Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ruang Kelas

Hukum Perdata Islam di indonesia

14 Maret 2024   19:23 Diperbarui: 14 Maret 2024   19:25 56 1
Review Buku : Hukum Perdata Islam Di Indonesia
Atika Rahmandayani[22212118]
Hukum Keluarga Islam 4C
Universitas Islam Negri Raden Mas Said Surakarta
Identitas buku :
Judul buku          : Hukum Perdata Islam Di Indonesia
Penulis                : Prof. Dr.H.zainuddin Ali,M.A.
Penerbit              : Sinar Grafika
Kota Penerbitan : Jakarta
Tahun Terbit        : Cetakan Keenam, April 2018
ISBN                   : 979-3421-08-8
Jumlah Halaman  : 160
Latar Belakang
Buku " Hukum Perdata Islam Di Indonesia" karangan dari prof. Dr.H. Zainuddin Ali,M.A. Di dalam buku ini membicarakan hukum perdata islam diindonesia atau yang biasa disebut fikih muamalah, baik dalam pengertian umum maupun khusus. Hukum Perdata Islam dalam pengertian umum adalah norma hukum yang memuat :
1. Munakahat (hukum perkawinan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian, serta akibat hukumnya
2. Wirasah atau Faraid (hukum kewarisa mengatur segala persoalan yang berkaitan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, harta warisan, serta pembagian warisan).
Adapun dalam pengertian khusus, fikih muamalah mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas kebendaan,jual beli, sewa menyewa dll.
Bisa dipahami dan dicermati  dari pengertian diatas, bahwa Hukum Perdata Islam Di Indonesia adalah segala yang berkaitan dengan hukum perkawinan,kewarisan,dan pengaturan masalah mengenai kebendaan dan hak-hak atas benda, jual beli,sewa menyewa dll.
Buku ini merupakan sebuah pikiran seseorang yang sudah pakar dalam bidangnya menguraikan Hukum Perdata Islam Di Indonesia secara cerdas,padat, dan bernuansa keilmuan yang tinggi, dapat memiliki oleh semua pihak yang ingin mendalamu Hukum Perdata Islam.
Isi Buku
Buku karangan dari Prof. Dr.H. Zainuddin Ali,M.A . ini membahas berbagai aspek yang mencangkup Hukum Perdata Islam Di Indonesia yang lebih mendalam. Dalam buku ini ada 12 bab sebagai belikut:
Bab 1 Hukum Perdata Islam Di Indonesia
pada bab ini menjelaskan tentang Pengertian, Ruang lingkup Hukum Perdata Islam,Keberadaan Hukum Perdata Islam, dan Kekuatan hukumya diindonesia.
A. Pengertian dan Ruang lingkup Hukum Perdata Islam
Hukum perdata islam atau yang biasa sering disebut dengan fikih muamalah dalam pengertian umum fikih munakahat membahas tentang perkawinan,perceraian,akibat-akibat hukumanya. dan ada juga sebutan wirasah atau faraid yang membahas tentang mengatur segala persoalan yang berhubungan dengan pewaris,ahli waris,harta peninggalan, dan pembagian warisan.
B. Keberadaan hukum perdata
Hukum Perdata Islam dilihat dari aspek keberadaanya dalam perumusan dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI (badan penyelidik usaha persiapan kemerdekaan indonesia) yaitu para pemimpin islam berusaha untuk memulihkan dan mendudukan Hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka. Daam tahar awal, usaha para pemimpin tidak sia-sia, yaitu lagirnya Piagam Jakarta pada 22 juni 1945. telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya.
Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syarian islam bagi islam, syariat nasrani bagi nasrani, syariat Hindi-Bali bagi orang Hindu-Bali.
Syariat yang berasal dati agalan islam, yang disebut syariat islam tidak hanya memuat hukum sholat,zakat,puasa, melainkan juga mengandung hukum-hukum dunia baik keperdataan maupun kepidanaan yang memperluangkan kekuasaan negara untuj menjalankanya secara sempurna.
