Suatu malam dalam lelapku,
Aku tahu aku nyaris mati, begitu nyata saat
Ajal mendekatkan wajahnya pada wajahku,
Bacinnya anyir menusuk hidung, tatap gelapnya mengancam:
“Kau dan aku, perjanjian ini belum usai,
Aku akan menunggumu”. Dengan keloneng lonceng
Dan hawa dingin yang menusuk tulang ia berlalu.
Sontak mataku nanar membuka, terjaga sungguh
Dengan dahi yang anyep oleh peluh.
Untungnya, lamat-lamat kudengar
Burung-burung di luar jendelaku ramai
Bercakap di pagi itu, dan mentari terang menyuar,
Larik keemasan sinarnya mengintip dari luar.
Dan aku tiba-tiba mahir menafsirkan
Mimpi buruk dan bahasa burung: Ajal adalah karib
Dari hidup, yang satu ujung, yang satu tepi.
Tak ada yang akhir, sebagaimana tak ada awal.
Bahkan rasa takutmu pun percuma, ini semata
Kepulangan. Sedangkan burung-burung itu mewarta:
Pagi adalah sapa dari kehidupan, keberlangsungan. Dan
Duniapun kembali dilahirkan, dengan harapan dan kemungkinan.
***