Pukul 10.00 hari itu tepat 69 tahun Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Dari berbagai informasi di sekitar saya, ada banyak cara setiap orang merayakan dirgahayu negeri ini. Teman-teman di Kompa Dansa Mandar menghabiskan malam penuh kebersamaan dan kesyukuran di Buttu Pallayangan, Kec. Binuang, Kab.Polman. Mungkin mereka tidak akan pernah melupakan moment melihat matahari terbit pada 17 Agustus hari itu. Di tempat lain, tepatnya di Mamuju, dua kawan dari Kompa Dansa Mandar dan Kak Ridwan Alimuddin menjadi saksi sejarah saat ibu kota Sulawesi Barat itu berhasil memecahkan rekor MURI dengan membentangkan Merah Putih terpanjang di bawah laut. Tepatnya di perairan Pulau Karampuang, Teluk Mamuju. Kain sepanjang 29 meter itu membuat Mamuju menjadi buah bibir sesaat di pemberitaan nasional. Melihat update-an teman-teman tentang kegiatan-kegiatan itu membuat saya iri. Saya yang sedang tidak di Litaq Mandar pun harus memendam iri. Hingga akhirnya terbesitlah ide itu. Saya dan salah seorang teman Kompa Dansa Mandar yang juga sedang di Makassar pun memutuskan trip khusus. “Edisi 17 Agustusan,” kata saya. Namun karena minimnya informasi yang saya ketahui tentang Makassar, akhirnya saya menyerahkan pengaturan rute pada teman saya. Akhirnya pada pukul 10.00, 17 Agustus 2014, saya berdiri di sebuah Monumen. Monumen ini bernama “Monumen Maha Putera Emmy Saelan”. Ironisnya, di hari bersejarah itu tidak ada aktivitas berarti di monumen ini. Bahkan saya dan teman saya mendapati bahwa lahan di sekitar monumen sudah berubah fungsi menjadi sebuah lahan parkir. Tak lama muncul segerombolan anak-anak bersepeda yang mengelilingi monumen tersebut. Monumen Maha Putera Emmy Saelan (Foto : Atria Dewi Sartika) Saya lantas menyapa mereka. Menanyakan beberapa hal tentang monumen tersebut dan tentang tokoh bernama Emmy Saelan. Sayangnya kedua anak yang duduk di kelas 5 dan 6 SD yang saya tanyai bahkan tidak mengenal sosok Emmy Saelan. Mereka hanya tahu bahwa ia pahlawan. Namun ia bahkan tidak mengetahui bahwa Emmy Saelan adalah perempuan. Lebih miris lagi saat saya mendekati monumen dan melihat bahwa plakat yang dipasang di monumen sudah tidak bisa lagi terbaca. Lantas apa informasi yang akan didapatkan pengunjung jika kondisinya seperti itu? Ini sekilas info tentang Emmy Saelan yang saya sarikan dari (
http://www.berdikarionline.com/tokoh/20110718/emmy-saelan-kisah-pejuang-wanita-garis-depan.html) Emmy Saelan ikut berjuang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sebagai anggota palang merah. Namun ia juga ikut memanggul senjata dan melawan Belanda. Perempuan kelahiran Makassar, 15 Oktober 1924 ini anak dari seorang tokoh perjuangan, Amin Saelan. Kepahlawanan Emmy Saelan menjadi fenomenal karena keputasannya untuk meledakkan diri sendiri. Saat itu, 23 Januari 1947, pejuang yang dipimpin oleh Walter Monginsidi dikepung oleh Belanda. Mereka pun memilih mundur. Sayangnya, Emmy Saelan dan 40 orang lainnya terpisah. Mereka pun harus terus berjuang melawan Belanda. Hingga akhirnya Emmy Saelan terjepit. Hanya granat senjata yang tersisa di tangannya. Ia pun memilih meledakkan diri, membawa serta pasukan Belanda yang mengepungnya dan agar ia tidak menjadi tawanan yang