C. Kekuatan Hukumnya Di Indonesia
Apabila kekuatan Hukum Perdata islam di Indonesia dianalisis, perlu di ungkapkan produk pemikuran hukum Islam di Indonesia.seiring pertumbuhanya dan perkembaganganya yaitu:
1. Syariah yaitu jalan hidup yang wajib ditempuh oleh setiap muslim
2. Fikih yaitu hukum islam yang berdasarkan pemahaman yang diperoleh seseorang dari suatu dalil,ayat,nash al quran atau hadis Nabi Muhammad.
3. Fatwa yaitu hukum islam yang dijadikan jawaban oleh seseorang atau lembaga atas adanya pertanyaan yang diajukan kepadanya.
4. Keputusan Pengadilan Agama yaitu keputusan yang dilakukan atau yang sudan menjadi kesepakatan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama atas adanya permohonan,penetapan atau gugatan yang diajukan oleh seseorang.
5. Perundang-undangan Indonesia yaitu hukum islam yang bersifat mengikat secara hukum ketatanegaraan.
Bab 2 Pengertian,Prinsip-Prinsip Hukum Perkawinan Serta Peminangan Dan Akibat Hukumnya
A. Pengertian Hukum Perkawinan Dan Prinsip-Prinsipnya
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang prian dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tunjuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Prinsip-Prinsip Hukum Perkawinan yang bersumber dari Al-quran dan Alhadis yang kemuadian dituangkan dalam garis hukum melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 mengandung 7 (tujuh) asas atau kaidah hukum,yaitu sebagai berikut:
1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
2. Asas kebsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan,dan harus dicatat okleh petugas yang berwenang
3. Asas monogamu terbuka
4. Asas calom suami dan istri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan perkawinan
5. Asas mempersulit terjadinya perceraian
6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri
7. asas pencatatan perkawinan
B.Peminangan, Pengertian,Syarat,Halangan,dan Akibat Hukum
1. pengertian peminangan
peminangan adalah langkah awal menuju perhodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Peminangan adalah upaya yang dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan wanita dengan cara yang baik (ma'ruf).
2. Syarat dan Halangan Peminangan
Syarat peminangan tidak dapat dipisahkan dari halanganya. Karena syarat  dan halangan peminanagan diuraikan dalam suatu subpembahasan.
telah diungkapkan okeh Allah dalam surah Al-Baqarah(2) ayat 235 seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, sehingga garis hukum peminangan terinci di dalam Pasal 12 ayat(1) Kompilasi Hukum Islam mengatur syarat peminangan, bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddah-nya.
3. Akibat Hukum peminangan
Pelaksanaan peminangan yang dilakukan oleh seorang laku-laki kepada seorang wanita tidak mempunyau akibat hukum. Pasal 13 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam mengatur sebagai berikut:
a. peminangan belum menimbulkan akibat hukun dan para pihak bebas menutuskan hubungan peminangan
b. kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat,sehingga tetap terbiba kerukunan dan saling menghargai.
C. Syarat-Syarat Perkawinan
1. Syarat-Syarat calon menpelai pria:
     a.beragama islam
     b.laki-laki
     c.jelas orangnya
     d.dapat memberikan persetujuan
     e.tidak terdapat halangan perkawin
2. Syarat-Syarat calon mempelai wanita
     a.beragama islam
     b.perempuan
     c.jelas orangnya
     d.dapat dimintai persetujuan
     e.tidak terdapat halangan perkawinan
Pasal 17 KHI
1. sebelum berlangsungnya perkawinan,pegawai pencatatat Nikah mananyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua orang saksi nikah.
2. bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidaj dapat dilangsungkan.
3. Bagi calon mempelai yang menderita tunawicara atau tunarungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomoe 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun.ketentuan batas umur dinyatakan dalam pasa 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam didasarkan kepadan pertimbangan kemaslahatab keluarga dan rumah tangga perkawinan.
Bab 3 Mahar, Pencatatan, Akta Nikah,Larangan, Pencegahan, Dan Pembatalan Perkawinan
A. Mahar atau Maskawin
Mahar yautu pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik bentuk barang,uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam.
Pasa 30 sampai pasa 38 Kompilasi Hukum Islam mengemukakan garis hukum mengenai ketentuan mahar,yaitu sebagai berikut:
Pasal 30
Calon memepelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah,bentuk,dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesedehanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran islam
Pasa 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sehak itu menjadi hak pribadinya.
