Banyak pihak mengecam pengunduran diri Ahok dari partai yang mengusungnya sebagai Wagub dalam pilkada DKI Jakarta beberapa tahun silam. Terutama rekan-rekan separtainya. Ada yang menyebut Ahok sebagai orang yang tak tahu berterima kasih. Ada pula yang menyebut ‘kutu loncat’. Sebutan ini memang sering dialamatkan kepada politisi yang kerap berpindah-pindah partai. Ruhut Sitompul pun pernah disebut demikian. Tetapi dalam politik itu biasa. Namun kali ini, sebutan itu terasa begitu kasar. Mungkin karena Ahok merupakan tokoh yang sedang ‘naik daun’ saat ini bersama beberapa orang lain. Dan mungkin juga karena partai Gerindra merupakan partai yang masih dirundung suasana kekalahan dalam pilpres lalu. Apalagi berhembus kabar, Ahok akan merapat ke PDIP Perjuangan. Partai yang memenangkan pileg dan pilpres. Apa pun itu, Ahok telah disebut kutu loncat. Tetapi sebutan ini baik bila dibandingkan dengan kutu busuk yang kerjanya menghisap darah dan menimbulkan bau tak sedap pada saat diserang atau mati. Di negeri kita ini, tak sedikit oknum politisi kutu busuk. Parasit. Penghisap darah rakyat melalui korupsi. Sepak terjang mereka menimbulkan bau busuk menyengat. Ahok tak ingin seperti ini. Ia lebih senang disebut kutu loncat ketimbang kutu busuk, mungkin. Kutu loncat akan meloncat dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan habitat yang nyaman. Begitu dirasanya tak lagi nyaman, ia meloncat lagi. Sebaliknya kutu busuk tak akan pergi ke mana-mana. Ia memilih tinggal di tempat yang kotor dan memangsa segala yang kotor itu. Memang, lebih baik disebut kutu loncat daripada kutu busuk!