Di salah satu daerah di Yogyakarta pada tanggal 6 Oktober 61 tahun yang lalu, lahirlah seorang yang gigih dan setia dalam menjalani pekerjaannya. Di usianya yang tak lagi muda, ia masih menunjukkan eksistensi dan kesetiannya dalam pekerjaan yang dijalaninya. Ya, dia tak lain dan tak bukan adalah Bondan Nusantara. Seorang wartawan yang sekarang menjadi redaktur rubrik SWARAKAMPUS di salah satu koran terbitan Yogyakarta untuk mengampu para mahasiswa untuk membidani pelatihan jurnalistik dan menemani mahasiswa untuk menulis berita maupun features ataupun berita kisah yang dimuat di SWARAKAMPUS .
Bondan memulai karirnya menjadi wartawan sejak tahun 1980 dan masih menjadi wartawan sampai sekarang. Awal karirnya ini sebenarya tidak sengaja ingin menjadi seorang wartawan, hanya karena dari hobi menulis ini menghantarkan beliau bertemu dengan seorang redaktur yang bernama Hanung K. yang kemudian mengajari beliau menjadi wartawan. Meskipun beliau bukan lulusan Komunikasi dan hanya sampai SMA, beliau survive menjadi wartawan karena beliau terlahir dalam era yang belum terlalu mementingkan link and match antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaan atau harus lulusan dari S1 dan dunia kerja masih sangat luas menghantarkan beliau menjadi wartawan otodidak yang dalam tuntutan pada zaman itu adalah siapa yang terus belajar secara otodidak itulah yang akan menjadi wartawan.
Keterampilan yang dibutuhkan dalam profesi wartawan merupakan kepekaan kita sebagai jurnalis untuk melihat persoalan dan peristiwa yang tidak diperhatikan orang lain. Kepekaan akan terlatih jika kita asah terus menerus. Jika kita terus mengasah kepekaan kita nanti kita akan dapat melihat macam-macam hal yang bisa kita tuangkan ke dalam tulisan. Memperhatikan sekitar, memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat menjadi sangat penting untuk kepekaan kita.
Menurutnya, dalam setiap pekerjaan pasti ada suka dan dukanya. Namun, menurut beliau tidak ada duka, yang ada hanya hambatan dan tantangan seperti saat dikejar deadline yang harus dipenuhi.
Selama 33 tahun bekerja tidak pernah sekalipun terbersit dalam pikirannya utuk alih profesi, karena dia sudah yakin bahwa profesi yang dijalaninya merupakan religiusitas yang Tuhan sudah mengharuskannya untuk menjadi wartawan. Ketika bekerja ia jarang berhadapan dengan kebosanan, namun kejenuhan yang kadang dirasakan. Untuk mengatasi kejenuhannya, biasanya ia menghilangkannya dengan berkesenian. Beliau biasa berkesenian dengan teman-teman mahasiswa dan mengadakan pentas-pentas yang bukan semata-mata karena uang, tapi kumpul membuat sesuatu dan menyenangkan untuk semuanya.
Dalam menulis ia tidak memikirkan honor yang akan didapatnya. Ia hanya memikirkan gagasanya dan pikirannya akan dapat diketahui oleh orang lain. Menurutnya, honor adalah sebuah akibat, bukan sebab.
Menjadi wartawan tidak harus dari lulusan Komunikasi, meskipun penting, namun bisa juga karena bakat yang masing-masing dari kita miliki. Hanya tinggal bagaimana kita mengoptimalisasi bakat itu menjadi sesuatu yang bermanfaat dan peka serta memperhatikan apa yang tidak diperhatikan orang lain untuk dapat diperoleh, didapat dan dilihat oleh semua orang untuk memajukan peradaban.