Pasal 33
1. Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai
2. Apabila calon mempelai wanita menyetujui,penyerahan mahar bolej ditangguhkan baik untuj seluruhnya atau untuk sebagian.
Pasal 34
1. Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.
2. Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah,tidak menyebabkan batalnya perkawinan.
Pasal 35
1. Suami yang mentalak istrinya qobla al dukhul wajib membayar setelah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah
2. Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya
3. Apabila perceraian terjadi qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum disegerakan,mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesainya diajukan ke pengadilan agama.
Pasal 38
1. Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat,penyerahan mahar dianggap lunas.
2. Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat,suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat.
B. Pencatatan Perkawinan Dan Akta Nikah
1. Pencatatan Perkawinan
Al-quran dan Alhadis tidak mengatur secara terperinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan okeh masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui perundang-undangan, baik Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun melalui Kompilasi Hukum Islam. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyrakat, baik perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum islam.
2. Akta Nikah
Setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita untuk melangsungkan perkawinan,yang kemudian kesepakatan itu diumumkan oleh Pihak Pegawai Pencatat Nikah dan tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud,perkawinan dapat dilangsungkan.
C. Larangan perkawinan
1. Larangan Perkawinan Selama-lamanya
a. karena pertalian nasab:
1. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkanya atau keturunanya.
2. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
3. dengan seorang wanita saudara yang melahirkanya.
b. karena pertalian kerabat semenda:
1. dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya
2. dengan seorang bekas istri orang yang menurunkanya
3. dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya,kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al dukhul
4. dengan sekarang wanita bekas istri keturunanya
c. karena pertalian sesusuan:
1. dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas
2. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis kebawah
3. denga seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan kebawah
4. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas
5. dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunanya.
2. Larangan Perkawinan Dalam Waktu Tertentu
Larangan perkawinan dalam waktu tertentu bagi seorang pria dengan seorang wanita, diungkapkan secara rinci dalam pasal 40 sampai 44 KHI. hal tersebut diuraikan sebagai berikut:
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terkait satu perkawinan dengan pria lain
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
c. seorang wanita yang tidak beragama islam
Pasal 41
a. seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seseorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya:
1. saudara kandung seayah atau seibu serta keturunanya
2. wanita dengan bibinya atau kemenakanya.
b. larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raj'i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasa 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam masa iddah talak raj'i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat atau perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj'i.
Pasal 43
1. dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
a. dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali
b. dengan seorang wanita bekas istrinya yang dali'an.
2. larangan tersebut pada ayat 1 huruf a gugur.
Pasal 44
Seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria tidak beragama islam.
D. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
1. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam yang diundangkan. pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan berdasarkan hukum islam yang termuat dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaktu perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan.
2. Pembatalan Perkawinan
Pembatalan Perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad nikah. Perkawinan dapat dibatalkan baik berdasarkan pasal 22,24,26 dan 27 Undang- Undang Nomor 1 tahun 1474 sebagaimana diungkapakan sebagai berikut.
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan dari salah satu dari kedua belah pihak, dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangu ketentuan pasa 3 ayat 2 dan pasal 4 undang-undang ini.
Pasal 26
1. perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatatan perkawinan yang tidak berwenang, maka nikah yang tidak sah, atau yang dilangsunguan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi dapat dimintakan pembatalanya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami istu, jaksa dan suami atau istri.
2. hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat 1 pasal ini gufu apabila mereka telah hidup bersama aebagai suami istri yang dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawau pencatat yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbarui supaya sah.
Pasal 27
1. seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum
2. seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Bab 4 Perjanjian, Perkawinan, Wanita hamil, Dan Poligami Dalam Hukum Perkawinan
A. Perjanjian Dalam Perkawinan
Perjanjian daam pelaksanaan perkawinan diatur dalam pasa 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu sebagai berikut:
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadskan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan
2. perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,agama, dan kesusilaan
3. perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
4. selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah.
B. Perkawinan Wanita Hamil
Perkawinan Wanita Hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah,kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya.
