksi benda bertuah dan hal-hal berbau klenik, pesantrennya konsentrasi pada dunia gaib, beladiri, dan pengobatan alternatif. Banyak para pemakai narkoba dan penderita epilepsi yang direhabilitasi di pesantren ini. Cukup tiga atau enam bulan pasien akan sembuh. Tentunya dengan beberapa syarat. Di antaranya, rutin mandi di sumur kramat dan melakukan ritual ziarah ke makam Ki Sepuh setiap menjelang matahari terbenam. Santri-santri Ki Ragil terkenal ampuh. Semuanya berbusana warna hitam, sebenarnya tidak ada aturan tertulis hanya kebiasaan. Mungkin memilih warga hitam agar terlihat seram dan angker. Ki Ragil sendiri sering ditawari menjadi pembina tayangan mistik di televisi swasta setiap malam Jumat, tetapi berkali-kali menolaknya. Ia lebih memilih stand by di pesantrennya, menerima para pasien. Baginya, melayani orang-orang sakit merupakan  sebuah perjuangan dan ibadah. Terbukti pasiennya berdatangan dari berbagai wilayah di negeri ini. Â
"Dia diangkat jadi menteri?"
Kitab kuning tafsir Al-Jalalayn masih di pangkuan Ki Ronggo. Dia tampak tidak begitu menggubris kabar dari istrinya itu. Baginya, membaca khazanah ulama tempo dulu jauh lebih menarik daripada mendengar kabar tentang adiknya sendiri. Kitab kuning bila dibaca bisa melahirkan banyak imajinasi dan inspirasi, tuturnya suatu ketika. Imajinasi tentang kondisi masa lalu yang sulit mendapatkan tinta dan kertas, dan inspirasi tentang pemikiran jernih yang masih relevan hingga kini. Sedangkan kabar adiknya, baginya, tidak melahirkan apa-apa kecuali satu term: masa bodoh!
Ki Ronggo memang acuh tak acuh dengan adiknya itu, bahkan merambat ke segala aspek dan persoalan. Kedengkiannya ini memuncak ketika Pesantren Al-Khairu II yang diasuh adiknya itu hendak kedatangan tamu agung wakil presiden. Nyi Rabiah tidak mengabarkan saudaranya yang lain, baik Ki Ronggo maupun Ki Ragil. Padahal ketiga pesantren ini jelas-jelas bersaudara dan jarak ketiga pesantren tidak begitu jauh. Tanpa sepengetahuan kedua saudaranya, Nyi Rabiah berhasil "menodong" wakil presiden untuk menyumbangkan dana pembangunan Pesantren Al-Khairu II. Sedangkan dua pesantren lainnya, milik kakak dan adiknya, tidak kebagian. Sama sekali tidak. Â
"Bukan."
Istri Ki Ronggo menjawabnya. Ia hendak mengobrol serius dengan suaminya. Tetapi, tampaknya Ki Ronggo masih sibuk dengan dunianya. Lantas ia beranjak dari tempat duduknya. Namun tiba-tiba, sebelum kakinya berhasil melangkah, ia terhenti oleh tatapan suaminya. Tatapan itu begitu tajam. Seolah-olah ia tahu apa yang sudah-sedang-akan terjadi. Mungkin berkat intensitasnya terhadap kertas-kertas kuning yang menyala, dan aksara-aksara kuno Arab tanpa harakat membuatnya sangat peka terhadap fenomena. Rasa ingin tahunya besar, sebesar rasa bencinya pada Nyi Rabiah. Â
"Lalu apa? Apa ada kabar lain di luar karier politiknya?"
