Kasus pesawat MH370 telah membawa duka yang begitu mendalam dalam dunia penerbangan karena musibahnya menyisahkan ketidak-pastian yang cukup lama bagi keluarga penumpang. Dan ini ditambah dengan banyak pendapat ahli penerbangan yang bersifat spekulatif. Ada satu kelemahan mendasar dari banyaknya pendapat para ahli ataupun pengamat penerbangan, yaitu; pendapat mereka butuh data fisik pesawat, apakah pesawat tersebut masih utuh, rusak atau sudah hancur. Tentu pendapat tersebut bukan pendapat yang memiliki nilai pencegahan tapi post-accident dimana korban boleh jadi sudah terjadi.
Memang benar bahwa secara umum setiap pesawat terbang telah dilengkapi FDR system dan ini yang menjadi acuan banyak ahli dalam memberikan pendapat tentang musibah MH370. Disini penulis mencoba untuk tidak berpendapat sebagaimana dengan banyaknya pendapat yang sudah diberikan oleh ahli penerbangan lainnya, tapi penulis mencoba untuk sedikit menelaah adanya kekurangan yang cukup mendasar dalam rekayasa struktur pesawat terbang. Baik dalam kaitan dengan conceptual design yang bisa meningkatan keamanan selama terbang, juga dalam kaitan bisnis yang memberi kesempatan pesawat untuk terbang selama mungkin dengan mengurangi interval maintenance.
Kekurangan tersebut adalah belum diterapkannya konsep structural health monitoring (SHM) system dalam design struktur pesawat terbang. Dimana jika SHM system ini diterapkan secara luas maka bukti fisik yang dibutuhkan untuk membuktikan bahwa telah terjadi kecelakaan menjadi tidak relavan lagi, karena kondisi struktur pesawat terbang sudah dapat diketahui secara automatis bahkan sebelum sebuah kerusakan mencapai nilai kritis. Pada dasarnya konsep ini terinspirasi oleh jaringan syaraf manusia dan dicoba untuk diterapkan pada sebuah struktur pesawat terbang sehingga ia dapat merasakan dan bercerita jika sebuah kerusakan terjadi dan berkembang pada dirinya. Gambar 1 secara sederhana mengilustrasikan konsep tersebut.