C. Alasan, Syarat,Dan Prosedur Poligami
1. Alasan Poligami
Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin. Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan sebagai berikut:
a. apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibanya
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
2. Syarat-Syarat Poligami
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberika persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut:
A. Untuk mendapat mengajukan permohonan Kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut
1. adanya persetujuan dari pihak istri
2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri dan anak
3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak- mereka.
B. Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istrinya tidak mungkin dimintai persetujuanya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian.
C. Prosedur Poligami
Prosedur poligami menurut pasal 40 Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam pasal 56,57 dan 58 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
Pasal 56
1. suami yang hendak ber istri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama
2. pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab Vlll peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
3. perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua,ketiga,atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama, tidak memlunyai kekuatan hukum.
Pasa 57
1. ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suamu kawin lagi
2. ada atau tidaknya persetujuan dari istri,baik persetujuan lisan maupun tulisan
3. ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya.
Pasal 58
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis ataupundengan lisan, tetapi meskipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuab liaan istru pada sidang pengadilan agama.
Bab 5 Hak Dan Kewajiban SuamI Istri
A. Hak dan Kewajiban Suami istri
1. kewajiban suami yang mempunyai seorang istri diatur oleh pasa 80 dan 81 KHI. sebagai berikut:
a. suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangga
b. suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuanya
c. suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama,nusa,dan bangsa
d.suami dengan penghasilanya suami menanggung:
1. nafkah,kiswah,dan tempat tinggal
2. biaya rumah tangga,biaya perawatan,dan biaya pengobatan bagu istri dan anak
3. biaya pendidikan bagi anak
e.kewajiban suami terhadap istrinya sepertu tersebut pada ayat 4 huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
f.istri dapat membebaskan suaminya daru kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat 4 huruf a dan b
g. kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat 5 gugut apabila istri nusyuz
Pasal 81
a. suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak atau istri yang masih dalam masa iddah
b. tempat kediaman adalah tempat yang layak untuk istri selama daam ikatan perkawinan
c. tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak dari gangguan yang lain.
d. suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggal.
2. Kewajiban istri
Diatur dalam pasal 34 Undang-Undang perkawinan secara umum dan secara rinci (khusus) diatur dalam pasal 83 dan 84 KHI.
Pasal 83
1. kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbaktu lahir dan batin kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam
2. istri menyelengarakan dan mengatur keperluan rumah tabgga sehari-haru dengan baiknya
Pasal 84
1. isri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana di maksud dalam pasal 83 ayat 1 kecuali dengan alasan yang sah
2. selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat 4 huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya
3. kewajiban suami tersebut pada ayat 2 diatas berlaku kembali sesudah istri tidak nustyz
4. ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.
B. Harta kekayaan Dalam perkawinan
1. Harta Bersama
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan
2. Pertanggung jawaban terhadap suami
salah satu tanggung jawab suami adalah memberikan nafkah kepada istrinya dan keluarganya, baik nafkah lahir maupun nafkah batin sesuai dengan kemampuanya.
C. Asal Usul Anak
Asal usul anak adalah dasar untuk menunjukan adanya hubungan nasab dengan ayahnya. kebanyakan ulama berpendapat bahwa anak yang lahir sebagai akibat zina atau lian hanya mempunyai hubungan kekerabatan dengan ibu yang melahirkanya menurut pemahaman kaum sunni.
D. Pemeliharaan anak dan Tanggung Jawab anak terhadap anak bila terjadi Perceraian
1. Pemeliharaan anak
Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek yaitu pendidikan, biaya hidup, kesehatan, ketentraman, dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhanya.
E. Perwalian
Perwaian adalah kewengan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua,atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Bab 6 Putus Perkawinan,Tata cara perceraian, Dan Masa Iddah
A. Putus Perkawinan ( Karena Kematian,Perceraian,Dan Putusan Pengadilan) Serta Akibat-Akibatnya
1. Putus perkawinan
Putus perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putus ikatan bisa berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia,antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah seorang diantara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.
