Ketika sampai di Rumah Paman, sambutan hangat menghiasi suasana sore jumat yang begitu sejuk. Sekilas nampak gugusan berhektar-hektar bukit tandus memenuhi pandangan. Hati sedikit miris ketika mengetahui kebiasaan masyarakat melakukan peladangan yang hanya bisa dimanfaatkan pada musim penghujan. Awalnya bukit tersebut hutan dengan beraneka ragam pohon-pohon besar. Namun masyarakat menebang untuk dialihkan menjadi ladang sebagai sumber penghidupan mereka. Sebuah dilema antara kelangsungan ekosistem alam dan kelangsungan hidup masyarakat.
Sejenak termenung melihat fenomena ini. Alam sepertinya menangis melihat kondisi dirinya dan masyarakat disekelilingnya. Namun hati alam selalu murah. Memberi penghidupan masyarakatdengan mengorbankan dirinya. Namun kekhawatiran besar menyelimuti pikiran. "Sampai kapan alam akan bermurah hati? akankan alam suatu hari akan murka?". Entah. Murka alam adalah murka Tuhan. Yang jelas ketika alam murka, manusialah yang akan menjadi korban kemurkaan itu.
Ingin rasanya mengubah pola mereka tanpa harus harus mengorbankan keduanya dengan cara mencoba memberikan pemahaman agar mereka kembali menanam lahan yang mereka garap dengan tanaman penguat yang mampu mendatangkan nilai ekonomis besar dikemudian hari namun lahan itu tetap dapat ditanami palawija dengan sistem tumpang sari. Agar ekosistem alam kembali normal dan masyarakat dapat mengambil investasinya pada alam.
Namun Hasrat ini masih dalam angan-angan.