bisa membocorkan informasi tentang pergerakan para pejuang Indonesia. Kisah di atas sudah sangat asing bagi generasi muda sekarang. Emmy Saelan hanya dikenal sebagai salah satu nama ruas jalan di Makassar. Tidak banyak yang mengetahui kepahlawanan perempuan ini. Sungguh patut disayangkan. Dan kini kurangnya informasi tersebut kian diperparah dengan kondisi monumen yang memprihatinkan. *** Saat jam digital bertuliskan 11.47 saya dan kawan saya pun bertolak menuju Gowa. Ini karena 3 titik lain yang ingin kami kunjungi ada di Kabupaten Gowa. Titik pertama adalah Makam Pahlawan Nasional Sultan Hasanuddin. Ini adalah pertama kalinya kami datang ke tempat tersebut. Ternyata di pemakaman ini tidak hanya ada makam Sultan Hasanuddin. Namun ada juga makam raja-raja Gowa serta beberapa makam tanpa nama yang katanya adalah makam panglima perang atau orang kepercayaan raja-raja tersebut. Kompleks makam Sultan Hasanuddin (Foto : Atria Dewi Sartika) Ada dua nama yang cukup menyita perhatian saya. Yakni Sultan Abdullah Awalul Islam dan Sultan Alauddin. Dengan berkunjung ke pemakaman ini, saya jadi tahu bahwa di masa pemerintahan Sultan Abdullah Awalul Islam-lah agama Islam berkembang di Gowa. Selain itu, ternyata Sultan Abadullah Awalul Islam menjadi Raja sementara menggantikan Sultan Alauddin yang pada saat diangkat menjadi raja baru berusia 7 tahun. Sedangkan nama Sultan Alauddin bagi saya pribadi saya akrabi sebagai sebagai nama jalan yang semasa SMA setiap hari saya lalui. Namun kini saya jadi lebih tahu bahwa di masa pemerintahan Sultan Alauddin-lah Gowa berkembang pesat sebagai kerajaan maritim. Oiya, saat kami akan keluar dari kompleks pemakaman tersebut, kami melihat sebuah tempat yang unik. Menurut teman saya tempat itu dinamakan “batu pallantikang”. Ya, di tempat itu ada sejumlah batu. Katanya jika raja Gowa akan diangkat menjadi raja, maka ia harus memijak di batu tersebut. *** Meninggalkan Makam Pahlawan Nasional Sultan Hasanuddin, kami melanjutkan perjalanan menuju Makam Arung Palakka. Kami sampai di lokasi saat adzan dzuhur berkumandang. Kami menemukan bahwa gerbangnya terkunci. Kami pun harus merogoh kocek, mengupah seorang anak-anak agar membantu kami memanggil penjaga makam. Saat kami masuk ke makam tersebut, saya mencoba bertanyan tentang siapa sosok Arung Palakka ini. Namun sang penjaga makam yang ternyata putra dari penjaga makam yang sebenarnya malah menyodori kami sebuah buku bersampul biru dengan gambar Arung Palakka tercetak jelas. Makam Arung Palakka (Foto : Atria Dewi Sartika) Maka informasi yang kami dapatkan pun benar-benar seadanya. Bahkan ada dua bangunan putih besar dan sebuah bangunan yang dindingnya ditutupi tegel yang tanpa keterangan berarti. Saya dan teman saya sejujurnya bertanya-tanya tentang kekhususan apa yang dimiliki oleh makam-makam yang ditempatkan di dalam bangunan tersebut. selain itu ada juga sejumlah makam tua yang bentuknya mirip dengan makam tua raja-raja Gowa yang kami lihat di Makam Sultan Hasanuddin. Oiya, makam Arung Palakka sendiri terletak tidak jauh dari gerbang. Berdiri gagah. Dengan sebuah meriam tua tersemen di depannya. Di dalam bangunan tersebut ada dua makam. Yakni makam Arung Palakka dan istrinya. Ketokohan Arung Palakka ini menuai pro-kontra sebab bagi kerajaan Gowa, Arung Palakka ada seorang penjahat karena memerangi kerajaan Gowa dengan bantuan VOC. Namun bagi rakyat Bone, Arung Palakka adalah pahlawan karena melepaskan rakyat Bone dari penjajahan kerajaan Gowa. *** Setelah puas memotret di komplek pemakaman Arung Palakka, kami pun memutuskan untuk shalat dzuhur di masjid tertua Se-Sul-Sel & Sul-Bar, Masjid Tua Katangka. Masjid ini dibangun 1603 M. Masjid ini sudah 2 kali direhabilitasi. Mesjid Tua Katangka Gowa (Foto : Atria Dewi Sartika) Di sekitar masjid ini ada sejumlah makam tua raja-raja Gowa. Sayangnya makam ini tergabung dengan pemakaman umum. Sehingga sangat rapat dan terkesan berantakan. Setelah berteduh sebentar di masjid tersebut, kami pun melanjutkan perjalanan ke titik berikutnya yakni, Kawasan Situs Benteng Somba Opu. Gerbang masuk Benteng Somba Opu Makassar (Foto : Atria Dewi Sartika) Benteng Somba Opu Makassar (Foto : Atria Dewi Sartika) Meskipun saya lahir dan menghabiskan masa SMA dan kuliah di Makassar, namun ini pertama kalinya saya mendatangi tempat tersebut. Memasuki kawasan tersebut, pengunjung akan langsung disuguhi reruntuhan benteng yang dulu dibangun oleh kerajaan Gowa. Di bagian dalam benteng ini terdapat sejumlah rumah ada dari berbagai daerah yang ada di Sulawesi. Ada rumah adat Mamasa, Toraja, Bugis, Mandar, Kajang, Bulukumba, dan daerah lainnya. Rumah adat Bugis (Foto : Atria Dewi Sartika) Rumah adat Mamasa (Foto : Atria Dewi Sartika) Rumah adat Toraja (Foto : Atria Dewi Sartika) Sayangnya beberapa rumah ini malah menjadi rumah tinggal. Entah bagaimana hal ini bisa terjadi. Namun ini membuat pemandangan di rumah-rumah adat tersebut menjadi terganggu. *** Benteng Somba Opu menjadi akhir perjalanan kami hari itu. Setelahnya kami pun mengisi perut yang sedari tadi dibiarkan kosong. Pilihan jatuh ke Coto Makassar di Jalan Gagak. Salah satu coto yang terkenal di Makassar. Banyak orang yang membawa tamu mereka makan di tempat ini. Setelah santap siang yang sangat terlambat itu, kami pun mengejar sunset di Anjungan Pantai Losari sembari mengajak teman-teman KDM Makassar untuk kopdar dadakan. Sayangnya, tidak banyak yang bisa datang. Sunset di Pantai Losari (Foto : Atria Dewi Sartika) Namun itu tidak menyurutkan niat kami mencicipi pisang epe’, salah satu panganan khas Makassar. Dengan itu, berakhir sudah trip hari itu. Banyak oleh-oleh yang bisa dibawa pulang. Tentang bagaimana kita sudah mulai meninggalkan sejarah kita. Tentang bagaimana pemerintah sendiri pun tidak menaruh perhatian yang berarti pada sejarah ini. Monumen mungkin bukanlah saksi sejarah, namun ia menjadi pengingat agar generasi penerusnya tidak lupa pada sejarahnya. Semoga kita, generasi yang menikmati kemerdekaan tanpa mempertaruhkan nyawa bisa ingat tentang hutang kita pada generasi sebelumnya, dan kita punya hutang pada generasi berikutnya untuk tetap membuat mereka mengenal negerinya. Selamat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah mencapai usia 69 tahun. Selamat kepada seluruh rakyatnya yang telah merdeka dari penjajahan secara fisik. Semoga kita bisa terus memerdekakan diri kita sendiri dan generasi penerus kita. Merdeka!
KEMBALI KE ARTIKEL