2. Akibat Putusnya Perkawinan
Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam Undang-Undang perkawinan maupun yang tertulus dalam KHI. Putusan ikatan perkawinan dimaksud, dapat dukelompokkan menjadi 5 karakteristik yaitu sebagai berikut:
a. Akibat Talak
b. Akibat Perceraian( cerai gugat)
c. Akibat Khulu'
d. Akibat li'an
e. Akibat Ditinggal Mati Suami
B. Tata Cara Perceraian
Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran agama islam.Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan,kedamuan, dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapau sehingga yang terhadu adalah perceraian. Perceraian diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan pasal 115 KHI.
1. Cerai Talak (Suami yang Bermohon untuk Bercerai)
2. Cerai Gugat( Istri yang Bermohon untuk Bercerai)
C. Masa Iddah (Waktu Tunggu)
Masa iddah (waktu tunggu) adalah seorang istri yang putus perkawinanya dari suaminya,baik putus karena perceraian,kematian, maupun atas keputusan pengadilan, Masa iddah tersebut hanya berlaku kepada istri yang sudah melakukan hubungan suami istri.
D. Rujuk
1. Pengertian Rujuk
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali. Rujuk dalam pengertian terminologi adalah kembalinya suamu kepada hubungan nikah dengan istri yang telah di cerau raj'i, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa iddah.
Rumuk dalam hukum perkawinan islam merupakan tindakan hukum yang terpuji.
2. Tata Cara Rujuk
Tata cara dan prosedur rujuk telah diatur dalampasal 32,33,34 dan 38 Peraturab menteru agama RI Nomor 3 Tahub 1975 tentang kewajiban pegawai pencatat nikah dan tata kerja pengadilan agama dalam melaksanakan peraturab perundang-undangab perkawinan bagubyang berafama islam. Kemudian dirimci oleh pasal 167,168, dab 169 Kompilasi Hukum Islam.
E. Sanksi Pidana Dalam Hukum Perkawinan
Sanksi pidana dalam hukum perkawinan adalah hukuman yang akan diterima oleh pihak-pihak tertenty yang melanggar gukum perkawinan. Sanksi pudaba diatur dalam pasal 45 peraturan pemerintah Bomor 8 Tahun 1975.
F. Perkawinan Antar (Pemeluk) Agama dan Status Kewarganegaraan Yang Berbeda
1. Perkawinan antar pemeluk agama
Perkawinan antar pemeluk agama (pria yang beragama islam dengan wanita yang ber agama islam selain islam atau sebaliknya) tidak diatir dalam peraturan perundang-undangan diindonesia, baik dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, maupun dalam Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991.
Bab 7 Hukum Kewarisan Islam
A. Dasar Hukum kewarisan Islam
Dasar hukum kewarisan islam diindonesia adalah al-quran, hafist rasulullah, perundang-undangan, kompilasi hukum islam, pendapat para sahabat, dan pendapat ahli hukum islam melalui ijtihadnya.
B. Ayat-Ayat Al-quran Yang Mengatur Hukum Kewarisan Islam dan Pengalihan Hak atas Harta
1. Al-quran surah an-nisa (4) ayat 7
2. Al-quran surah an-nisa (4) ayat 8
3. Al-quran surah an-nisa (4) ayat 11
4. Al-quran surah an-nisa (4) ayat 12
5. Al-quran surah an-nisa (4) ayat 33
6. Al-quran surah an-nisa (4) ayat 176
7. Al-quran surah al-Baqarah (2) ayat 180
8. Al-quran surah al-Baqarah (2) ayat 240
9. Al-quran surah al-Baqarah (2) ayat 233
10. Al-quran surah Al-ahzab (33) ayat 4
C. Hadis Rasulullahg ayang menjelaskan Hukum Kewarisan Islam dan Pengalihan Hak atas Harta
1. Hadis Rasulullah dari huzail bin syurahbil yanh diriwayatkan oleh imam bukhari, Abu dawud, At- tirmidzi, dan ibnu majah.
2. hadis Rasulullah dari Qobisah bin Syu'aib yang diriwayatkan oleh perawi yang lima selain An-nasai.
3. Hadis Rasulullah dari Sa'ad bin Waqqas yang diriwayatkan oleh Bukhari.
Bab 8 Sebab-Sebab Ada Dan Hilangnya Hak Serta Syarat- Syarat hukum Kewarisan Islam
A. Sebab-Sebab adanya Hak Kewarisan Dalam Islam
1. Hubungan Kekerabatan
Hubungan kekerabatan atau bisa disebut hubungan nasab ditentukan oleh adanya hubungan darah dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat adanya kelahiran
2. Hubungan perkawinan
Dalam kaitanya dengan hukum kewarisan islam, berarti hubungan perkawinan yang sah menurut hukum islam.