Ki Ronggo paham, tak ada obsesi lain bagi adiknya setelah menjabat sebagai anggota DPR RI kecuali menjadi menteri. Entah menteri sosial, menteri luar negeri atau menteri yang hanya dibidangi oleh kaum hawa: menteri pemberdayaan perempuan. Semakin melonjak naik karier politik adiknya itu semakin khawatir yang ia rasakan. Mulai kondisi Pesantren Al-Khairu II yang sering ditinggalnya, takut jika karakternya berubah; semakin kaya semakin rakus dan pelit, hingga kekhawatiran kalau nama besar Ki Sepuh justru tercoreng karenanya. Â
"Nyi Rabiah terjerat sebuah kasus!" Â
Istrinya kembali duduk. Berhadapan dengan suaminya. Hanya terpisah dengan meja kecil di antara keduanya. Meja itu berisi tumpukan kitab-kitab kuning. Lalu bergoyang seakan ada getaran mengagetkan. Getaran tangan Ki Ronggo yang dengan spontan menutup kitab tafsir Al-Jalalayn yang tengah dibacanya. Ia takut jika benar-benar nama besar Ki Sepuh tercemar. Entah apa yang akan ia lakukan kepada adiknya yang ceroboh itu. Sudah beberapa kali ia hendak menganggap adiknya bukan lagi keluarganya, tapi penuh iba. Maka dengan berat hati, ia tetap menganggapnya sebagai adik kandung sekalipun tidak pernah ada komunikasi antara keduanya kecuali saat momen tahunan seperti halal bi halal keluarga-santri Pesantren Al-Khairu keseluruhan. Â
***
Ki Ragil mulai panik. Ia tidak habis pikir bagaimana jika kasus ini diketahui Ki Ronggo. Entah apa respons kakak pertamanya itu menghadapi Nyi Rabiah. Toh, tanpa ada kasus pun keduanya sudah bermusuhan. Apalagi ditambah kasus besar seperti saat ini. Ki Ragil sudah sejak lama hendak mengajak baikan kedua kakaknya itu. Ia sadar tidak ada gunanya memelihara konflik internal berkepanjangan. Bukan hanya antarkeluarga yang tahu, para santri pun sudah mulai melek informasi rahasia itu. Diam-diam mereka paham ada konflik serius antarpimpinan Pesantren Al-Khairu I-II-III. Akibatnya, para santri membuat kubu-kubu sendiri tidak mau bersatu serentak karena beda pimpinan. Â
Tahun lalu, Ki Ragil membuat acara Haul Ki Sepuh secara besar-besaran. Sebelum-sebelumnya hanya bacaan Yasin dan Tahlil di makam tanpa ada acara seremonial yang resmi. Tapi, tahun lalu Ki Ragil menggabungkan acara itu bersamaan Maulid Nabi di bulan Rabiul Awwal. Selain bertujuan meramaikan masyarakat Desa Saestu dan santri, ia juga memiliki agenda lain. Yaitu, hendak mendamaikan Ki Ronggo dan Nyi Rabiah. Sayang, niat tulusnya tidak berhasil. Keduanya berhalangan hadir. Ki Ronggo absen entah apa alasannya, sedangkan Nyi Rabiah persiapan menghadiri rapat sidang komisi DPR di Jakarta. Â
"Aku sudah kehabisan cara."
Tuturnya singkat. Bersama istrinya, ia baru saja menyaksikan berita itu di televisi. Saat itu, hanya baru satu saluran televisi swasta yang menayangkannya. Nanti malam dan besok pagi pasti semua serempak menayangkan. Seakan tidak ada objek berita yang lain. Dan bisa jadi, sesama wartawan mereka melakukan aksi tukar-beli berita yang didapatnya. Buktinya, berita sama, rekaman video sama, laporan sama, hanya wajah presenter berita yang berbeda.
"Abah, segera datangi Ki Ronggo, beri tahu soal ini."
Istrinya memberi usul. Ki Ragil sudah mempunyai agenda itu. Sekalipun tidak tahu apa yang harus dilakukannya nanti di rumah Ki Ronggo. Ia sudah berangan-angan seakan sudah sampai di ambang pintu kakak pertamanya itu. Disapa oleh para santri dengan mencium tangan, lalu disuruh masuk, tak lama Ki Ronggo menemui di ruang tamu, duduk bersama, mengepulkan asap bersama. Selanjutnya diam dalam keheningan suara. Seakan keduanya berbicara melalui ketajaman batin. Asap rokok yang keluar berubah menjadi kata-kata yang saling berdialog antarkeduanya. Kemudian seorang santri nongol menyuguhkan kopi hitam hangat dan teh pahit. Ki Ronggo meminumnya terlebih dahulu. Disusul Ki Ragil. "Ya sudah, lihat nanti saja bagaimana." Demikian kira-kira tanggapan Ki Ronggo atas kasus Nyi Rabiah. Â
"Pasti Ki Ronggo sudah tahu, Umi."
Ki Ragil paham sekalipun kakaknya hanya bergelut pada kitab kuning dan kitab suci, tetapi ia punya banyak pewarta berita. Istri Ki Ronggo sama dengan istrinya; pencinta infotainment. Kalau keduanya bertemu, bukan masalah keluarga dan agama yang dibahas, melainkan pernikahan dan perceraian artis terkini. Selain itu, Tohar, putra pertama Ki Ronggo adalah seorang wartawan koran nasional di Ibu Kota. Jadi, kalau ada berita apa pun, putranya itu selalu memberinya informasi segera. Atau sebaliknya, Ki Ronggo yang mengawali mengirim sms, "Ada info apa hari ini?" Jawaban anaknya sudah mewakili koran-koran yang terbit hari itu dan reportase liputan berita televisi. Â
Untuk kali ini, Ki Ragil angkat tangan. Menyerahkan seluruhnya pada keduanya. Ia pesimis. Tidak akan berhasil untuk mendamaikan keduanya. Padahal, mereka adalah panutan banyak orang. Tetapi mengapa memiliki borok yang belum juga disembuhkan? Â
Ki Ragil termasuk sosok yang netral. Tidak condong ke satu pihak secara subjektif. Siapa yang benar dari banyak sisi, itulah yang didukung. Bukan harus keluarganya dan santrinya. Jika mereka punya salah, Ki Ragil tidak kasihan untuk menghukumnya salah. Seperti kasus baru-baru ini, masyarakat desa terganggu dengan bau sampah. Setelah ditelisik ternyata para santrinya di Pesantren Al-Khairu III membuang sampah di belakang bangunan mereka, mepet dengan permukiman warga. Hingga menggunung. Esoknya, sebelum warga desa mengadakan demo, Ki Ragil mendatangi rumah mereka satu persatu, memohon maaf sekaligus memberi tiga liter beras dan dua kantung minyak goreng. Sedangkan santrinya dihukum melakukan roan[1] di dalam dan luar pesantren setiap hari berturut-turut selama satu bulan. Â
Kini dalam kasus Nyi Robiah, Ki Ragil diam. Ingin membela Ki Ronggo, tetapi Ki Ronggo pun sebenarnya salah karena sebagai kakak tidak membimbing adiknya. Juga ingin membela Nyi Robiah, tetapi ia pun sebenarnya paham apa yang yang semestinya dilakukan. Ketidakberpihakan Ki Ragil itulah sebuah sikap netralnya. Â
"Assalamualaikum!"
Suara berat itu terdengar dari luar pintu. Â
Ki Ragil dan istrinya menjawab segera. Suaranya tidak asing. Suara yang jarang terdengar kecuali beberapa kali dalam seminggu melalui toa masjid. Serak-serak basah. Menunjukkan usianya yang bukan lagi muda. Suara itu hanya mengucapkan salam. Lalu berdiam tanpa suara lanjutan.
"Eh, Mas, Mbak. Silakan masuk..."
Tamu itu tak lain Ki Ronggo dan istrinya. Jarang-jarang keduanya berkunjung. Bahkan bisa dihitung dalam setahun. Yang sering, sang adik dan istrinya ke rumah sang kakak. Mengajak pergi bersama ketika kebetulan ada undangan serupa, entah hajatan tetangga atau acara rakyat sedekah bumi. Pernah sesekali istri Ki Ronggo mengunjungi Pesantren Al-Khairu III mencari Ki Ragil. Dikira hendak mengajak shopping istrinya ke pasar kota, ternyata hal lain, minta obat suwuk. Â
Ki Ragil dan istrinya menyambut kedatangan Ki Ronggo beserta sang istri. Mempersilakan duduk sambil memanggil santri menyediakan minuman kesukaan sang kakak: teh pahit tanpa gula, segelas besar. Baginya itu menu wajib yang harus dihidangkan saat sore seperti itu. Jika malam maka berganti kopi hitam pekat nun panas yang baru menguap dari rebusan panci. Ki Ragil menebak kedatangannya pasti hendak membicarakan soal kasus Nyi Rabiah. Bukan yang lain. Tidak mungkin untuk meminta obat suwuk. Â
"Kalian sudah nonton berita, kan?" Ki Ronggo membuka obrolan sore, "Sial memang si Rabiah itu!"
"Tenang Mas, sabar..."
Ki Ronggo membuncah seketika. Ia betul-betul tidak rela kasus ini terjadi. Prediksi buruknya kini menjadi kenyataan. Sudah menjadi risiko orang besar dan terkenal. Sekecil apa pun kesalahannya pasti akan terekspos besar-besaran. Mirisnya, keluarga yang tidak tahu-menahu ikut kena imbasnya. Padahal yang berulah satu orang, lalu satu keluarga, bahkan satu desa bisa ikut tergaruk. Â
Itu sebabnya, Ki Ronggo memilih berdiam diri di pesantren, begitu pula Ki Ragil. Menurut mereka lebih baik di dalam tapi bermanfaat daripada di luar tapi membuat ulah tak karuan. Tiga bersaudara putra-putri Ki Sepuh berbeda haluan. Dan Nyi Rabiah yang paling ekstrem dari ketiganya. Tetapi kemudian, siapa kira, kalau Ki Ronggo dan Ki Ragil pun terjerat kasus serius di negeri ini. Sehingga Nyi Rabiah tersenyum seperti mereka berdua tersenyum kecut menanggapi kasus Nyi Rabiah.
***
"Tolong teman-teman wartawan harap tenang."
Seorang asisten membantu Nyi Rabiah berjalan menuju mobilnya. Kerumunan wartawan membanjir. Sejak tadi mereka menunggu di pintu keluar Polres Metro Jakarta Utara. Nyi Rabiah baru saja diinterogasi terkait kasus yang menimpanya. Beberapa orang wartawan terus mengejar. Saling dorong-mendorong mencari informasi terbaru. Bahkan ketika Nyi Rabiah sudah berhasil masuk mobilnya, mereka tetap memburu. Alat rekam dan sebagainya dimasukkannya melalui kaca mobil. Memaksa untuk mewawancarai tokoh pelaku dalam kasus ini. Namun, Nyi Rabiah tetap bungkam tak berkata satu kata pun. Â
Sebelum kasus ini terungkap, Nyi Rabiah santai-santai saja. Ia yakin kalau niat bulusnya berhasil dengan sempurna. Pasalnya, ia tidak mencari mangsa calon korban dari orang lain yang tak dikenal. Ia memanfaatkan teman-teman barunya sesama anggota dewan. Mereka pun tanpa curiga. Tulus membantu Nyi Rabiah dengan senang hati. Kasus ini terungkap ketika Jasrom, seorang donatur dan anggota dewan, bertanya tentang proyek yang digarapnya. Jasrom kaget mendengar penuturan Nyi Rabiah bahwa proyeknya itu belum dikerjakan sama sekali. Padahal sudah tiga tahun dihitung sejak awal penggalian dana. Akhirnya Jasrom semakin ragu, ia mengunjungi lokasi yang dimaksud dalam proposal yang pernah diajukan kepadanya. Dan, betapa nahasnya dia, merasa ditipu oleh sosok teman yang memiliki lembaga pesantren itu. Karena tidak ingin menambah korban-korban baru lainnya, ia segera laporkan kasus ini kepada ke polisi.
Nyi Rabiah terpaksa melakukan agenda licik ini. Ia sudah tidak tahan hidup seorang diri. Suaminya meninggal ketika pesantren baru saja didirikan. Ketika itu belum sempat diresmikan. Hanya memiliki lima ratus santri baru. Kini jumlah santrinya sudah mencapai seribu lima ratus santri dari berbagai jenjang pendidikan, putra dan putri. Semua hasil jerih payahnya sendiri. Suaminya yang semula memiliki impian dan rencana besar wafat sebelum semuanya terealisasikan. Apa yang dicapai Nyi Rabiah hanyalah 40% pencapaian dari impian suaminya itu. Masih banyak yang dalam proses, akan dikerjakan, dan belum dikerjakan. Target yang hendak dicapainya, menjadikan Pesantren Al-Khairu II sebagai lembaga pendidikan berbasis internasional yang memiliki santri dari berbagai negeri, memiliki hotel berbintang, gedung mal sebagai pusat perbelanjaan, sampai terminal bus sendiri. Â
"Ma, nanti kalau kita ditangkap polisi bagaimana?"
Aprilia takut jika kedoknya terbongkar. Ia selaku sekretaris proposal yang dirancang mamanya itu. Semua susunan panitia hanya sekadar nama. Yang asli hanya mereka berdua sedangkan delapan belas nama lainnya yang tercantum palsu. Licik sekali. Awalnya, Aprilia enggan menuruti perintah mamanya. Tetapi ia juga merasa kasihan, mamanya menjalani hidup ini seorang diri. Untuk kebutuhan kuliah saja ia masih harus meminta kepada mamanya. Belum lagi dua adiknya, untuk biaya sekolah dan uang jajan, kebutuhan hidup, dan lain sebagainya. Ia paham, dari jalur mana lagi mamanya bisa mendapat uang banyak. Jika pun menolak ajakan mamanya, ia harus bisa menghasilkan uang setiap bulan. Tidak mungkin. Seorang mahasiswi semester tiga bisa seproduktif itu. Ia sadar belum punya skill yang bisa diandalkan, atau menciptakan produk yang bisa dijual. Belum ada. Aprilia tak lebih seorang mahasiswi centil yang terbiasa dimanja. Â
Suatu ketika, Aprilia pernah dimintai sumbangan oleh kegiatan BEM di kampusnya. Sebuah kegiatan bakti sosial memperingati hari Ibu. Ia dipaksa untuk bisa menyumbang dalam jumlah banyak. Mengingat mamanya seorang anggota dewan. Berbeda dengan mahasiswa lainnya yang banyak berprofesi sebagai wirausaha atau sebagai pegawai negeri biasa di daerah. Karena dipojokkan oleh teman-temannya, ia mengadu kepada mamanya. Akhirnya mamanya bersedia menyumbangkan dana. Awalnya dijanjikan senilai dua juta rupiah. Tetapi karena berbagai alasan, mamanya hanya memberi satu juta rupiah. Dan, ironisnya uang itu sampai kepada panitia senilai lima ratus ribu rupiah. Tersebab dipangkas oleh Aprilia sendiri. Â
"Diberi judul apa, Ma, proposal ini?"
"Proposal Pembangunan Masjid!" pungkas Nyi Rabiah lega.
___________
[1] Kerja bakti