Kembali mata itu menembusi ruang-ruang dalam hati. Kali ini, tatapannya nanar. Mungkinkah ia telah menemukan jawaban atas pertanyaannya? Jika tadi ia menawarkan kretek, kali ini ia mencoba mendekatkan bibirnya ketelingaku. Suaranya mendesah pelan. Wangi parfumnya menabur kesela-sela udara yang menusuk ke hidungku. Sedangkan nafasnya membentuk harmoni indah.
Aku tetap terdiam. Bukan tak mau peduli pada setiap pertanyaan dan ceritanya. Tetapi aku memikirkan sedang apa kau disana wahai kekasihku?
Sesaat kami terdiam. Pikiranku melayang jauh entah menari atau sedang berlari kedunia antah berantah mana. Lagi-lagi ia menarik dan mengusap jemari yag kini terkulai.
“kamu.... maaf. Aku boleh ngomong?” tanyamu membuka keheningan.
“ada apa?”
“kamu ada masalah? Eh... maksudku, kamu baik-baik aja kan?”
Kulihat kau bersikap sangat hati-hati. Merasa bersalahkah kau atas pertanyaan itu? desahku dalam hati. Jika memang ya, bukan kamu yang seharusnya merasa seperti itu. Harusnya aku yang merasa bersalah dengan keadaan ini. Aku telah menyeretmu sejauh ini. Membawamu dalam luka yang tak pernah sembuh. Seandainya saja bisa kukisahkan ini padamu, akankah kau mau engerti?
“Ingatkah kau sebelum hari itu, saat aku menemuimu dan mengatakan aku ingin berjalan bersamamu. Merasakan rekahan kuntum-kuntum kebahagian musim semi. Juga merasakan gugurnya daun jati saat kemarau. Atau juga merasakan tumbuhnya ilalang dihalaman rumah saat musim hujan. Saat itulah mataku memancarkan sejuta kegelisahan”
“Aku tidak pernah bercerita tentang ini padamu. Tentang perempuan yang dulu pernah mengubah warna hidup ini. Dia memberiku segalanya, dan itu atas nama cinta sekaligus luka. Ia mencintaiku dan aku tahu itu. Tetapi sayangnya, aku tidak pernah bisa membalas cintanya. Aku hanya memanfaatkan selangkangannya. Menindihnya saat ia bahagia atau pun lelah. Menciumnya dengan nafsu dan bayang-bayang kotor dalam pikiran yang kian penat. Bagiku, vaginanya adalah pasangan dari penis ini untuk mendistribusikan sperma bejat yang tak pernah henti diproduksi.”
“Ia terlampau baik padaku. Sejauh aku mengenal kaum hawa, dialah makhluk dari kaum itu yang paling baik sekaligus bodoh. Ia membuat aku menjadi seperti penguasa. Sedangkan ia menempatkan dirinya sebagai budak. Sungguh betapa, ah tak ada kata yang pantas untuk mengungkapkannya. Tetapi, kenapa aku tak bisa mencintainya?”
“Hari itu ia mengatakan kabar buruk bagiku, yang tentunya baik untuknya. Dia hamil. Aku ingat betul wajahnya yang ceria dan sumringah saat itu. setelah mendengar gertakanku, keceriaan itu pun pudar. Ia menangis terisak sambil mengelus perutnya. Selirik doa dipanjatkannya pada yang Kuasa. Berharap, hatiku berubah.”
“Memang, setan selalu bersamaku. Menemaniku sejak aku lahir hingga aku mati, sekali pun aku belum mati. Setelah hari itu, dia pergi dan hanya meninggalka sebuah pesan singkat dan diletakkannya disebelah secangkir kopi. Maaf, jika aku pernah berbuat salah. Aku dan anak kita, pamit ya. Itulah pesan yang ia tulis. Saat itulah aku tahu, segera aku akan menjadi seorang bapak. Memiliki bayi mungil, ah tak terlukiskan betapa bahagianya.”
“Tetapi iblis memang selalu melekat denganku. Setelah tangisan itu pecah kebejatan itu muncul lagi. Aku datang menemuimu. Mengatakan ingin bersamamu selamanya. Ah, sebeginikah bodohnya aku? Adakah maaf dihatimu untukku? Aku tidak yakin”
“sayang, kamu terlihat lelah. Kita pulang ya?” suaramu memecah lamunanku.
“sekarang jam berapa? Kamu tidak betah disini?” aku mencoba jawab seadanya.
“ kita disini sudah hampir 6 jam. Dan kamu hanya diam. Membosankan!” ketus suaramu mengisyaratkan kekesalan yang dalam.
“sayang, kamu lihat perempuan dan anak kecil yang disana? Anak itu manis sekali. Lucu.. Sedari tadi aku perhatiin, ia selalu membuat ibunya tersenyum.” Lanjutmu manja sembari menggandeng tanganku dan beranjak pulang.
“Dia anakku.” Keluhku dalam hati.
Dan senja pun jatuh perlahan dalam melodi kegelisahanku.