B. Sebab-Sebab Hilangnya Hak Kewarisan Dalam Islam
1. Perbedaaan agama
Perbedaan agama merupakan penyebab hilangnya hak kewarisan sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah dari Usamah bin Zaid,diriwayatkan oleh Bukhari,Muslim, Abu dawud,At tirmidzi dan ibn majah yang telah disebutkan bahwa seorang muslim tidak menerima warisan dari yang hukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima waeisan dari seorang muslim.
2. Pembunuhan
Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris yang dibunuhnya.
C. Syarat-Syarat Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam
Kalau dianalisis syarat-syarat adanya pelaksanaan hukum kewarisan islam, akn ditemukan 3 (tiga) syarat yaitu:
1. kepastian meninggalnya orang yang mempunyai harta
2. kepastian hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal dunia
3. diketahui sebeb-sebab status masing-masing ahli waris
D. Unsur-Unsur Hukum Kewarisan Islam
1. Perawis adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama islam,meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup.
2. Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,biaya pengurusan jenazah,dan penbayaran utang serta wasiat pewaris
3. Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kemerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan(nikah) dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris
E. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
1. Asas Ijbari adalah pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warinya berlaku dengan sendirinya menurut kelutusan Allah tanpa digunakan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
2. Asas Bilateral adalah seorang menerima hak atau bagian warusan dari kedua belah pihak.
3. Asas Individual adalah harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.
4. Asas Keadilan Berimbang adalah keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluandan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban
5. Asas Akibat Kematian adalah kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seorang.
Bab 9 Pengelompokan Ahli waris Dan Contoh-Contoh Pembagian Harta Warisan
A. Pengelompokan Ahli Waris
Kalau pengelompokan ahli waris dianalisis dalam al-quran surah An- Nisaa (4) ayat 11,12,176,dan 33, hadis Rasulullah dan Kompilasi Hukum Isalam maka pengelompokan itu terdiri atas:
1. hubungan darah yang meliputi golongan laki-laki yang terdiri atas: ayah,anak laki-laki, saudara laki-laki,paman dan kakek, dan golongna perempuan terdiri atas: ibu,saudara perempuan,tante, dan nenek
2. hubungan perkawinan terdiri atas duda atau janda.
B. Contoh Pembagian Harta Warisan
Sehubungan dengan pengelempokan ahli waris yang telah disebutkan baik ahli waris kelompok pertama,akhlinwaris kelompok kedua,maupun ahli waris kelompok ketiga, maka dapat diuji melalui pembuktian ayat-ayat Al-quran yang mengambarkan ada pewaris yang meninggalkan anak,ibu,janda,saudara laki-laki pewaris, dan ahli waris penganti (cucu pewaris melalui anak perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya); ada pewaris yang meninggalkan anak,meninggalkan janda,meninggalkan saudara laki-laki (ashobah); ada pewaris yang meninggalkan anak,cucu melalui anak perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya, cucu melakui anak laki-laki yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya, janda dan saudara perempuan.
C. Pengolongan Perolehan Ahli Waris
1. ahli waris yang selalu menperoleh pembagian
2. ahli waris yang memperoleh 1/2 (seperdua)
3. ahli waris yang menperoleh 1/3 (sepertiga)
4. ahli waris yang memperoleh 1/4 ( seperempat)
5. ahli waris yang memperoleh 1/6 (seperenam)
6. ahli waris yang memperoleh 1/8 (seperdelapan)
7. ahli waris yang memperoleh 2/3 ( duapertiga)
Bab 10 Hibah Dan Wasiat Dalam Hukum Perdata Islam
A. Hibah
Hibah adalah pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorabg atau untuj kepentingan sesuatu badan sosial,keagamaan,ilmiah,juga kepada seseorang yang berhak menjadi ahli waris.
Rukun Hibah:
1. pemberi hibah
2. penerima hibah
3. harta atau barang yang dihibahkan
4. ijab-qabul
B. Wasiat
Wasiat adalah penyerahan hak atas harta tertentu dari seseorang kepada orang lain secara sukarela yabg pelaksanaanya ditangguhkan hingga pemilik harta meninggal dunia.
Ketentuan Wasiat:
1. pemberi wasiat
2. penerima wasiat
3. harta atau barang yang diwasiatkan
4. ijab-qabul
Bab 11 Transaksi Jual Beli, Sewa Menyewa, Upah Mengupah Dan Utang Piutang Menurut Hukum perdata Islam
1. Pengertian jual beli adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh pihak penjual dan pihak pembeli terhadap suatu barang dengan harga yang disepakatinya
2. Unsur-Unsur Jual Beli
     a.penjual
     b.pembeli
     c.barang jualan
     d.ijab qabul atau serah terima
     e.suka sama suka
B. Pengertian ijarah dan dasar hukumnya
1. Pengertian ijarah
Ijarah adalah suatu transaksi sewa-menyewa antara pihak penyewa dengan yang mempersewakan sesuatu harta atau barang untuk mengambil manfaat dengan harga tertentu dan wakru tertentu.
2. Syarat-Syarat ijarah
a. harus diketahui kegunaanya
b. pemanfaatan barang yang disewa      harus yang dibolehkan
c. harus diketahui oleh penyewa mengenai jumlah upah atau sewa dari suatu pekerjaan.
C. Pengertian Ji'alah dan Dasar Hukumnya
Jialah menurut bahasa adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang atas apa yang telah dikerjakanya. Menurut istilah syara jialah adalah membolehkan seseorang untuk mendayagunakan harta tertentu yang telah diserahkan kepadanya dalam suatu pekerjaan  yang khusus.
D. Pengertian Hiwalah dan Dasar Hukumnya
Hiwalah adalah pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang kepada tanggung jawab orang lain.
Persyaratan hiwalah adalah sebagai berikut:
1. utang yang berada  ditangan peminjam adalah utang yang sudah jelas menjadi tanggung jawab pihak pemberi pinjaman yang hendak memindahkan pinjamanya kepadanya.
2. hendaknya piminjam dan pemberi pinjaman.
Bab 12 Bentuk-Bentuk Persyarikatan Bagi Hasil Dalam Hukum Perdata Islam
1. Pengertian Persyarikatan atau Musyarakah
Musyrakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana.
2. Bentuk-Bentuk Syirkah
      a. syirkah Al 'Inan
      b. syirkah Mufawadhah
      c. syirkah Amal
      d. syirkah wujuh
B. Mudharabah (kerja sama bagi hasil)
Mudharabah disyariatkan berdasarkan Ijma (kesepakatan) para sahabat dan berdasarkan kesepakatan para imam  yang menyatakan kebolehanya.
C. Muzara'ah
Muzara'ah adalah pemilik tanah menyerahkan sebidang tanahnya kepada pihak lain untuj digarap untuk ditanami padi,jagug,dan tanaman lainya.
Dasar Hukum Muzara'ah adalah boleh menurut kebanyakan para sahabat dan tabiin.
 
Inspirasi
Dalam buku karya Prof. Dr. Zainuddin Ali, M.A. ini disini menjelaskan banyak hal yang mendalam dan sangat terperinci sehingga mudah untuk dipahami oleh pembaca. dengan penjelasnya yang sistematis pembaca diajak untuk memahami dasar-dasar ilmu hukum perdata islam di indonesia.
Tidak hanya itu saja penulis bukan cuma memberi penjelasan saja akan tetapi juga memberikan contoh-contoh kasus yang aktual san relevan, sehingga pembaca dapat memperoleh pemahaman yang baik tentang konsep-konsep dan penjelasan tersebut
Kesinpulanya,Buku " Hukum Perdata Islam Di Indonesia" Karya Prof. Dr. Zainuddin Ali, M.A. adalah segala yang berkaitan dengan hukum perkawinan, kewarisan dan pengaturan masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, aturan jual beli, pinjam meminjam, persyarikatan (kerjasama bagi hasil), pengalihan hak dan segala yang berkaitan dengan transaksi. .

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun