Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Takdir [Bagian 2]

29 Januari 2014   18:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:20 55 0
Cerita bagian 1 bisa dibaca di SINI
“Mak, kok nangis? Ada apa?” Midah bertanya khawatir melihatku seperti orang yang mendapat pukulan mental sesudah menerima telepon dari orang tak dikenal. Midah memelukku erat-erat, sebab aku sudah mulai menangis tersedu.

“Firman, Dah...si Firman...” jawabku di antara isak.

“Iya, Firman kenapa, Mak?”

“Kecelakaan.” Tangisku kian keras.





“Innalillahi.”

Midah sontak mengucap. “Gimana kondisinya sekarang, Mak?”

Aku menggeleng. Mengusap airmata yang memenuhi pipi. “Nggak tahu. Tadi polisi yang nelpon cuma bilang kalau bus yang dinaiki Firman kecelakaan. Tabrakan dengan bus lain yang menuju Medan.” Sudah payah kuselesaikan kalimatku. Rasanya aku ingin segera terbang menemui anak lelaki kesayanganku.

“Ya Allah!” Midah mulai ikut menangis. “Yang sabar ya Mak. Semoga Firman nggak kenapa-kenapa. Semoga dia selamat.”

Aku mengangguk-angguk. Hatiku mulai berdoa semoga Firman termasuk ke dalam korban selamat.

“Dibawa ke mana korban-korbannya Mak?”

“Rumah Sakit dr. Fauziah, Bireueun. Dah, antar aku ke sana, Dah. Tolong antar aku.” Aku memohon.

“Iya, Mak. Pasti Midah bantuin.” Midah sigap mengeluarkan ponselnya. Berkali-kali dia menelepon –entah siapa- untuk meminjam mobil. Aku hanya bisa terduduk lemas sambil menangis. Setelah menelepon untuk kesekian kalinya, Midah berkata padaku.

“Bang Rahmad tetangga Midah mau, Mak minjamin mobilnya. Dia juga mau sekalian antar kita ke sana. Soal uang minyak biar Midah yang bayarin. Sekarang Mamak siap-siap dulu. Ganti baju, bawa tas. Mau Midah bantuin?”

Aku menggeleng. “Aku bisa sendiri, Dah. Kau tunggu sebentar yah.”

Aku beranjak dengan lemah menuju ke dalam rumah. Sebelum sampai di kamarku, aku melewati kamar Firman. Kubuka pintu kamarnya, memandangi kamar itu dengan perasaan campur aduk. Ya Allah, kumohon jangan biarkan anakku mati. Selamatkanlah dia, ya Allah.

Bergegas aku berganti baju, menjejalkan beberapa bajuku dan baju untuk Firman ke dalam sebuah ransel. Ketika aku keluar rumah, kulihat sebuah mobil telah diparkir di luar pagar rumah. Midah meraih ransel yang kupegang, menyampirkan ke bahunya dan meraih tanganku.

“Ayok, Mak. Itu mobilnya bang Rahmad udah datang. Nanti kita mampir sebentar ke rumah Midah ya. Midah mau ganti baju juga.”

Aku mengangguk.

*************

Sore itu juga sekitar pukul enam sore aku bersama Midah dan Rahmad berangkat menuju Bireuen. Jarak antara Langsa – Bireuen sekitar lima jam. Tidak terlalu jauh sebenarnya, tapi dalam kondisi seperti itu setiap detik yang berlalu terasa sangat menyiksa.

Midah yang duduk di sampingku mencoba menghibur. Berkali-kali dia menawarkan buah, minuman, atau sekedar pijatan di bahu agar aku merasa lebih santai. Aku sangat berterimakasih atas perhatiannya padaku, tapi sungguh aku tak bisa merasa santai. Seluruh sarafku terasa tegang memikirkan nasib anakku.

“Oh ya, Mak, kakak-kakaknya Firman udah dikasih tahu?” Midah tiba-tiba menceletuk.

“Ya Allah, aku lupa, Dah. Tolong kau teleponkan si Inun, si Nyak dan si Mila. Nomor mereka ada di hapeku.” Kusodorkan ponsel, Midah menyambut. Setelah memencet beberapa nomor, dia mulai menelepon.

“Udah semua Midah telepon, Mak. Kak Inun dan Kak Nyak katanya besok pagi-pagi berangkat dari Medan. Sedangkan si Mila nomornya nggak aktif, jadi aku kirim sms aja.” Midah menyerahkan ponsel. Aku menyimpannya dalam tas, lalu kembali melamun.

Menit demi menit berlalu dalam siksaan. Kesabaranku rasanya teramat tipis hari ini. Ingin rasanya kumaki kendaraan yang menyalip kami, atau pengendara truk yang seenaknya parkir di bahu jalan. Bahkan sekali kumarahi Rahmad yang kuanggap terlalu lama di kamar mandi sebuah SPBU.

“Melilit, Mak.” Rahmad nyengir. Kurasa dia maklum atas sikapku hari ini.

Aku bahkan berniat menolak ajakan Midah untuk singgah di sebuah rumah makan. “Nggak usah, Dah. Aku nggak lapar. Lebih baik kita jalan terus biar cepat sampai!” Aku berkeras.

Midah dengan sabar membujukku. “Mamak harus makan, jangan sampai jadi sakit.”

Akhirnya aku mengalah. Sesudah mengisi perut dan shalat jamak maghrib dan isya, kami melanjutkan perjalanan.

**********

Jelang tengah malam kami sampai di rumah sakit dr. Fauziah di Bireueun. Meski malam sudah larut, tapi suasana di rumah sakit terbesar di kota Bireuen ini masih terlihat ramai, terutama di Instalasi Gawat Darurat. Beberapa dokter jaga hilir mudik, anggota keluarga yang menjaga keluarganya, dan beberapa polisi berdiri di sekitaran tempat itu. Dengan hati berdebar aku dan Midah berjalan menuju IGD. Rahmad kami tinggalkan di mobil untuk beristirahat. Kami mendekati seorang dokter yang duduk di belakang sebuah meja. Di samping dia mahasiswa magang yang setengah mengantuk bersandar di dinding.

Di depan dokter muda itu kami berdiri.

“Ada yang bisa dibantu, Ibu?” Lelaki itu bertanya dengan ramah.

Aku melirik Midah, meminta bantuannya. Midah segera mengerti isyaratku.

“Begini, Pak. Kami mencari anggota keluarga. Kami dapat kabar kalau tadi siang ada tabrakan bus dengan bus di daerah Bireuen dan korban-korbannya dibawa ke mari.”

Dokter itu menyikut temannya yang kemudian tergeragap.

“Ya, Pak?” katanya sambil mengucek mata.

“Buka buku daftar pasien!”

“Namanya siapa, Kak?” Dokter itu kembali menatap kami.

Midah melirikku. Cepat-cepat aku menjawab. “Firman Awwadin.”

Mahasiswa magang itu dengan sigap membuka buku catatan dan menelusuri nama-nama yang tercantum. Dokter muda yang kuketahui bernama Mahdi mengajak kami mengobrol.

“Kecelakaannya tragis kali, Kak, Bu. Kurasa kencang kali supir-supir itu bawa busnya. Udah macam dikejar setan aja.”

Kakiku membeku. Kucengkeram lengan Midah lebih erat. Dokter muda itu melanjutkan bicaranya.

“Korban paling banyak ya yang di bus menuju Banda Aceh. Macam mana nggak, busnya udah tabrakan, nabrak tiang listrik trus terbalik jatuh ke sawah-sawah pula. Dari 24 penumpang, cuma enam orang yang selamat.”

Meski nada bicaranya menandakan keprihatinan, tapi tetap saja rasanya ingin kutampar mulut dokter ini. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu di hadapan kami yang sedang cemas setengah mati seperti ini. Midah yang paham kondisiku segera memelukku lebih erat.

“Mak, sabar ya Mak. Mudah-mudahan Firman termasuk yang selamat.” Aku rasakan kakiku semakin lemah. Cepatlah! Cepatlah temukan nama anakku di dalam buku catatanmu.

“Eh, lama betul kau cari namanya. Ada tidak?” Dokter muda itu menegur rekannya. Yang ditegur gelagapan. Rupanya sejak tadi dia mencari nama anakku sambil terkantuk-kantuk. Tiba-tiba dia berseru, “Eh, ada nih, Pak! Namanya Firman Awwadin,ya? Pantas tadi nggak ketemu. Yang tertulis rupanya Firman Alaudin.”

Alhamdulillah. Segala keresahanku, segala kecemasanku seakan terangkat saat itu juga. Terimakasih ya Allah, Firman selamat. Kupeluk Midah erat-erat.

“Si Firman udah nggak di sini lagi ya Bang? Dirawat di mana si Firman itu bang?” Midah bertanya tak sabar. Mahasiswa itu meneliti catatannya. “Ruang Mawar kamar nomor empat.”

“Makasih, bang. Makasih Dokter.” Penuh kegembiraan kusalami keduanya. Hampir saja aku mencium tangan mereka jika keduanya tak segera menarik tangan mereka.

Sesudah bertanya letak Ruang Mawar pada dokter muda itu, kami bergegas mencari. Saat ini hatiku terasa sudah plong. Mungkin Firman mengalami luka-luka. Tak mengapa, yang penting dia selamat. Wajah Midah tak kalah berserinya. Aku bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya.

“Mak, ini ruang Mawar kamar nomor empat. Kita masuk aja ya.”

Belum sempat kami masuk, seorang perawat keluar dari kamar. “Cari siapa ya, Bu?”

Midah menjawab. “Firman Awwadin, korban kecelakaan bus tadi siang, Kak.”

“Kalian ini siapanya ya?” Dia bertanya menyelidik, tapi nada suaranya tetap ramah.

“Ini ibu kandungnya Firman, Kak.” Midah menunjukku. Perawat itu menatapku sebentar. Kemudian ia menjawab. “Silakan menjenguk, dia ada di tempat tidur dekat jendela, tapi tolong jangan berisik ya. Semua pasien sedang istirahat.”

Kami mengangguk serempak. Perawat itu berlalu menuju sebuah ruangan di ujung koridor. Tiba-tiba ia berbalik, “Oh ya, masuknya bergiliran, jangan sekaligus.” Kami mengangguk.

Semula aku masuk duluan dan Midah menunggu di luar. Tapi setelah perawat tadi menghilang di persimpangan, aku memanggil Midah untuk sekalian masuk. Aroma alkohol dan obat langsung menyergap hidung kami. Ruangan itu cukup luas, dengan dinding-dinding berwarna krem yang tampak masih baru. Di dalam ruangan ini ada enam tempat tidur tapi hanya ada empat tempat tidur yang terisi. Semua pasien tampak sedang tertidur. Pandanganku tertuju pada sosok yang sebagian besar tubuhnya , termasuk bagian wajah dan kepala tertutup perban putih. Aku mendekat perlahan dengan penuh keharuan.

“Firman....” Aku berbisik lirih. Susah payah kutahan airmata yang menggenang di pelupuk mata agar tak tumpah. Tubuh itu berbaring menghadap dinding, membelakangiku. Ingin rasanya kubalikkan tubuh itu untuk kupeluk erat, tapi aku tak tega membangunkannya. Kutarik sebuah kursi plastik lalu duduk di bagian kaki tempat tidur. Midah duduk di ranjang seberang yang tak ditiduri pasien.

Entah berapa lama aku memandangi sosok yang tengah tertidur itu. Perasaanku sedikit miris. Sepertinya luka-luka yang diderita Firman cukup parah. Aku bangkit dan mendekati Firman. Tanganku terulur hendak membelai rambutnya. Tepat pada saat itu Firman berbalik. Aku terhenyak. Dia bukan Firman!

[bersambung]

cerita-cerita lain bisa dibaca di SINI

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun